Angin Segar Covid 19 Terhadap Tuntutan Pendidikan Abad 21 di Indonesia

COVID-19 yang muncul di Wuhan dan kini telah tersebar hampir ke seluruh dunia, memberi alarm bahwa suatu perubahan besar akan terjadi yaitu C-19 telah membuka cakrwala baru bagi Revolusi, dan mengantar era baru yang tercerahkan bagi Indonesia terutama dalam mengahadapi tuntutan pendidikan abad 21 yang berklibat pada pengembangan IPTEK dan teknologi digital (Gates, 1996).

Masyarakat global pada abad 21 menuntut manusia untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, fleksibel, terbuka, inovatif, tangkas (“dexterity”), kompetitif, peka terhadap masalah, menguasai informasi, mampu bekerja dalam tim (team work) serta keterampilan untuk hidup (life skills) (Semiawan, 1998). Karena itu, pola pengembangan sumber daya manusia pada pendidikan dasar saat ini tidak cukup dibekali dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung atau “Tree Rs” (reading, writting, arithmetic), tetapi juga harus dibekali dengan kompetensi masyarakat global, yaitu komunikasi, kreatif, berpikir kritis, dan kolaborasi atau “Four Cs”(communicators, creators, critical thingkers, and collaborators) (NEA, 2012).

Hadirnya Wabah C-19 turut mempengaruhi seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, maupun budaya yang berdampak pada perubahan pola dan system kerja. Untuk itu, pengembangan mutu sumber daya manusia dan pembangunan nasional harus segera disesuaikan, sehingga tersedia fasilitas (sarana pendukung) dan mutu sumber daya manusia yang terlatih.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dari rumah.  Kebijakan ini memberikan angin segar bagi system pendidikan Indonesia untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam menggagas pendidikan modern sebagai aktivitas yang hadir di mana-mana, dan dapat diakses dan dinikmati oleh setiap peserta didik di tanah air.

Dalam situasi ini, maka teknologi digital adalah alternatif pilihan sebagai media untuk bertemu di tengah penerapan kebijakan social dan phsycal distancing. Alternatif ini hanya berlaku di daerah yang tersedia fasilitas serta sumber daya manusia yang terlatih. Dan menjadi momok besar (penghambat) bagi daerah yang tidak memiliki fasilitas seperti Laptop/Komputer, tidak ada jaringan internet, belum ada akses listrik, dan kurang siapnya mutu sumber daya manusia.

Soft Skill & Pembelajaran Kontekstual

Ketika teknologi untuk memperoleh dan menyebarkan pengetahuan menembus rumah, tempat kerja dan tempat-tempat lainnya, para pendidik pada abad 21 seharusnya tidak terperangkap dengan pola konvensional yang hanya mementingkan ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi harus mengarahkan murid-murid menjadi manusia utuh dengan memenuhi aspek intelektualitas, keterampilan, kepribadian, dan kepekaan social. Wabah COVID 19 telah memberikan sebuah situasi pembelajaran baru yang berlangsung di “sekolah elektronik” sekolah tanpa tembok, yang menuntut fungsi social juga harus diintegrasikan dalam jaringan pembelajaran (Colin Rose & Malcolm J. Nicholl, 2002).

Pendidik harus kreatif untuk menciptakan model pembelajaran yang mendorong peserta didik mampu untuk memenuhi tuntutan kompetensi masyarakat global. Peserta didik dilatih agar memiliki kemampuan untuk melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan) kembali apa yang telah diperoleh selama proses pembelajaran. Situasi ini sesungguhnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya bagi peserta didik untuk mengeksplore kemampuan diri, dan mengembangkannya sesuai dengan bakat dan minat mereka.

Harapan ini akan terwujud jika pendidik mampu mendesain pembelajaran selama masa belajar di rumah dengan model pembelajaran kontekstual, untuk menggali dan menemukan potensi serta kreativitas peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan soft skil mereka melalui aktivitas reading and writing, jurnalistik, problem solving, communication skill, penemuan diri dan gender di bawah tema umum COVID 19 dengan tidak harus terpaku dengan materi yang ada pada buku-buku pelajaran. Proses pembelajaran harus berpusat pada siswa (student center) dengan acuan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skill(HOTS) (Anwar, 2014; Kemendikbud, 2016).

Kreativitas dan Adversity Quatient

Prasyarat utama lahirnya kreativitas adalah kebebasan berpikir. Suasana pembelajaran yang kondusif akan merangsang tumbuh dan berkembangannya daya pikir peserta didik. Peserta didik akan berani bertanya, beropini, dan berinisiatif yang menggambarkan keunikan ekspersi dari masing-masing individu. Pengalaman pembelajaran demikian akan memberikan inspirasi dan motivasi bagi peserta didik untuk berpikir kritis, logis, tahu sebab akibat, sistematis dan kritis, mampu membandingkan, membedakan, menganalisa dan mengambil kesimpulan, sehingga hakikat pendidikan sebagai learn to think, learn to read, learn to write, learn how to learn, dan learn to create dapat tercapai.

Pola dan oreintasi pendidikan yang cenderung feodal dan konvensional,yang menekanakan pada hafalan dan keseragaman,akan melumpuhkan kemampuan daya pikir siswa. Akibatnya, manusia generasi konvensional ini gampang terjebak dalam rutinitas atau pola tertentu dan jika berbentur dengan suatu masalah langsung tidak berdaya, karena tidak terbiasa mencari alternatif lain. Maka tidak heran dengan karakter-kareakter yang sering kita jumpai dilapangan seperti yes man, bisu, pasif, tidak berani melawan arus, gampang frustasi, cepat tersinggung, takut berbuat salah dan disalahkan serta mau cari aman.

Pendidikan yang memberikan penghargaan pada kepatuhan dan keseragaman, adalah pendidikan yang menghadirkan suasana gulita dan terkesan mencekam. Jika ada yang berbeda dari pola tertentu, dengan gampang sekali dikatakan menyimpang dan disalahkan. Ekspersi individu amat tidak dihargai. Imbasnya adalah orang sering tidak bernai berbeda, takut mencoba hal-hal baru, mudah khwatir atau cemas dalam menghadapi rintangan, tidak berani bertangungjawabatas perbuatnnya karena tidak terlatih untuk tampil sebagai individu (dengan menunjukkan inilah saya). Berbuat salah adalah akhir dari segalanya.

Sebaliknya orang yang kretaif tidak pernah takut menghadapi masalah karena mempunyai segudang alternative. Dengan sigap bisa memecahkan masalah,tidak pernah punya momok untuk berbuat kesalahan, karena dari kesalahan lahir ide baru yang lebih segar dan lebih baik. Proses dalam hidup tidak pernah mandeg, karena selalu berpikir apa lagi yang bisa saya lakukan? Ia berani mempertangguung jawabkan perbuatannya karea ia yakin kalau pun ia dianggap gagal atau berbuat kesalahanm, itu bukan akhir dari segalanya.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Alexius Andiwatir, S.Fil, M.Si

Alex Andiwatir, seorang pendidik, Mendalami Psikologi Pendidikan, Menyukai Filsafat dan Hal-Hal Baru, serta diskusi sambil ngopi.

Artikel: 4

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *