Ketenagakerjaan di Indonesia Saat Pandemi: Apakah Swastanisasi dan Privatisasi Menjadi Solusi?

Warga Indonesia yang terinfeksi Covid-19 semakin bertambah. Dilansir dari situs www.covid19.go.id,  tercatat jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19 hingga Minggu (10/01/2021) di Indonesia sebanyak 828.026 orang, dengan jumlah yang meninggal 24.129 dan yang sembuh 681.024 orang. Pandemi ini menjadi rintangan yang sangat besar bagi pemerintahan karena berdampak pada kondisi ekonomi di Indonesia. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2020 menyebutkan telah terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai minus 5,32 persen. Penyebaran Covid-19 berimplikasi juga pada situasi ketenagakerjaan di Indonesia, seperti para buruh yang terpaksa dirumahkan.

Sumber penghidupan masyarakat menjadi terganggu, apalagi jika mereka hanya menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan yang saat ini telah terganggu atau bahkan hilang karena pandemi. Para pemodal termasuk perusahaan-perusahaan besar tentu tidak mau rugi, maka salah satu caranya dengan memberhentikan buruhnya. Jika melihat dalam analisa kelas sosial, yang paling dirugikan dalam situasi pandemi adalah rakyat kecil. Sebelum datangnya pandemi kehidupan mereka sudah susah, apalagi setelah mereka dirumahkan dari pekerjaannya.

Kelas bawah adalah bagian yang paling rentan terdampak pandemi. Masyarakat yang tergolong pada kelas bawah menghadapi dua ketakutan yang besar, yakni krisis kesehatan dan krisis sosio-ekonomi. Kesehatan mereka akan terancam karena penyebaran Covid-19 yang semakin meluas dan tidak memandang darimana kelas sosial seseorang berasal. Kelas bawah sulit untuk menghadapi desakan tersebut, mereka tidak cukup punya uang untuk menjamin kesehatan diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk kebutuhan hidupnya.

Sampai tanggal 31 Juli 2020, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat ada 3,2 juta lebih buruh yang sudah di PHK. Jumlah ini hanya yang tercatat oleh Kemnaker, para buruh yang di PHK di perusahaan-perusahaan kecil belum terdata semuanya. Iklim kapitalisme yang kuat dalam menjalankan mode perekonomian di Indonesia sebenarnya saling terkait dengan situasi ketenagakerjaan sekarang di Indonesia.

Sumber daya yang diprivatisasi atau diswastanisasi memungkinkan korporasi dan pribadi mengontrol seluruh sumber-sumber dalam ranah produksi termasuk buruh di dalamnya. Keuntungan dari sumber-sumber besar termasuk Sumber Daya Alam (SDA) yang diprivatisasi menguntungkan lebih banyak terhadap pihak swasta dibanding pemasukannya terhadap negara atau tenaga kerja yang menjadi garda terdepan dalam proses produksi.



Privatisasi di Indonesia memang bukan fenomena yang hadir saat ini, melainkan sudah mengakar sejak dahulu. Di bidang pertanahan misalnya, sejak zaman Orde Baru (Orba) pola penguasaan tanah tidak ditujukan pada masyarakat, tetapi lebih dialokasikan untuk para pengusaha yang memiliki banyak modal (Sujiwo, 2012). Privatisasi besar-besar terhadap SDA misalnya dapat dilihat pada periode 2005-2009, dalam periode tersebut ada 20-50 juta hektar tanah yang dimiliki kaum miskin berpindah tangan dan diakusisi secara langsung oleh perusahaan swasta. Biaya yang dikeluarkan untuk akuisisi tersebut setidaknya mencapai 10 miliar rupiah. Parahnya sebagian perusahaan berniat menggunakan secara langsung tanah hasil akuisisi tersebut untuk proses produksi, contohnya di bidang sawit. Menurut Komisi Sawit Indonesia setidaknya terdapat kurang lebih 3,3 juta hektar tanah yang tidak digarap langsung, pihak swasta menunggu momen ekonomi yang tepat untuk menggarapnya (Sangkoyo, 2013).

Solusi pemerintah dalam menanggapi turunnya kondisi ekonomi di Indonesia akibat Covid-19 dengan membuka seluas-luasnya keran investasi dan privatisasi kemudian menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan kembali. Privatisasi terhadap SDA di Indonesia oleh korporasi-korporasi besar baik dalam atau luar negeri telah berdampak buruk terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Privatisasi secara besar-besaran terhadap SDA juga mengakibatkan krisis ekologis. Film Sexy Killers yang digarap oleh Dandhy Laksono menggambarkan sebagian kecil rusaknya lingkungan karena operasi tambang dalam skala besar.

