1. Pendahuluan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) merupakan jantung dari pelaksanaan pembangunan nasional. Melalui PBJP, pemerintah mengalirkan anggaran ke sektor-sektor vital seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Namun, seiring berkembangnya kebutuhan zaman, sistem pengadaan dituntut untuk terus beradaptasi: lebih cepat, lebih transparan, dan lebih berdampak terhadap pemberdayaan ekonomi nasional, khususnya pelaku usaha kecil dan produsen dalam negeri.
Dalam konteks itulah, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 diterbitkan sebagai pengganti sekaligus penyempurna dari Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Meski sama-sama menjadi landasan hukum dalam pengelolaan pengadaan pemerintah, keduanya berbeda secara esensial dalam beberapa hal kunci. Perpres 16/2018 lebih menitikberatkan pada pembenahan sistem dan efisiensi proses, sedangkan Perpres 46/2025 mendorong transformasi menyeluruh, dengan memasukkan dimensi afirmasi ekonomi lokal (UMKM), keberpihakan terhadap produk dalam negeri (TKDN), transformasi digital penuh, serta prinsip keberlanjutan (sustainability).
Perpres 46/2025 hadir bukan semata sebagai regulasi pengganti, melainkan sebagai regulasi adaptif dan strategis yang menjawab tuntutan zaman:
- Menjawab tantangan globalisasi dan persaingan industri,
- Memberi ruang lebih luas bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan koperasi lokal,
- Mewajibkan penggunaan teknologi informasi dalam seluruh proses pengadaan,
- Serta mendorong pengadaan yang tidak hanya efisien secara anggaran, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan secara sosial.
Untuk itu, penting bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PA), UKPBJ, penyedia, serta para pemangku kepentingan lainnya untuk memahami perbedaan kunci antara Perpres 16/2018 dan Perpres 46/2025. Tanpa pemahaman yang utuh, risiko kegagalan tender, pelanggaran administratif, hingga sanksi dapat muncul akibat kelalaian atau kekeliruan penafsiran regulasi baru.
Artikel ini secara ringkas namun komprehensif akan menguraikan lima perbedaan kunci yang menandai pergeseran paradigma pengadaan antara Perpres 16 Tahun 2018 dan Perpres 46 Tahun 2025. Dengan memahami lima hal utama ini, setiap pelaku pengadaan dapat bersiap melakukan penyesuaian teknis dan strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi PBJP di lingkungan kerjanya.
2. Lima Perbedaan Kunci
No. | Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|---|
1 | Kuota UMKM | Imbauan alokasi UMKM, tanpa target tegas | Wajib 40% dari pagu PBJP untuk UMKM/koperasi |
2 | Ambang Pengadaan Langsung | Konstruksi ≤ Rp 200 juta | Konstruksi ≤ Rp 400 juta; barang/jasa ≤ Rp 100 juta untuk e-Purchasing |
3 | TKDN | Minimal 25% untuk paket tertentu | Minimal 40% untuk barang/jasa umum; 60% untuk strategis |
4 | Digitalisasi dan Transparansi | e-Procurement dianjurkan, belum wajib penuh | Wajib e-Purchasing, e-Kontrak, e-Monitoring untuk semua paket sesuai nilai |
5 | Keberlanjutan & Sertifikasi | Hanya disebut umum (“efisiensi”) | Aspek keberlanjutan (green procurement) dan sertifikasi kompetensi PPK/PA diwajibkan |
2.1 Kuota UMKM: Dari Anjuran ke Kewajiban Tegas
Salah satu perubahan paling mencolok dan fundamental dalam Perpres 46 Tahun 2025 dibanding Perpres 16 Tahun 2018 adalah penguatan afirmasi terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui kebijakan kuota pengadaan.
🏛️ Perpres 16/2018: Afirmasi yang Masih Bersifat Anjuran
Dalam Perpres 16/2018, pemberdayaan UMKM memang disebutkan sebagai salah satu tujuan pengadaan, namun tidak ada target kuantitatif minimal yang mengikat. Pasal-pasalnya menggunakan frasa seperti “mendorong” dan “mengutamakan” UMKM, sehingga interpretasinya masih longgar. Akibatnya:
- Banyak instansi tetap menyerahkan sebagian besar kontrak ke perusahaan besar atau penyedia langganan.
- UMKM hanya mendapat sisa paket kecil, bahkan tidak jarang tidak terlibat sama sekali dalam proyek pemerintah.
- Tidak ada indikator objektif untuk mengukur apakah sebuah instansi sudah “berpihak” pada UMKM.
Dengan kata lain, Perpres 16/2018 membuka ruang afirmasi UMKM, tapi tidak memberi tekanan atau insentif konkret agar kebijakan itu dijalankan.
📢 Perpres 46/2025: Afirmasi UMKM Naik Kelas Jadi Kewajiban Regulatif
Perpres 46 Tahun 2025 hadir dengan semangat baru: menjadikan pemberdayaan UMKM bukan hanya niat baik, tetapi kewajiban yang dapat diaudit, dihitung, dan dikenai sanksi bila tidak dipenuhi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (3) huruf d, yang menyatakan bahwa:
“PPK wajib mengalokasikan paling sedikit 40% dari pagu anggaran PBJP untuk produk/jasa UMKM dan koperasi dalam negeri.”
Dengan ketentuan ini, Perpres 46/2025:
- Menetapkan batas minimal yang tegas: bukan lagi sekadar dorongan, tetapi kewajiban angka.
- Mengubah paradigma perencanaan pengadaan: sejak penyusunan RUP, PPK dan PA harus sudah menandai paket mana yang dialokasikan untuk UMKM dan memastikan nilainya mencapai minimal 40% dari total anggaran pengadaan.
- Menyertakan sanksi administratif jika target tidak tercapai, mulai dari teguran, pembekuan akun e-procurement, hingga larangan penunjukan sebagai PPK/PA pada tahun berikutnya.
🎯 Konsekuensi Praktis Bagi PPK/PA
Penerapan kuota UMKM 40% membawa sejumlah perubahan nyata dalam cara kerja tim pengadaan:
- Rencana pengadaan harus disusun lebih cermat-terutama dalam memetakan potensi UMKM lokal yang mampu mengerjakan paket sesuai spesifikasi.
- Pemecahan paket besar menjadi sub-paket kecil menjadi strategi penting agar nilai proyek bisa dipecah secara proporsional dan tetap kompetitif di kalangan pelaku kecil.
- Database penyedia lokal harus diperbarui-melalui pendataan, pelatihan, hingga pendampingan penyusunan dokumen, agar UMKM siap ikut serta.
- Pelaporan ke e-Monitoring menjadi kewajiban berkala untuk membuktikan pencapaian kuota secara riil, bukan sekadar rencana di atas kertas.
💡 Dampak Positif dari Kebijakan Kuota Wajib 40%
Jika dijalankan dengan serius dan akuntabel, ketentuan ini akan membawa manfaat besar, baik secara ekonomi maupun sosial:
- Memutar roda ekonomi lokal, terutama di sektor mikro dan koperasi desa.
- Meningkatkan kualitas dan kapasitas UMKM, karena terdorong untuk bersaing di pasar pengadaan.
- Menyeimbangkan kekuatan pasar yang selama ini didominasi penyedia besar.
- Mendorong instansi berpikir lebih inklusif, tidak hanya dalam aspek harga, tetapi juga kebermanfaatan ekonomi jangka panjang.
✍️ Ringkasan Perbedaan
Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Pendekatan terhadap UMKM | Anjuran / afirmasi umum | Wajib kuota 40% dari total PBJP |
Pengawasan | Tidak ada indikator kuantitatif | Diukur melalui e-Monitoring dan laporan triwulan |
Sanksi jika gagal | Tidak ada | Ada: peringatan, pembekuan akun, larangan jadi PPK |
Konsekuensi terhadap perencanaan | Tidak terlalu berpengaruh | RUP wajib menyertakan rencana kuota UMKM |
2.2 Ambang Pengadaan Langsung: Ruang Lebih Luas untuk Efisiensi dan UMKM
Perbedaan penting berikutnya antara Perpres 16 Tahun 2018 dan Perpres 46 Tahun 2025 terletak pada ambang batas nilai pengadaan langsung, terutama untuk pekerjaan konstruksi. Kebijakan ini bukan sekadar soal angka nominal, tetapi berdampak langsung pada kecepatan pelaksanaan proyek, efisiensi administratif, dan peluang keterlibatan pelaku usaha kecil di tingkat lokal.
🏗️ Perpres 16/2018: Ambang Lama, Prosedur Masih Ketat
Dalam Perpres 16/2018, ambang batas pengadaan langsung ditentukan sebagai berikut:
- Barang/Jasa lainnya: ≤ Rp 100 juta
- Pekerjaan Konstruksi: ≤ Rp 200 juta
Metode pengadaan langsung dengan batas ini hanya bisa digunakan untuk paket berskala sangat kecil, padahal di lapangan banyak pekerjaan konstruksi sederhana-seperti perbaikan drainase, pengecatan kantor, renovasi ringan-yang nilainya berkisar di atas Rp 200 juta. Alhasil, banyak instansi harus menempuh proses tender yang lebih rumit, padahal lingkup kerja tidak kompleks. Hal ini:
- Memperlambat waktu pelaksanaan proyek kecil,
- Membebani UKPBJ dengan proses administrasi tambahan,
- Membuat UMKM tidak sanggup bersaing karena proses tender sering didominasi oleh penyedia yang sudah mapan dan terbiasa mengikuti sistem e-procurement.
🚀 Perpres 46/2025: Batas Baru untuk Efisiensi dan Inklusi Ekonomi
Perpres 46/2025 menjawab tantangan di atas dengan menaikkan batas pengadaan langsung untuk konstruksi menjadi Rp 400 juta, sebuah langkah penting yang membuka ruang lebih luas bagi:
- Percepatan pelaksanaan proyek,
- Pelibatan UMKM dan kontraktor lokal secara langsung,
- Pemangkasan proses birokrasi untuk pekerjaan sederhana.
Pasal 12 ayat (2) Perpres 46/2025 menyatakan:
“Untuk pekerjaan konstruksi dengan nilai sampai dengan Rp 400 juta, PPK dapat menerapkan metode pengadaan langsung.”
🔑 Implikasi Kebijakan:
- PPK tidak lagi wajib tender untuk proyek kecil-menengah bernilai ≤ Rp 400 juta.
- Kontraktor lokal yang memenuhi syarat administratif dan teknis dapat langsung ditunjuk melalui proses sederhana (penawaran tunggal dan negosiasi harga).
- Sumber daya lokal (tenaga kerja, bahan baku) lebih terfasilitasi, karena proyek kecil lebih mudah dikerjakan oleh pelaku setempat.
- Penyusunan kontrak menjadi lebih ringan, cukup dengan HPS, RKS, dan Surat Penunjukan Penyedia (SPP).
🛒 e-Purchasing Wajib untuk Barang/Jasa ≤ Rp 100 Juta
Selain konstruksi, Perpres 46/2025 juga memperjelas bahwa untuk pengadaan barang/jasa bernilai hingga Rp 100 juta, instansi wajib menggunakan e-Purchasing bila produk tersedia di e-Katalog.
Artinya:
- Tidak boleh lagi menggunakan pembelian manual atau pengadaan langsung luar sistem, jika produk sudah tersedia dalam e-Katalog.
- PPK cukup memilih penyedia melalui platform LKPP berdasarkan spesifikasi dan harga yang telah ditetapkan.
- Hal ini memberikan kepastian pasar bagi UMKM yang sudah masuk e-Katalog, sekaligus mendorong lebih banyak pelaku kecil mendaftar.
🧮 Dampak Praktis bagi PPK dan UKPBJ
- Harus memetakan ulang seluruh paket konstruksi yang sebelumnya direncanakan sebagai tender terbatas-apakah kini bisa dialihkan ke metode pengadaan langsung.
- Menyusun RUP dan HPS dengan penyesuaian batas ambang nilai baru.
- Meningkatkan literasi pelaku usaha lokal tentang proses pengadaan langsung dan e-Katalog.
- Tetap menjaga prinsip akuntabilitas meskipun prosesnya lebih cepat dan sederhana-dokumentasi tetap harus lengkap.
📌 Keuntungan Strategis Kenaikan Ambang Nilai
Aspek | Dampak Positif |
---|---|
Kecepatan Pelaksanaan | Proyek fisik kecil bisa dimulai dalam hitungan minggu, tanpa menunggu tender. |
Akses UMKM Lebih Luas | Kontraktor lokal dan pelaku kecil tak perlu bersaing dalam tender yang kompleks. |
Efisiensi Biaya dan Waktu | Tidak perlu biaya penayangan tender, evaluasi administrasi yang panjang, dan klarifikasi yang berbelit. |
Penguatan Ekonomi Lokal | Lebih banyak dana proyek yang berputar di daerah, memperkuat UMKM setempat. |
✍️ Ringkasan Perbedaan
Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Ambang Pengadaan Langsung Konstruksi | ≤ Rp 200 juta | ≤ Rp 400 juta |
Pengadaan Barang/Jasa ≤ Rp 100 juta | Boleh pengadaan langsung | Wajib e-Purchasing jika tersedia di e-Katalog |
Aksesibilitas UMKM | Terbatas | Lebih terbuka dan lebih cepat |
Perubahan ini menjadikan Perpres 46/2025 sebagai alat regulatif yang lebih selaras dengan kondisi riil di lapangan, terutama dalam hal kecepatan pelaksanaan dan keberpihakan terhadap pelaku lokal. Tugas PPK dan PA kini adalah memanfaatkan kelonggaran baru ini dengan tetap menjaga integritas, dokumentasi, dan akuntabilitas pengadaan.
2.3 Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN): Dari Kepatuhan Formal ke Komitmen Substansial
Salah satu aspek yang menunjukkan evolusi kebijakan afirmatif dalam pengadaan pemerintah adalah peningkatan ambang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). TKDN adalah ukuran yang menunjukkan seberapa besar porsi suatu produk atau jasa yang berasal dari proses produksi dalam negeri-baik berupa bahan baku, tenaga kerja, teknologi, hingga proses manufaktur.
Kebijakan TKDN bukan hanya soal perlindungan industri nasional, tetapi juga mencerminkan upaya pemerintah mendorong kemandirian ekonomi, penguatan rantai pasok lokal, dan resistensi terhadap ketergantungan impor.
⚖️ Perpres 16/2018: TKDN Masih dalam Tahap Peralihan
Dalam Perpres 16/2018, ketentuan TKDN sudah mulai diperkenalkan dan diberlakukan, namun dengan:
- Ambang minimal hanya 25%, khusus untuk beberapa sektor seperti konstruksi dan alat kesehatan.
- Tidak semua paket pengadaan terkena kewajiban ini; hanya terbatas pada sektor strategis atau program prioritas nasional.
- Implementasinya belum merata karena:
- Banyak penyedia belum memiliki sertifikat TKDN resmi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
- PPK/PA belum memahami cara mengevaluasi nilai TKDN atau mengkalkulasi preferensi harga.
Akibatnya, pengadaan pemerintah masih didominasi oleh produk impor atau rakitan luar negeri, meskipun secara spesifikasi ada produk dalam negeri yang sebenarnya mampu bersaing.
🛠️ Perpres 46/2025: TKDN Diperketat dan Diperluas
Perpres 46 Tahun 2025 memperkuat kebijakan TKDN secara signifikan dengan menetapkan ambang minimal baru yang lebih tinggi, yaitu:
- TKDN minimal 40% untuk barang/jasa umum,
- TKDN minimal 60% untuk sektor strategis seperti:
- Alat kesehatan,
- Infrastruktur energi,
- Konstruksi berskala besar,
- Produk teknologi tinggi dalam proyek digitalisasi pemerintah.
🔍 Implikasi kebijakan ini sangat luas:
- Seluruh paket pengadaan kini terkena ketentuan TKDN, bukan hanya yang strategis.
- Penyedia yang tidak memiliki sertifikat TKDN resmi tidak dapat memenangkan tender, bahkan bisa dikutip sanksi administratif jika mengklaim TKDN palsu.
- Evaluasi penawaran kini harus memperhitungkan preferensi harga TKDN, di mana produk lokal diberi keunggulan maksimal hingga 25% dalam perbandingan harga terhadap produk impor.
📑 Contoh Perubahan:
Jenis Paket | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Pengadaan alat laboratorium | TKDN hanya disarankan | TKDN minimal 40% wajib |
Konstruksi jalan desa | TKDN dinilai jika proyek nasional | TKDN 40-60% wajib tanpa kecuali |
Sistem IT atau server | Tidak ada ambang baku | Jika produk lokal tersedia, wajib diprioritaskan berdasarkan TKDN |
💡 Apa yang Harus Dilakukan PPK dan Penyedia?
Bagi PPK:
- Menambahkan syarat TKDN minimal di dalam spesifikasi teknis dan RKS.
- Menggunakan formulir penilaian TKDN saat evaluasi teknis, dengan dukungan sertifikat dari Kemenperin.
- Melaporkan realisasi TKDN ke dalam e-Monitoring LKPP untuk dimasukkan ke dalam Indeks Kepatuhan PDN.
Bagi Penyedia:
- Mengurus sertifikat TKDN resmi untuk semua produknya melalui Kemenperin atau lembaga yang ditunjuk.
- Menyusun dokumentasi lengkap (invoice lokal, proses produksi, sertifikasi bahan baku).
- Melakukan audit internal terhadap komposisi produk untuk memastikan porsi lokal melebihi ambang.
⚠️ Risiko Jika Mengabaikan TKDN:
- Diskualifikasi tender secara otomatis, meskipun penawaran harga rendah.
- Retensi pembayaran kontrak jika realisasi TKDN tidak sesuai yang diklaim.
- Sanksi administratif bagi PPK dan penyedia yang mengabaikan atau memanipulasi laporan TKDN.
- Audit forensik oleh BPK atau Inspektorat, jika ditemukan inkonsistensi data dan realisasi.
🎯 Manfaat Jangka Panjang dari Peningkatan TKDN
- Peningkatan kapasitas industri dalam negeri, termasuk UMKM manufaktur.
- Kemandirian teknologi dan pasokan, mengurangi ketergantungan pada impor.
- Pertumbuhan ekonomi lokal, karena produk dalam negeri lebih banyak digunakan dalam belanja pemerintah.
- Efek multiplikasi, karena belanja negara tidak “lari ke luar,” melainkan memperkuat ekosistem nasional.
✍️ Ringkasan Perbedaan
Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Ambang TKDN Umum | Tidak ada atau minimal 25% | Minimal 40% wajib |
TKDN untuk sektor strategis | Disarankan minimal 25% | Wajib minimal 60% |
Preferensi Harga Produk Lokal | Belum terstandardisasi | Diskon evaluatif hingga 25% |
Pelaporan TKDN | Tidak wajib | Wajib dilaporkan ke e-Monitoring |
Dengan kebijakan baru ini, pengadaan pemerintah tidak hanya soal harga dan efisiensi, tapi juga menjadi alat strategis untuk mendorong tumbuhnya industri nasional. PPK dan PA harus menjadikan TKDN bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai instrumen kebijakan yang menyeimbangkan pembangunan fisik dan kemandirian ekonomi bangsa.
