VIRUS MESA: LEBIH MERUSAK DARI COVID

Covid-19 menjadi kata yang paling sering dibahas sekaligus dikhawatirkan saat ini. Ia telah viral sejak akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2021 ini, bahkan bisa jadi akan tetap menarik perhatian khalayak sepanjang tahun ini. Diskusi lintas disiplin ilmu ramai terlaksana yang membahasnya, mulai dari sisi kesehatan, keagamaan, pendidikan, sosial, budaya, dan impact ekonominya. Tak ketinggalan dari sudut pandang lokalitas hingga konspirasi global. Seolah perhatian kita semua tersedot untuk membahas virus yang satu ini. Penulis berdoa seraya mengingatkan kita semua agar, semoga situasi ini lantas tidak membuat kita lupa dan terlena, bahwa ada virus yang ancaman dan dampaknya melebihi Covid-19. Apa itu?

Pakar Akuntansi Syariah Universitas Brawijaya, Prof. Iwan Triyuwono, Ph.D. mengingatkan virus MESA yang sedang mewabah luas, tak terkecuali di Indonesia. Jenis virus ini kodratnya sudah bawaan sejak manusia lahir. Karakteristiknya menular dan merusak sendi kehidupan manusia. Variannya senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, mulai dari hulu hingga hilir sektor kehidupan.

Triyuwono memberikan istilah “Virus MESA” sebagai akronim dari 4 jenis racun pikiran yakni “Materialistik, Egoistik, Sekularistik, dan Ateistik”. Istilah ini dimunculkan guna menyoroti keilmuan hard-sains modern, khususnya disiplin ilmu Akuntansi, Ekonomi, dan Manajemen (AEM). Tesis mengenai Virus MESA ini sesungguhnya tantangan bagi para akuntan, ekonom, dan manajemen perusahaan, termasuk juga di dalamnya kalangan pendidik dan pembelajarnya.

Mereka diingatkan tentang hakikat materi yang di zaman modern ini direduksi menjadi uang (monetary term) dan diakui sebagai sesuatu yang ‘ada’ karena terlihat dengan bantuan panca indra. Adapun selainnya dianggap ‘tidak ada’, seperti iman, ihsan, ikhlas, rahman, rahim, halal, haram dan unsur-unsur Ilaihiah lainnya, dalam pelaporan keuangan perusahaan.

Konsepsi MESA

Konsepsi MESA sesungguhnya ialah sarana muhasabah (pengingat) untuk segala sektor, baik pemerintahan, maupun ranah swasta. Materialistik bermakna segala aktivitas ekonomi dilakukan semata-mata berorientasi pada materi (uang). Sementara egoistik sifatnya menghilangkan keadilan, simpati dan empati karena lebih mementingkan kepentingan diri. Sifat materialistik dan egoistik diekspresikan dengan jelas pada Laporan Laba Rugi Perusahaan (income statement).

Adapun virus sekularistik di sini adalah memisahkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang seharusnya satu kesatuan utuh. Titik kritisnya terlihat pada Ilmu Akuntansi modern yang hanya mementingkan informasi materi. Kontruksi Akuntansi Syariah menghendaki sifat informasi disajikan bukan hanya materi, tapi juga mental dan spiritual (Triyuwono, 2011: 12).

Sedangkan akibat lebih lanjut dari sekularistik adalah menolak adanya Tuhan. Bagi ilmu AEM modern, keberadaan adalah segala sesuatu yang bersifat materi dan bisa diakses oleh panca indra. Selain itu tidak ada dan inilah definisi virus ateistik, yakni diartikan sebagai sifat dan keadaan tidak mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagai solusi, Triyuwono menggaungkan ke khalayak untuk kembali ke Tuhan melalui dekonstruksi akuntansi modern yang sarat MESA menuju Akuntansi Syariah demi terciptanya lingkungan kondusif, yakni lingkungan manajemen syariah dan sistem ekonomi Ilahiyat sebagai ‘vaksin’ penanggulangan virus MESA.

MESA di masa pandemi

Materialistik dan egoistik bergandengan tangan menemukan maknanya di musim pandemi Covid-19 saat ini. Misalnya pada isu ketika covid-19 mulai menerpa Indonesia dengan segera terjadi penimbunan masker, gula pasir menghilang diborong orang atau golongan, dan seterusnya. Padahal, semua itu adalah komoditi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Dengan membelinya dalam jumlah banyak, kita telah menghalangi orang lain dari mendapatkannya. Kini, ada orang merasa gagah menggunakan masker yang semestinya hanya digunakan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Dampaknya, para perawat dan dokter justru tidak terlindungi dengan baik. Hal ini mengindikasikan virus ego yang ‘reaktif’ dalam diri orang tersebut.

Sedangkan sekularistik dan ateistik, kita semua paham ancamannya mengarah kepada rusaknya generasi manusia. Banyak orang berpendapat bahwa kehidupan masyarakat Indonesia sudah sangat sekuler, dan agama sudah terpinggirkan sedemikian rupa. Menariknya, pada tahun 2015, Pew Research Center merilis hasil surveinya terhadap masyarakat sejumlah negara berkaitan dengan sikap mereka terhadap agama. Hasilnya, Indonesia menempati posisi yang cukup tinggi, karena 95% rakyatnya menganggap agama itu penting.

Manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya (QS Al Baqarah:30), maka Islam mengajarkan manusia untuk bersikap layaknya khalifah. Seorang khalifah tidak sepantasnya bertindak serampangan. Ia harus mengatur sikap, perbuatan dan kata-katanya, bahkan juga pikirannya, mulai bangun tidur hingga tidur kembali.

Akhirnya, di antara sekian banyak hikmah di masa pandemi ini, mungkin salah satunya adalah peringatan dari Allah SWT agar kita membenahi kembali cara kita berpikir dan bertindak sebagai ummat. Wallahu’alam.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Syarif_Ansyhari

Penulis asli Makassar. Ayah 2 anak. Menamatkan S2 di Universitas Hasanuddin. Saat ini aktif sebagai Auditor Internal UIN Alauddin Makassar, juga sebagai dosen LB di beberapa perguruan tinggi. Bercita-cita hidup enak, mati enak. Insya Allah

Artikel: 2

One comment

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *