Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa, “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara.” Kekuasaan Presiden di bidang pengelolaan keuangan negara tersebut, selanjutnya: a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian/lembaga yang dipimpinnnya; c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Undang-Undang Keuangan Negara tersebut telah “mengorganisasikan” pengelolaan keuangan negara ke dalam Kementerian/Lembaga berdasarkan “kuasa” dari Presiden selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara serta ke dalam daerah-daerah otonom berdasarkan penyerahan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden. Pembagian tugas antara Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia dan Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Chief Operational Officer (COO) dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya sistem checks and balances dalam proses pelaksanaan anggaran.
Pelaksanakan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah secara transparan, akuntabel dan bebas dari korupsi, memerlukan fungsi pengawasan intern yang handal dan sistem pengendalian intern yang memadai, demikian pertimbangan Presiden dalam menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Peningkatkan kehandalan penyelenggaraan fungsi pengawasan intern dan kualitas sistem pengendalian intern dilakukan melalui penyempurnaan organisasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Penyempurnaan organisasi BPKP melalui Perpres tersebut meliputi kedudukan, tugas, fungsi, serta organisasi dan tata kerjanya.
Stephen Robein menyatakan bahwa pengawasan adalah “The process of monitoring activities to ensure they are being accomplished as planned and correcting any significant devising”. [Pengawasan adalah suatu proses pengamatan (monitoring) terhadap suatu pekerjaan, untuk menjamin pekerjaan tersebut dapat selesai sesuai dengan yang direncanakan dan pengoreksian beberapa pemikiran yang penting.]
Secara teoretis dipahami bahwa sistem pengawasan yang efektif adalah sarana terbaik untuk membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik dalam administrasi negara. Philipus M. Hadjon menguraikan beberapa bentuk pengawasan dan kontrol. Di antara bentuk pengawasan kontrol, terdapat istilah “pengawasan preventif”, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan. Selain itu ada “pengawasan represif”, yaitu pengawasan yang dilakukan kemudian setelah pelaksanaan kegiatan. Keputusan-keputusan badan-badan yang bertingkat lebih rendah akan dicabut kemudian apabila bertentangan dengan undang-undang atau kepentingan umum. Dalam situasi yang menuntut tindakan cepat, dapat juga diambil tindakan penangguhan keputusan, sebelum dilakukan pencabutan. Pengawasan represif hanya berguna apabila dilakukan secara komprehensif dan cukup intensif, laporannya bersifat objektif dan analitis, serta laporan disampaikan secara cepat. Prajudi Atmosudirjo memaknai pengawasan sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan
dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.
Berdasarkan kedudukan badan yang melaksanakannya, pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintah dapat dibagi menjadi:
a. Pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/institusi yang secara struktur organisasi masih berada di lingkungan pemerintah itu sendiri;
b. Pengawasan eksternal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh badan/institusi di luar pemerintah/eksekutif.
Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mendefinisikan bahwa: “Pengawasan intern yaitu seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Pengawasan harus dilakukan untuk menjaga agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan. Melalui pengawasan dapat dilakukan penilaian apakah suatu entitas telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara hemat, efisien dan efektif, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Saat ini paradigma baru pengawasan intern sangat berbeda dengan konsep pengawasan intern tradisional. Paradigma baru pengawasan intern, menempatkan pengawas internal bukan lagi bertindak sebagai watchdog yang tugasnya menemukan kesalahan manajemen sebanyak mungkin, dimana keberhasilan pengawasan intern hanya dilihat dari aspek jumlah temuan yang dihasilkan. Berbeda dengan paradigma tradisional, paradigma baru pengawasan intern mengacu pada dua hal pokok, yaitu:
1. Pengamanan dan konsultasi (assuranceandconsulting);
2. Efektivitas pengelolaan resiko melalui risk based auditing, control, dan governance proceses.
Standard Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI) 6 mendefinisikan audit intern sebagai: “suatu kegiatan yang independen dan obyektif dalam bentuk pemberian keyakinan [assurance activities] dan konsultansi [consulting activities], yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasional sebuah organisasi [auditi]. Kegiatan ini membantu organisasi [auditi] mencapai tujuannya dengan cara menggunakan pendekatan yang sistematis dan teratur untuk menilai dan meningkatkan efektivitas dari proses manajemen risiko, kontrol [pengendalian], dan tata kelola [sektor publik]”. Kegiatan assurance dan consulting aparat pengawasan intern Pemerintah, menunjukkan semakin luasnya praktik pengawasan intern, sehingga dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi operasional entitas. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pengawasan internal bukan dilihat dari jumlah temuan, melainkan dari ukuran sejauh mana pengawasan internal dapat membantu rekan sekerjanya mengatasi permasalahan yang timbul dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengawas internal adalah bagian dari manajemen yang juga ikut bertanggung jawab atas keberhasilan pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Termasuk dalam hal ini adalah aspek pengelolaan resiko, kontrol, dan governance processes yang menunjukkan melalui pelaksanaan good governance fungsi kontrol dan pengawasan pada akhirnya akan membantu menangani masalah resiko.
Audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern adalah bagian dari kegiatan penjaminan kualitas (quality assurance) yang dapat dilakukan dalam bentuk:
1. Audit Keuangan
a. Audit keuangan yang memberikan opini.
b. Audit terhadap aspek keuangan tertentu.
2. Audit Kinerja
3. Audit Dengan Tujuan Tertentu
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa, “Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.” Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang perbendaharaan. Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang menyelenggarakan sistem pengendalian intern di bidang pemerintahan masing-masing. Sementara itu, Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, pengaturan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern merupakan tanggung jawab Pemerintah dan harus dilaksanakan di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Pengaturan dan penyelenggaraan SPI secara menyeluruh – dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara – tidak hanya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, melainkan juga harus dilakukan oleh menteri pimpinan/lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang di bidang pemerintahanya masing-masing, serta oleh gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah yang menerima penyerahan kekuasaan pengelolaan sebagian keuangan negara.