2.4 Digitalisasi dan Transparansi: Dari Anjuran Menjadi Mandatori Nasional
Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) selama ini adalah minimnya jejak digital yang menyeluruh, sehingga pengawasan, evaluasi, dan pertanggungjawaban kerap terbatas. Perpres 16 Tahun 2018 sudah mengenalkan e-Procurement melalui Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE), tetapi implementasinya masih bersifat pilihan dan belum semua instansi memanfaatkannya secara penuh atau konsisten.
🖥️ Perpres 16/2018: Tahap Awal Digitalisasi
- SPSE diatur sebagai sistem utama, namun masih memberikan ruang penggunaan sistem manual atau semi-elektronik untuk beberapa tahapan.
- e-Kontrak belum menjadi kewajiban penuh; banyak kontrak yang masih ditandatangani secara basah (manual).
- Monitoring pengadaan masih bergantung pada laporan manual dan sistem terpisah antarinstansi.
- Tidak ada kewajiban pencatatan indikator afirmatif (TKDN dan UMKM) secara elektronik dan terbuka.
Hasilnya: data PBJP sulit diakses publik, kurang terintegrasi, dan rentan tidak sinkron antar-unit. Proses pengadaan juga tidak selalu transparan bagi auditor, masyarakat, atau pelaku usaha baru.
💡 Perpres 46/2025: Wajib Digital dari Hulu ke Hilir
Perpres 46 Tahun 2025 menegaskan bahwa seluruh tahapan pengadaan kini harus dilaksanakan dan dicatat secara elektronik, dengan sistem yang terstandar dan terintegrasi secara nasional.
✅ Kewajiban Baru:
- e-Purchasing:
Untuk semua barang/jasa yang tersedia di e-Katalog dengan nilai ≤ Rp 100 juta, wajib menggunakan e-Purchasing, tidak boleh melalui metode manual. - e-Kontrak:
Dokumen kontrak pengadaan harus dibuat, ditandatangani, dan dikelola secara elektronik, menggunakan Tanda Tangan Elektronik (TTE) tersertifikasi. Ini memastikan validitas hukum dan kemudahan audit. - e-Monitoring:
Seluruh paket PBJP harus dicatat dalam sistem pemantauan digital yang melaporkan:- Persentase realisasi TKDN per kontrak,
- Nilai kontrak yang dialokasikan dan direalisasikan ke UMKM/koperasi,
- Capaian fisik dan serapan anggaran,
- Indeks Kepatuhan Produk Dalam Negeri (PDN).
📊 Implikasi bagi Instansi:
- Tidak ada alasan lagi untuk menggunakan sistem manual, kecuali kondisi darurat dan bencana.
- Setiap kegiatan pengadaan dapat dipantau secara real-time oleh LKPP, BPK, Kementerian Keuangan, bahkan masyarakat umum jika dibuka dalam dashboard publik.
- Penyedia juga diuntungkan karena proses menjadi lebih cepat, transparan, dan terdokumentasi sepenuhnya.
🚨 Konsekuensi Jika Tidak Patuh:
- Dokumen yang tidak dibuat melalui sistem elektronik dapat dianggap tidak sah dalam audit,
- Instansi bisa dikenai peringatan atau pembekuan akses SPSE, terutama jika tidak melaporkan realisasi TKDN dan kuota UMKM,
- Kinerja pengadaan instansi akan dinilai buruk dalam dashboard PBJP nasional, berpengaruh pada insentif fiskal atau penghargaan kinerja.
