Memahami Etika dan Estetika Manusia dalam Berbudaya

Kebudayaan diambil dari bahasa Sansekerta, yakni buddhayah (bentuk jamak dari buddhi) yang memiliki arti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Kebudayaan dimaknai sebagai sistem pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan meliputi cara-cara bertingkah laku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia. Kebudayaan berfungsi untuk menjadi pedoman hidup berperilaku. Hal ini diwujudkan dalam bentuk nilai, norma, ataupun hukum. Oleh sebab itu maka kebudayaan seperti ini terus diturunkan dari generasi ke generasi (shared culture).

Menurut J.J. Hoeningman kebudayaan dibagi menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak. (1) Gagasan merupakan merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan hal lain yang bersifat abstrak. Gagasan terletak dalam pemikiran masyarakat yang dapat berupa tulisan. (2) Aktivitas merupakan tindakan yang berpola dari manusia itu sendiri. Aktivitas atau disebut juga dengan sistem sosial memiliki sifat yang konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat diamati dan didokumentasikan. (3) Artefak merupakan karya yang berupa hasil dari aktivitas seperti beda atau hal-hal yang dapat disentuh, dilihat dan didokumentasikan. Artefak merupakan wujud kebudayaan yang sifatnya paling konkret dibandingkan kedua wujud kebudayaan lainnya.

Manusia merupakan makhluk pencipta dan pengembang kebudayaan karena memiliki akal budi. Kebudayaan tercipta sebagai hasil dari interaksi manusia dengan alam. Sebagai pencipta kebudayaan, maka manusia adalah makhluk berbudaya. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya senantiasa menggunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan. Ini karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil. Dengan berbudaya, manusia dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan hidupnya.
Manusia tidak dapat terpisahkan dari kebudayaan. Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi masyarakat. Manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan. Tidak ada manusia tanpa kebudayaan, dan tidak ada kebudayaan tanpa manusia.

Nah, kita pasti sering mendengar istilah tentang kebudayaan secara umum. Namun, sebagai makhluk berbudaya sudahkah kita memahami hakikat kita beretika dan berestetika dalam berbudaya? Apa sih sebenarnya yang dimaksud beretika dan berestetika itu?

Sumber: kompas.com

Etika Manusia dalam Berbudaya

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan atau akhlak yang baik. Secara etimologis etika merupakan ajaran tentang baik-buruk, sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika berkaitan erat dengan nilai karena pada dasarnya etika membicarakan tentang permasalahan yang berhubungan dengan predikat nilai susila atau tidak susila dan baik atau buruk.
Etika memiliki makna sebagai nilai dan norma etik atau moral yang berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah laku. Nilai-nilai etik diwujudkan dalam bentuk norma etik, norma moral, atau norma kesusilaan.

Manusia sebagai individu berhubungan dengan norma etik karena menyangkut kehidupan pribadi. Norma etik didukung oleh nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial ataupun sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma etik dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kekhawatiran diri sendiri.

Norma etik bersumber dari manusia itu sendiri dan ditujukan kepada sikap batin manusia. Norma etik ditujukan kepada manusia agar kebaikan akhlak pribadi dapat terbentuk. Perbuatan jahat seperti misalkan membunuh, mencuri, ataupun berzina sangat bertentangan dengan norma kepercayaan dan kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Perasaan malu, penyesalan, takut, dan rasa bersalah akan muncul dalam hati nurani seiring melakukan perbuatan yang melanggar norma.

Manusia yang beretika akan dapat menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik di dalamnya. Etika dalam berbudaya mengandung suatu keharusan agar manusia menciptakan budaya yang mengandung nilai-nilai etik yang secara sosial dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Budaya yang beretika adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, dan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sedangkan budaya yang tidak beretika adalah kebudayaan yang merendahkan dan bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.

Estetika Manusia dalam Berbudaya

Estetika dapat diartikan sebagai teori tentang keindahan. Keindahan ini dapat bermakna secara luas, sempit, dan estetik murni. (a) Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan dimana segala sesuatu yang baik adalah indah. Dalam arti luas keindahan meliputi watak yang indah, hukum yang indah, ilmu yang indah, dan kebajikan yang indah. (b) Secara sempit, keindahan hanya terbatas pada ruang lingkup persepsi pengelihatan seperti bentuk dan warna. (c) Secara estetik murni, keindahan menyangkut pengalaman estetik seseorang yang berhubungan dengan panca indra manusia seperti pengelihatan, pendengaran, perabaan, dan perasaan.

Budaya yang estetik ditandai dengan adanya unsur keindahan di dalamnya. Akan tetapi, sesuatu yang bernilai indah bagi seseorang belum tentu bernilai yang sama bagi orang lain. Ini berart nilai estetik memiliki sifat yang subjektif, dimana individu yang satu tidak bisa memaksa individu yang lainnya untuk mengakui keindahan suatu budaya sebagaimana pandangan kita. Nilai-nilai estetik lebih menitikberatkan kepada perasaan, bukannya pernyataan.

Manusia cenderung menyukai hal-hal yang memiliki keindahan. Hal ini mendorong manusia berusaha berestetika dalam berbudaya. Namun, kembali lagi kepada hakikat estetika bahwasanya budaya yang dianggap indah oleh diri sendiri belum tentu indah bagi individu lainnya. Oleh karena itu, estetika berbudaya tidak semata-mata harus memenuhi nilai-nilai keindahan. Estetika berbudaya mengharuskan manusia untuk menghargai keindahan budaya yang dihasilkan oleh manusia yang lain.

Problematika Kebudayaan

Kebudayaan yang telah diciptakan oleh manusia dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda akan menghasilkan keragaman budaya. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia akan membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lainnya. Ini menandakan kebudayaan merupakan identitas diri dari suatu kelompok peradaban manusia.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan akan mengalami dinamika seiring dengan pergaulan hidup manusia sebagai pencipta dan pemilik kebudayaan. Hal ini menyebabkan terjadinya pewarisan kebudayaan, perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.

Pertama, pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Namun dalam prosesnya bisa muncuk permasalahan seperti: kesesuaian budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat sekarang, penolakan oleh generai penerima, dan munculnya budaya baru.

Kedua, perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadu sebagai akibat dari adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi ketidakerasian fungsi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan ini mencakup banyak aspek seperti bentuk, sifat, perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilalui. Pembangunan dan modernisasi termasuk ke dalam kategori perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat menimbulkan problematika antara lain: apabila perubahan justru mengalami kemunduran bukannya kemajuan maka akan merugikan manusia dan perubahan akan berdampak buruk jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan di luar kendali manusia.

Ketiga, penyebaran kebudayaan adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain yang berbeda wilayah. Penyebaran kebudayaan bisa menimbulkan problematika, dimana masyarakat yang menerima kebudayaan akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal karena tergerus kebudayaan yang baru.

Maka dari itu, dibutuhkan etika dan estetika berbudaya oleh manusia agar problematika yang menghantui kebudayaan ini dapat terminimalisir sehingga anak dan cucu kita nantinya dapat menjadi pencipta kebudayaan tanpa perlu merusak kebudayaan yang telah ada.

Referensi:

Herimanto, dkk. 2016. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Reva Almalika

Seorang mahasiswa Agribisnis yang sedang berada pada tahun terakhir perkuliahan. Suka menuangkan pemikiran ke dalam suatu tulisan.

Artikel: 27

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *