Source: cnbcindonesia.com

Merger Bank Syariah: Potensi Recovery Ekonomi Masa Pandemi


 

Merger Bank Syariah: Potensi Recovery Ekonomi Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak sektor mengalami disfungsi. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang paling terdampak, tidak hanya lingkup nasional tetapi juga internasional. Berbagai upaya dan kebijakan dilakukan pemerintah dan otoritas keuangan untuk memperbaiki. Dalam hal ini dunia perbankan merupakan ujung tombak yang paling berperan.

Akhir 2020 dunia perbankan di Indonesia mendapatkan kejutan berupa ditekennya merger tiga bank syariah BUMN yaitu PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), PT Bank BNI Syariah (BNIS), dan PT Bank Syariah Mandiri (BSM) yang kemudian berubah menjadi satu nama sebagai PT Bank Syariah Indonesia, dan ditargetkan dapat mulai bekerja pada awal Februari 2021. Penggabungan tiga bank syariah BUMN ini menjadikan Bank Syariah Indonesia sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia dengan jumlah aset total yang dimiliki sekitar Rp 214 triliun rupiah dan modal intinya sekitar Rp 20 triliun rupiah. Meningkatnya jumlah aset ini diharapkan akses permodalan yang digelontorkan dapat dinikmati dan digunakan dengan baik oleh masyarakat secara lebih luas hingga ke daerah-daerah.

Dilakukannya merger menjadi kekuatan ekonomi baru yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi. Hal ini wajar karena Indonesia mempunyai potensi ekonomi dan keuangan syariah yang besar, akan tetapi belum terkelola secara optimal. Kendala yang dihadapi selain faktor regulasi, ekosistem pasar yang belum terbentuk, juga masih minimnya lembaga keuangan mikro syariah yang berfungsi sebagai partner dan fasilitator masyarakat bawah terutama para pelaku usaha mikro kecil. Dengan dilakukannya merger, pemerintah berharap hal-hal yang sebelumnya belum dapat terealisaskan karena terbatasnya pendanaan yang dimiliki bank syariah dapat teratasi sehinggga modal dapat tersebar dan terserap hingga lapisan masyarakat paling bawah.

Bank syariah menjadi salah satu harapan pemerintah untuk bisa berkontribusi dalam perbaikan ekonomi adalah karena bank syariah “tidak mengenal istilah rugi” sebagaimana diketahui bahwa sistem yang diterapkan dalam bank syariah adalah sistem bagi hasil (profit and loss sharing), di mana keuntungan maupun kerugian dibagi antara pemilik modal (shahibul maal/kreditor) dan pelaku usaha (Mudharib/debitur) berdasarkan persentase yang disepakati. Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang menerapkan sistem bunga di mana pelaku usaha (debitur) baik untung dan rugi tetap harus membayar bunga yang terkadang berkembang menjadi bunga berbunga.

Dalam sistem yang digunakan bank syariah, secara normatif ketika pelaku usaha (mudharib/debitur) mengalami kerugian dan tidak bisa membayar angsuran, bank syariah tidak serta merta menarik aset yang dimiliki akan tetapi dilakukan investigasi oleh pihak bank untuk mengetahui penyebab kerugian untuk kemudian dicarikan solusi. Bahkan tidak jarang ketika pihak pelaku usaha sebagai pengelola dana (mudharib) dalam usahanya betul-betul membutuhkan suntikan modal, maka bank syariah akan memberikannya sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku dan atas pengawasan dari pihak bank. Dari hal ini dapat difahami penggunaan sistem bagi hasil dalam bank syariah mengindikasikan bahwa bank syariah betul-betul ingin membangun sektor riil masyarakat dengan produk-produk yang dimilikinya.

Pembangunan sektor riil berupa peningkatan produksi barang dan jasa dalam suatu negara menjadi hal yang harus dilakukan untuk memulihkan kondisi ekonomi masa pendemi saat ini, karena banyaknya bantuan langsung tunai yang dikucurkan pemerintah dapat menyebabkan naiknya inflasi ketika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi barang dan jasa. Maka peran Bank Syariah Indonesia dalam hal ini adalah bagaimana menyalurkan modal kepada para pihak terutama usaha mikro kecil yang betul-betul membutuhkan akses permodalan untuk menggenjot produksinya. Produksi barang dan jasa terutama masa pandemi saat ini merupakan hal yang penting diupayakan agar tidak terjadi kelangkaan yang dapat menyebabkan melambungnya harga. Peningkatan produksi juga akan memberi respon positif dalam ekonomi dan keuangan.

Selain penyaluran modal kepada pihak yang membutuhkan, pendampingan dari pemerintah dan pihak terkait juga menjadi kunci agar perekonomian masyarakat dapat segera kembali pulih. Pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam hal ini diantaranya adalah manajemen, cara meningkatkan kualitas produksi dan marketing agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dan menembus pasar internasional (ekspor). Ketika produksi barang dan jasa dalam negeri meningkat diimbangi dengan banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga perputaran uang tinggi dan neraca perdagangan positif (ekspor lebih tinggi dari impor), maka pemulihan ekonomi dapat segera terealisasi dan pertumbuhan ekonomi bukanlah hal yang mustahil

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
SIFAULAMIN

Mediator Bersertifikat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *