Persoalan kerusakan hutan di Indonesia dinilai telah sampai pada fase yang paling buruk di dunia yang ditandai dengan sejumlah kerugian dalam skala besar secara ekologis, sosial-ekonomis dan bahkan politis. Kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun dengan nilai kerugian secara sosial ekonomi dan ekologis berupa perubahan iklim, longsor, banjir dan rusaknya habitat hutan/alam mencapai Rp530 triliun (Kartodihardjo, 2006).
Kejadian ini bermula ketika curah hujan antara bulan November 2020 hingga Januari 2021 mengalami kenaikan yang cukup besar. Berdasarkan data badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kalimantan Selatan diguyur hujan hampir setiap hari, bahkan diperkirakan masih tetap akan diguyur hujan cukup deras hingga akhir januari khususnya untuk daerah seperti Kota Banjarmasin, kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, kabupaten Barito Kuala, Kabupaten hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong dan kabupaten Tanah Laut.
Cuaca ekstrim yang terjadi selama 10 hari berturut-turut yaitu hujan deras di wilayah Kalimantan Selatan membuat terjadinya bencana ekologis terjadi. Luapan air yang tak terbendung mulai merangsek ke permukiman, tak ada lagi tempat resapan air membuat mudah nya banjir dan longsor. Pada Januari 2021 telah terjadi banjir di provinsi Kalimantan Selatan dengan 13 Daerah (Kabupaten dan Kota) terendam banjir dan longsor di beberapa wilayah.
ini adalah beberapa video amatir di kabupaten Tanah Laut, saat ini pemukiman, perkebunan bahkan jalan raya tampak seperti Lautan. Sehingga memerlukan kelotok (perahu bermesin) untuk distribusi bantuan terhadap korban bencana ini.
Terputusnya Akses jalan dan jembatan karena banjir dan longsor mengisolir beberapa wilayah di Kab Tanah Laut dan Kab Hulu Sungai Utara. Dua Kabupaten tersebut yang menerima dampak paling parah. Bahkan di beberapa wilayah ada yang membanjiri hingga setinggi kepala orang dewasa. Tidak hanya menelan korban jiwa, infrastruktur pun lumpuh total, jembatan terputus, rumah dan jalan terendam.
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Surat Ar-Rum ayat 41).
Sebelum terjadi banjir ini kita sudah diberi peringatan yang jelas agar menjaga lingkungan. Seberapa besar Luas Banjir di Kalimantan Selatan? Yaitu sebesar 183.000 Hektar atau lebih besar 250.000 Lapangan Sepak Bola. Bahkan melebihi luas permukaan Danau Toba, Danau terbesar di Indonesia ini hanya 113.000 Hektar. Banyak yang bertanya-tanya apakah penyebab banjir ini hanya karena faktor cuaca seperti hujan, atau ada hal lainnya?
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menjelaskan analisanya mengenai banjir besar di Kalimantan Selatan selain pengaruh cuaca. Telah terjadi perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini yang menyebabkan kemungkinan terjadinya banjir di Daerah Aliran Sungai atau DAS Barito. Adanya penurunan luas hutan primer, hutan sekunder , sawah, dan semak belukar.
Perubahan penutup lahan di DAS Barito sebagai respon terhadap bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Luas hutan primer menurun sebesar 13 ribu hektar, hutan sekunder 116 ribu hektar, sawah sebesar 146 ribu hektar, dan semak belukar turun sebesar 47 ribu hektar.
Dengan demikian, jumlah semua lahan yang menyusut di kawasan tersebut mencapai 322 ribu hektar. Di lain sisi, perluasan area perkebunan terjadi cukup signifikan yaitu seluas 219 ribu hektar.
Menurut Greenpeace Indonesia sebagai Organisasi peduli lingkungan mengungkapkan bahwa lebih dari separuh hutan hujan Kalimantan hilang dalam waktu 50 tahun terakhir.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan pernyataan bahwa penyebab banjir di Kalimantan selatan terjadi karena adanya anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito wilayah Kalimantan Selatan. Kalimantan mempunyai area DAS seluas 6,2 juta hektar, dimana 1,8 juta hektar diantaranya berada di DAS barito wilayah Kalimantan Selatan. Merujuk data 2019, 83,3% hulu DAS masih hutan alam, sisanya 1,3 % merupakan hutan tanaman dan diklaim DAS Barito masih terjaga dengan baik. DAS Barito yang berada di wilayah Kalimantan Selatan hanya mencakup 40 % Kawasan hutan sementara 60% lainnya mencakup areal Penggunaan Lain (APL) atau bukan Kawasan hutan. Artinya, kondisi DAS Barito di Wilayah Kalimantan selatan tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Khususnya Kalimantan Selatan, APL ini didominasi pertanian lahan kering campur semak,sawah serta kebun. Kejadian banjir pun berada pada daerah tampung air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai. Sehingga tidak sedikit juga yang menganggap bahwa banjir di Kalimantan Selatan disebabkan karena menyusutnya area hutan yang berubah menjadi perkebunan selain dari akibat pembukaan hutan untuk pertambangan.
