Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Presiden ke-3 RI. Meskipun tercatat sebagai seorang Presiden, namun beliau dikenal lebih dari itu. Beliau diakui sebagai salah satu bapak kemanusiaan dunia dikarenakan kontribusinya ketika menjabat sebagai Presiden dan petinggi Nahdhatul Ulama dalam melawan diskriminasi dan intoleransi.
Kathy Marks dalam artikelnya yang berjudul Abdurrahman Wahid: Islamic cleric who as President championed secularism and minority rights, menuturkan bahwa Gus Dur merupakan tokoh agama dan politik yang selalu mempromosikan ide-ide sekularisme, salah satu tokoh perjuangan transisi sistem otoritarianisme ke demokrasi, dan aktif menjunjung tinggi prinsip “wit, humanism, dan tolerance”.
Selama masa hidupnya, ia banyak menasbihkan diri sebagai pembela kaum minoritas termasuk diantaranya umat Kristiani dan komunitas Tionghoa yang kerapkali menerima tindakan diskriminatif baik secara vertikal antar masyarakat ataupun secara horizontal dari rezim yang berkuasa sebelumnya. Karena perilakunya tersebut, tidak heran jika kematiannya pada umur ke-69 menimbulkan duka nasional yang berkepanjangan.
Namun terlepas dari kontribusinya dalam kacamata kemanusiaan, Gus Dur kerapkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak lazim ditinjau dari perspektif masyarakat kebanyakan pada masa itu. Alih-alih menanggapi dan merenungi pernyataan Gus Dur tersebut secara serius, banyak kalangan malah menganggap pernyataan tersebut sebagai guyonan atau humor yang memang sering dipertontonkan oleh beliau.
Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh Gus Dur semasa hidupnya seringkali berupa sesuatu yang menurutnya akan terjadi di masa depan. Dari sisi akademis, ungkapan seperti ini biasa diartikan sebagai analisis atau prediksi terhadap hal yang akan terjadi berdasarkan perhitungan di masa kini. Kendati demikian, masyarakat di akar rumput lebih sering menyebutnya dengan ramalan.
Kembali Bukan Sebagai Ketum PBNU, Namun Sebagai Presiden RI
Ungkapan pertama Gus Dur, dalam tulisan ini, yang kelak menjadi kenyataan diucapkan ketika beliau berkunjung ke petinggi Katolik di Vatikan sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur memang terlihat sering berkunjung ke pemuka agama lain di luar Islam guna menjalin persaudaraan lintas agama. Hal ini merupakan bentuk pengamalan nilai kemanusiaan di atas segalanya yang selalu dikampanyekan dimanapun beliau berada.
Pada saat kunjungan ke Vatikan, Gus Dur mengatakan kepada petinggi-petinggi Katolik bahwa kelak, ia akan kembali berkunjung ke Vatikan. Gus Dur lalu menambahkan bahwa ia akan kembali lagi bukan sebagai Ketua Umum PBNU, namun sebagai Presiden sah Republik Indonesia.
Pernyataan Gus Dur tersebut sontak mengundak gelak tawa dari petinggi Katolik yang mendengarkan. Mereka menganggap bahwa ungkapan tersebut tidak masuk akal karena jika dipikir dengan akal sehat, tidak ada yang dapat memastikan masa depan dan karir seseorang kecuali Zat di luar kuasa manusia.
Namun siapa yang mengira bahwa ungkapan Gus Dur tersebut menjadi kenyataan dalam rentang waktu hanya setahun. Kunjungan Gus Dur selaku Presiden RI tentunya membuat petinggi Katolik di Vatikan sangat terkejut. Oleh karenanya, petinggi Katolik di Vatikan menyampaikan melalui Sekjen PBNU kala itu, H. Marsudi Syuhud, bahwa Gus Dur adalah sosok yang suci dan memiliki spiritualitas tingkat tinggi.
Bahwa Jokowi Kelak Akan Menjadi Presiden RI
Ungkapan yang kedua terjadi pada 2006 ketika Gus Dur singgah di rumah dinas Wali Kota Solo. Menurut keterangan dari panitia Harlah Gus Dur ke-9, Hussein Syifa, kunjungan Gus Dur ke Solo sebelum akhirnya singgah di rumah dinas Wali Kota Solo adalah untuk menghadiri acara Njejegake Sakaguru Nusantara (Menegakkan Kembali Sokoguru Nusantara).
Kebetulan pada saat itu yang menjabat sebagai Wali Kota Solo adalah Joko Widodo (Jokowi), beliau menjabat dalam kurun waktu 2005-2012. Maka tidak heran jika Jokowi sebagai tuan rumah hadir untuk menjamu Gus Dur sebagai tamu spesial. Terlebih lagi, dalam obrolan yang terjalin dalam rumah tersebut, Gus Dur menuturkan bahwa sosok Jokowi memiliki karakter seorang pemimpin. Gus Dur pun mengutarakan bahwa kelak, Jokowi akan menjadi seorang Presiden RI.
Benar saja, 8 tahun berselang tepatnya pada 2014, Jokowi resmi terpilih sebagai Presiden ke-7 RI. Bahkan masa kepresidenan Jokowi tidak hanya bertahan 1 periode ketika pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin resmi terpilih sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden melalui Pilpres tahun 2019.
Gus Dur Menghendaki Pembubaran FPI
Penyataan terkait masa depan Gus Dur yang terakhir dalam tulisan ini adalah menyoal organisasi Front Pembela Islam (FPI). Pada saat itu, tahun 2008, Gus Dur secara tegas mengatakan bahwa pada waktunya, FPI akan dibubarkan. Gus Dur sempat mengutarakan keinginannya untuk membubarkan FPI ketika beliau berkuasa, namun hal itu tidak terjadi karena Gus Dur terlebih dahulu dilengserkan darI posisi Presiden RI sebelum keinginannya tercapai.
Keinginan tersebut berangkat dari relasi Gus Dur dan FPI yang memang dikenal tidak terlalu baik, bahkan tidak jarang Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Imam Besar FPI) tertangkap berkonflik satu sama lain hingga menyulut emosi dari pengikut masing-masing. Pengusiran Gus Dur oleh anggota FPI dalam acara dialog Forum Lintas Agama dan Etnis di Purwakarta tahun 2006 serta mobilisasi massa pendukung Gus Dur ke kediaman Pimpinan FPI Jember, Abu Bakar, di tahun yang sama hanyalah sedikit contoh dari konflik antara 2 tokoh agama tersebut.
Di beberapa kesempatan Gus Dur memang sering menyampaikan kritik pedas baik kepada FPI sebagai organisasi maupun kepada Habib Rizieq Shihab secara personal. Namun kritik tersebut diutarakan bukan tanpa alasan. Setiap tahunnya, FPI terus-menerus mempertontonkan sikap arogan, intoleran, dan perilaku kasar terhadap banyak pihak melalui serangkaian aksi yang didasarkan pada kebenaran subjektif belaka.
Dalam hal ini, FPI seperti berjalan menggunakan kacamata kuda dimana mereka tidak dapat melihat kebenaran di luar kebenaran mereka sendiri. Dalam perjalanannya, FPI menormalisasi penggunaan kekerasan, intimidasi, dan ungkapan kebencian demi tegaknya kebenaran yang mereka percaya.
Hal inilah yang disesali oleh Gus Dur. Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh kemanusiaan percaya bahwa nilai kemanusiaan harus ditempatkan di atas segalanya. Namun untuk mengkampanyekan narasi tersebut, Gus Dur tidak pernah menggunakan pendekatan seperti yang digunakan oleh FPI. Sebaliknya, Gus Dur lebih memilih untuk berdakwah santun diselingi dengan humor-humor yang mencerminkan intelektualitas tingkat tinggi.
Meskipun tidak dalam periode pemerintahannya, saat ini kita menyaksikan satu lagi kebenaran dalam ungkapan Gus Dur di masa lalu. Bertepatan dengan haul Gus Dur ke-11 pada 30 Desember 2020, melalui keputusan bersama 6 menteri/kepala Lembaga, Pemerintah resmi membubarkan organisasi yang telah berdiri sejak 17 Agustus 1998 tersebut.
Warisan Gus Dur
Dalam puisinya yang berjudul “Lelaki yang Tak punya Mata”, Inayah Wahid, putri dari Gus Dur menyampaikan bahwa meskipun mata Gus Dur terpejam, tapi nyatanya beliau melihat lebih banyak, memandang lebih dalam, dan menyaksikan lebih jauh daripada kita yang matanya membelalak. Inayah juga menuliskan bahwa mata seorang Gus Dur laksana jendela yang darinya kita bisa menjelah tanpa batas tak peduli dari golongan apa kita berasal.
Puisi tersebut tercipta seakan-akan ingin menampar kenyataan yang ada saat ini. Dimana seseorang dengan fisik sempurna merasa lebih superior daripada mereka yang tidak. Dimana seseorang yang berasal dari kasta tinggi merasa berhak untuk berlaku diskriminatif terhadap masyarakat di bawahnya.
Maka dari itu, meskipun Gus Dur telah lama tiada, namun nilia-nilai kemanusiaan yang beliau perjuangkan harus tetap menjadi warisan untuk kita lestarikan. Tidak boleh lagi kita menghina seseorang dengan kekurangan khusus. Karena seperti Gus Dur, orang tersebut bisa jadi dapat memandang apa yang tidak bisa kita pandang, orang tersebut bisa saja melihat masa depan yang tidak bisa dipahami dengan segala keterbatasan otak kita. Untuk Gus Dur, semoga segala kemuliaan Tuhan selalu bersamanya.