2.5 Keberlanjutan & Sertifikasi SDM: Menjawab Tantangan Profesionalisme dan Lingkungan
♻️ Perpres 16/2018: Efisiensi Tanpa Dimensi Keberlanjutan
Meskipun Perpres 16/2018 menyebutkan prinsip “efisien dan efektif”, belum ada penekanan eksplisit pada aspek lingkungan, sosial, atau keberlanjutan jangka panjang. Beberapa instansi mulai menerapkan green procurement secara inisiatif, tapi tidak ada standar atau panduan nasional yang mewajibkan:
- Pemilihan produk hemat energi,
- Pengelolaan limbah dalam pekerjaan konstruksi,
- Keterlibatan kelompok rentan atau marginal.
Demikian pula dalam aspek SDM, sertifikasi pengadaan belum menjadi keharusan bagi semua pejabat pengadaan. Banyak PPK, PA, dan pengelola kontrak ditunjuk tanpa kompetensi spesifik, hanya karena jabatan struktural.
🌱 Perpres 46/2025: PBJP Inklusif, Ramah Lingkungan, dan Profesional
🟢 Green Procurement
Perpres 46/2025 secara eksplisit mengamanatkan bahwa setiap paket pengadaan harus mempertimbangkan prinsip keberlanjutan, termasuk:
- Penggunaan produk dengan label ramah lingkungan (misal: hemat listrik, non-toksik, daur ulang),
- Desain pekerjaan yang minim emisi dan limbah,
- Kriteria sosial, seperti pemberdayaan masyarakat sekitar, inklusi gender, atau padat karya tunai.
Ini menjadi standar baru dalam evaluasi kualitas pengadaan, bukan hanya berdasarkan harga terendah.
🎓 Sertifikasi Kompetensi Pejabat PBJP
Dalam hal SDM, Perpres 46/2025 menetapkan:
- PPK dan Pejabat Pengadaan (PA) wajib memiliki sertifikasi kompetensi sesuai tipologi pengadaan:
- PPK Barang → sertifikat PBJ Barang,
- PPK Jasa Konstruksi → sertifikat PBJ Konstruksi, dan seterusnya.
- Personel non-sertifikasi hanya diperbolehkan membantu dalam fungsi administratif, bukan menetapkan keputusan pengadaan.
Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap keputusan dalam pengadaan diambil oleh orang yang paham substansi, prosedur, dan resikonya-sehingga pengadaan menjadi lebih profesional, kredibel, dan bebas dari pelanggaran hukum.
✍️ Ringkasan Perbedaan
Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Digitalisasi | SPSE didorong, tapi belum wajib menyeluruh | e-Purchasing, e-Kontrak, e-Monitoring wajib dan terintegrasi |
Transparansi Publik | Terbatas pada LPSE dan laporan manual | Dashboard nasional untuk pemantauan TKDN, UMKM, dan PDN |
Green Procurement | Tidak disebut | Wajib mempertimbangkan aspek keberlanjutan |
Sertifikasi SDM PBJP | Tidak wajib, tergantung instansi | Wajib sesuai tipologi pengadaan masing-masing |
3. Kesimpulan
Perpres 46/2025 merupakan evolusi dari Perpres 16/2018, menegaskan kebijakan afirmatif bagi UMKM, memperkuat keberpihakan produk dalam negeri, serta memandatkan digitalisasi dan keberlanjutan dalam setiap pengadaan. Bagi PPK/PA, memahami perbedaan kunci ini adalah modal penting untuk:
- Menyesuaikan RUP dan HPS mereka dengan kuota dan TKDN baru,
- Menerapkan metode pengadaan langsung yang lebih fleksibel,
- Memanfaatkan sistem elektronik secara penuh,
- Mengikuti pelatihan sertifikasi kompetensi,
- Mengintegrasikan aspek green procurement.
Dengan begitu, pelaksanaan PBJP di era Perpres 46/2025 akan semakin efisien, inklusif, dan berdaya saing global.