Tim peneliti dari Universitas Duke, Amerika Serikat, merilis temuan terbaru terkait deforestasi di Indonesia. Dalam makalah riset berjudul What causes deforestation in Indonesia? (2019), tim peneliti itu menyebut tingkat deforestasi Indonesia masih tinggi sehingga mengundang kekhawatiran global.
Pengertian deforestasi menurut Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) sebagai peristiwa hilangnya lahan tutupan hutan akibat kegiatan manusia ataupun bencana alam.
Jika terjadi dalam skala besar, deforestasi akan mengancam kehidupan ribuan spesies, berisiko menimbulkan bencana erosi dan banjir, menurunkan kualitas air, serta berpotensi menggoyah ketahanan iklim global.
Misalnya, kerusakan hutan di Papua mayoritas terjadi karena industri kayu gelondongan. Tapi untuk kasus di Sumatera dan Kalimantan, penyebab utama deforestasi adalah industri perkebunan kelapa sawit, besarnya pertambangan batu bara serta fenomena El Nino yang rawan memicu kebakaran hutan.
Karena itu, Kemen G. Austin, salah satu peneliti yang terlibat dalam studi ini, menyebut kerusakan hutan di Indonesia tidak bisa ditangani dengan kebijakan yang bersifat general. Dia menilai bahwa pemerintah Indonesia perlu menyusun rencana spesifik yang sesuai dengan penyebab deforestasi masing-masing daerah.
Berikut adalah sejumlah faktor penyebab deforestasi Indonesia:
1. Industri Kelapa Sawit
Menurut analisis pencitraan satelit yang dilakukan tim peneliti, industri kelapa sawit masih menjadi penyebab deforestasi terbesar di Indonesia.
Selama periode tahun 2011 – 2016, peneliti menemukan industri sawit telah mengakibatkan deforestasi seluas 2,08 juta hektar atau 23 persen dari kerusakan hutan nasional.
Meski terdapat juga di Sumatera dan Papua, deforestasi jenis ini ditemukan paling banyak terjadi di Kalimantan.
2. Konversi Hutan Menjadi Semak Belukar akibat kebakaran hutan
Penyebab deforestasi terbesar setelah industri sawit adalah konversi hutan menjadi semak belukar atau padang rumput. Menurut amatan peneliti, kerusakan hutan jenis ini mayoritas terjadi akibat kebakaran hutan.
Sepanjang tahun 2011 – 2016, terjadi konversi hutan seluas 1,84 juta hektar atau 20 persen dari deforestasi nasional. Kerusakan macam ini paling banyak terlihat di Sumatera.
3. Pertanian Skala Kecil
Pertanian skala kecil merupakan faktor penyebab deforestasi peringkat ke-3 di Indonesia.
Biarpun lahannya kecil-kecil dan tersebar, namun total luas hutan yang dirambah oleh kegiatan pertanian telah mencapai 1,36 juta hektar atau 15 persen dari deforestasi nasional.
Deforestasi jenis ini banyak ditemukan di Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
4. Industri Penebangan Kayu
Deforestasi akibat penebangan kayu paling banyak terjadi pada tahun 2010–2012. Namun dalam keseluruhan pengamatan, hal ini telah menyebabkan kerusakan hutan seluas 1,26 juta hektar atau 14 persen dari deforestasi nasional.
Penebangan pohon tidak hanya disebabkan oleh pertambangan dan perkebunan sawit namun contoh kecil adalah industri tisu. Tanpa disadari tisu toilet memiliki dampak besar terhadap kerusakan lingkungan. Brondell pada 2020 (produsen peralatan toilet) mengungkapkan bahwa 27.000 pohon telah ditebang setiap harinya untuk tisu toilet saja, sedangkan satu buah gulungan tisu toilet membutuhkan 37 galon air dan 17,3 terawatt listrik per tahun. disinilah kita perlu menyadari perilaku kita terhadap tisu sebaiknya jangan boros dan usahakan daur ulang sampah kita dari dapur rumah kita dulu.
5. Industri Perkebunan Skala Besar
Berdasar amatan citra satelit, peneliti menemukan ada cukup banyak deforestasi yang diakibatkan perkebunan skala besar.
Jenis tumbuhannya sendiri tidak dapat diketahui dengan spesifik. Namun luas totalnya mencapai 616 ribu hektar atau 7 persen dari deforestasi nasional.
6. Industri Perkebunan Skala Kecil
Lahan-lahan perkebunan yang kecil namun banyak tersebar juga mendorong deforestasi secara langsung.
Luas total deforestasi jenis ini adalah 662 ribu hektar atau 7 persen dari deforestasi nasional.
7. Jalur Pengangkutan Kayu
Jalur-jalur pengangkutan kayu gelondongan ditemukan banyak terdapat di dalam hutan, jauh dari desa ataupun lahan pertanian. Luas totalnya mencapai 357 ribu hektar atau 4 persen dari deforestasi nasional.
8. Pertambangan
Pencitraan satelit memperlihatkan ada cukup banyak area bekas pertambangan di kawasan hutan, yang kondisi tanahnya sudah berlubang-lubang.
Luas kerusakan hutan jenis ini mencapai 219 ribu hektar atau sekitar 2 persen dari deforestasi nasional.
9. Ekspansi Kota dan Faktor Alam Lain
Berbagai aktivitas pembangunan seperti pengembangan lahan perumahan serta pembukaan lapangan golf tercatat ikut menyumbang kerusakan hutan, namun skalanya masih terbilang kecil.
Jika digabungkan dengan deforestasi akibat erosi pantai, tanah longsor, dan letusan gunung api, luas total kerusakan yang diakibatkan faktor-faktor ini mencapai 157 hektar atau 2 persen dari deforestasi nasional.
10. Tambak Ikan
Pencitraan satelit juga menangkap adanya tambak-tambak ikan di kawasan hutan. Luas totalnya mencapai 71 ribu hektar atau 1% dari deforestasi nasional.
Penyebab-penyebab ini tidak mungkin datang tanpa ada yang mendahuluinya. Sebelum adanya pembukaan lahan, pasti ada aturan yang memudahkannya seperti UU Mineral dan Batu Bara dan UU Cipta Kerja. Maka pembukaan lahan di hulu untuk sawit dan tambang diobral. Sedang di hilir, alih fungsi lahan untuk properti lebih dipermudah. Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) mudah disesuaikan. Peralihan dan pembukaan hutan menjadi lahan pertambangan dan perkebunan sawit seolah olah diberikan tanpa mempertimbangkan dampak alam yang akan terjadi.
Sebaiknya para perencana tata ruang yang bijak, akan memperhitungkan anomali hujan seratusan tahun. Maka pembukaan hutan di hulu tak boleh melewati angka-angka itu. Perlu perhitungan data debit air secara cermat untuk mengantisipasi banjir antara curah hujan, debit air, dan kapasitas sungai, tidak akan menjamin suatu daerah bebas banjir, ketika hutan-hutan tak bisa lagi menampung air. Sebab, penggunaan lahan hutan akan mengubah bentang alam, struktur hidrologi dan fungsi hutan itu sendiri yang berpengaruh terhadap mudahnya terjadi banjir. peningkatan deforestasi dan tutupan hutan yang turun drastis, membuat wilayah Kalsel tidak mampu lagi menampung curah hujan tinggi. Selain disebabkan daya tampung air yang berkurang, deforestasi di Kalimantan juga mendorong terjadinya krisis iklim yang berpengaruh besar pada curah hujan ekstrem di musim penghujan.
Kemungkinan bencana seperti ini akan sering terjadi lagi. Hal ini diperparah tanpa adanya resapan air hujan, pepohonan, tumbuhan yang berkurang jumlahnya sehingga daya serap air menjadi tidak optimal. Kondisi ini seharusnya mengajak kita berpikir kompleks mengenai restorasi alam, perbaikan struktur pembangunan. Kita harus segera melakukan perbaikan alam yang rusak, menanam pohon-pohonan walaupun di halaman rumah sendiri ataupun di sekitar kita.
Sama halnya ketika melakukan restorasi lahan gambut untuk meminimalisir adanya kebakaran hutan begitu pula untuk mengatasi bencana banjir selanjutnya adalah mengembalikan sistem serapan air dalam tanah, menanami lahan rusak dengan pohonan secepatnya, melancarkan aliran air maupun sungai, pembuatan saluran drainase sebelum pengaspalan, pengadaan waduk ataupun irigasi dan pompa yang air yang bisa menyedot air.
Mari kita lihat perbedaan wilayah yang memiliki hutan dan tanaman dengan wilayah gundul, cukup sederhana ditampilkan pada video di bawah ini.
Sekarang sudah paham kan apa pentingnya hutan bagi alam dan bagi kita semua. Mari kita buat gerakan menanam pohon satu orang satu pohon untuk mencegah terjadinya bencana ekologi yang mengerikan.