Konflik agraria di masa pandemi yang terjadi di sejumlah tempat semakin merentankan kelas bawah terhadap kondisi ekonominya yang terpisah dari mata pencahariannya di tengah ancaman kesehatannya di masa pandemi. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan terdapat 241 kasus agraria di tahun 2020. Pandemi telah berdampak besar pada para buruh dan kelas bawah yang kehilangan kerjanya. Lebih diperparah apabila privatisasi ini semakin meluas dan dijadikan sebagai solusi dari turunnya ekonomi Indonesia saat pandemi, maka yang akan paling dirugikan adalah masyarakat yang berada di tengah privatisasi dan konflik agraria tersebut.

Mengingat dampak buruk akibat privatisasi dan swastanisasi skala besar, rasanya ini bukan menjadi solusi untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi. Negara seharusnya mengelola langsung kekayaan alam tersebut, melakukan nasionalisasi, dan sepenuhnya diperuntukan demi kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Negara yang terjun langsung dalam mengelola kekayaannya dapat meminimalisir privatisasi dan distribusi kekayaan dalam setiap lapisan kelas sosial masyarakat. Konflik agraria juga dapat diminimalisir karena pengelolaan tanah dikelola oleh negara dan rakyat secara langsung dan bersama-sama. Upaya ini tentu harus diiringi dengan mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM). Tanpa adanya kesadaran atau pendidikan terhadap segala elemen yang terlibat, maka upaya ini akan sulit direalisasikan.

Tugas negara berfungsi untuk mengontrol ranah produksi di masyarakat dan yang akan mendapatkan hasilnya adalah masyarakat yang bekerja sendiri dalam mengelola SDA. Dengan begitu, konflik vertikal antara masyarakat dan negara dapat diminimalisir, karena pengelolaannya didasarkan pada pengetahuan dan kondisi setempat yang berlaku. Selain konflik vertikal, rentan juga terjadi konflik horizontal. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang hendak/sudah diagendakan untuk diprivatisasi juga rentan berkonflik dengan sesamanya, sebab mereka akan terbagi pada kubu-kubu pendukung dalam lapisan kelas sosial yang sedang berkonflik. Sebagai contoh misalnya konflik-konflik agraria yang terjadi pada masyarakat adat. Lemahnya hukum struktural atau pengakuan negara terhadap hak ulayat berakibat pula pada konflik internal dalam masyarakat adat sendiri.

Masyarakat memiliki peran langsung dalam membangun perekonomian negara sebagaimana konsep dari ekonomi kerakyatan Bung Hatta. Menurut Hatta (1987), rakyat memiliki potensi yang sangat besar sekali dalam memutus kerja-kerja eksplotatif sebab rakyatlah yang memiliki andil paling banyak dalam lingkungan kerjanya sendiri. Melalui koperasi kerakyatan, Hatta membayangkan bahwa distribusi kekayaan cenderung tidak akan timpang, bahkan parasit ekonomi dan pelaku penindas perdagangan akan hilang. Rakyat diberi kepercayaan yang lebih dan berhimpun secara kolektif dalam membangun ekonominya.

Swastanisasi dan privatisasi yang dibuka seluas-luasnya dalam pasar bebas untuk mengentaskan ketimpangan ekonomi akibat pandemi harus dipertimbangkan kembali. Pemerintah harus mengambil jalan atau solusi yang tepat dan jangan sampai merugikan masyarakat terdampak di lahan-lahan yang hendak diswastanisasi atau diprivatisasi. Solusi dibangun tidak dengan cara mengesampingkan salah satu lapisan kelas sosial di masyarakat. Konflik vertikal (antara masyarakat vs negara) dan konflik horizontal (antara masyarakat vs masyarakat) harus dihindari sedapat mungkin.

Daftar Bacaan:

Hatta, M. (1987). Ekonomi Industri. Pustaka Gunung Agung.

Sangkoyo, H. (2013). Politik Tani di Indonesia. Jurnal Studi Politik, 2(2), 58–74.

Sujiwo, T. A. (2012). Perubahan Penguasaan di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya). In D. Bachriadi (Ed.), Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia. ARCBooks.

 

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube https://www.youtube.com/channel/UCDYl55gmR97drxxI_61d-ew

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Yuris Fahman Zaidan

Lulusan Program Magister Cultural Studies (M.Hum) Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Memiliki ketertarikan lebih dalam bidang budaya dan sosial.

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *