PERKEMBANGAN DESENTRALISASI DI INDONESIA

Persoalan didalam otonomi daerah serta desentralisasi merupakan sebuah masalah yang sangat banyak dibicarakan di negeri ini, disamping adanya sebuah integrasi nasional, korupsi serta partai politik. Otonomi daerah merupakan sebuah proses bernegara yang tidak akan pernah tuntas dan pasti akan selalu mengalami perubahan secara terus menerus dan tidak akan pernah berkesudahan. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Berdasarkan dengan hal tersebut diatas, maka didalam sistem pemerintahan di Indonesia kita mengenal dengan adanya konsep dasar pemerintahan lokal, pertama Sentralisasi, kedua Desentralisasi dan ketiga Dekonsentrasi. Yang mana ketiga konsep tersebut sudah pasti berhubungan dengan pemerintahan daerah dan berkaitan dengan pemerintahan daerah ini sudah ada sebanyak 8 (delapan) kali perubahan pearuran perundang-undangan yang berlaku di negara ini yang mana saat ini berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 1 ayat (6) UU Pemda mendefenisikan bahwa “otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selama Indonesia merdeka, kebijakan didalam pemerintahan daerah telah mengalami perubahan dan perkembangan yang amat sangat dinamis terbukti sudah ada delapan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari tahun 1945 sampai dengan saat ini.

Selanjutnya pada Pasal 1 angka (12) UU Pemda pengertian dari daerah otonom, adalah “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari otonom adalah sebuah pemecahan masalah serta sebuah pemberian layanan yang bersifat lokalitas atau yang lazim disebut dengan daerah setempat untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat yang mendiami daerah tersebut. UUD NRI 1945 mengariskan bahwa pemerintahan daerah haruslah dilaksanakan berdasarkan kepada prinsip permusyawaratan/demokrasi, serta pola hubungan kekuasaan, pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tidak dapat dipungkiri sangat bergantung kepada keadaan dan konfigurasi politik pemerintahan pada yang sedang berjalan saat ini. Dengan adanya realitas seperti ini tentulah mempengaruhi dari formalitas penyelenggaraan dari pemerintahan daerah dan pemberian otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Bagir Manan di “dalam tataran pelaksanaan, belum pernah otonomi dijalankan sebagaimana mestinya, menurut Bagir pemerintahan pusat dan legislatif tetap gamang dan tidak tulus hati dalam merumuskan dan menjalankan arti otonomi yang sesungguhnya dengan berbagai alasan pembenaran,” maka dalam hal ini Pemerintahan daerah menyelenggarakan sebuah urusan pemerintahan yang menjadi sebuah kewenangannya, terkecuali urusan pemerintahan yang mana oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Yang mana berbagai dinamika dari kebijakan pemerintah daerah ini di mulai dari sebuah arah sentralisasi menuju sampai dengan saat ini, yairu desentralisasi. Pada UU Pemda ini pemerintah Indonesia menerapkan sebuah pola pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah namun dengan tetap mengacu kepada pola desentralisasi, urusan pemerintahan tersebut dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu pertama urusan pemerintah absolut, kedua urusan pemerintah konkuren dan ketiga urusan pemerintah umum.

Urusan pemerintah absolut merupakan urusan pemerintah yang mana seluruhnya menjadi kewenangan dari pemerintah pusat, pengaturan urusan pemerintah absolut secara jelas terdapat didalam Pasal 10 UU Pemda, adapun urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Urusan pemerintah konkuren merupakan urusan pemerintah yang dibagikan antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Dalam urusan pemerintah konkuren ini terdiri dari urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintah pilihan, serta urusan diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Selanjutnya adalah urusan pemerintah umum adalah urusan pemerintah yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala negara.

Perubahan kebijakan didalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu kepada “ultra vires doctrinal (merinci satu persatuan urusan pemerintah yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open and arregement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa)”. Ultra vires doctrinal lebih berasa pada sentralisasi dan risidual power lebih mengarah pada desentralisasi. Pola hubungan pusat dan daerah sejak pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 sampai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pastilah mengalami dinamika perubahan, pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih tepat lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrinal karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirincikan satu persatu. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 kewenangan yang diberi bersifat residual power atau open and arregemet atau general competence.

Desentralisasi asimetris terasa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana didalamnya ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa). Berkembangnya kepentingan dari pemerintah pusat, maka demi kebaikan dan kelancaran serta efektifitas dari pemerintah diadakan pelimpahan kewenangan-kewenangan pada instansi di daerah-daerah yang berada jauh dari pemerintahan pusat, yang dapat berupa asas dekonsentrasi, asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan (medebewind). Secara etimologis, istilah “desentralisasi berasal dari bahasa Latin, ‘de’ berarti lepas dan ‘centrum’ berarti pusat. Oleh karena itu, dari pengertian asal katanya desentralisasi berarti melepaskan dari pusat.” Otonomi dan desentralisasi menegaskan bahwa terdapat dua elemen pengertian pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum.

Philip Mawhod mengartikan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Sementara itu Irawan Soejito mendefinisikan bahwa desentralisasi memiliki arti sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan untuk dilaksanakan. Penyerahan urusan pemerintahan hanya dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) kepada daerah otonom. Oleh karena itu, tidak terjadi penyerahan wewenang legislasi dari lembaga legislatif dan wewenang yudikasi dari lembaga yudikatif kepada daerah otonom. Desentralisasi adalah asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi, desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal (local government).

Melalui sudut leksikografi, desentralisasi adalah pembalikan dari konsentrasi administrasi pada satu pusat dan sekaligus pemberian kekuasaan kepada daerah. Senada dengan hal tersebut, Arif Mulyadi mengartikan desentralisasi sebagai penyerahan tugas atau urusan kepada pemerintah tingkat bawah (overdracht van taken of bevoegdheid) yang lazimnya landasannya terdapat pada undang-undang dasar dan penyerahannya dilakukan dengan undang-undang.

Sumber:
Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum UII. Yogyakarta.
Dharma Setyawan Salam. 2002. Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, Dan Sumber Daya. Djambatan. Jakarta.
Hanif. 2003. Teori dan Praktek Pemerintahan. Grafindo. Jogjakarta.
Irawan Soejito. 1984. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bina Aksara. Jakarta.
Syamsuddin Haris. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. LIPI Press. Jakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
W.Riawan Tjandra. 2004. Dinamika Peran Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Administrasi. Analisis Kritis Terhadap Persepektif Penyelenggaraan Pemerintahan. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Eko Nuriyatman

Berprofesi sebagai Dosen dan Peneliti Hukum Kebijakan Publik dan Sumber Daya Alam.

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *