Perempuan dan wastra sepertinya tak terpisahkan, tak terkecuali bagi lima tokoh perempuan pejuang Indonesia ini.
Siapa yang tak kenal nama-nama seperti Cut Nyak Dien, R. Dewi Sartika, R.A Kartini, atau Maria Walanda Maramis? Kiprah mereka dalam membela bangsa dan negara serta mengangkat hak, derajat, serta martabat kaum perempuan Indonesia tidak diragukan lagi. Tak mengherankan bila kemudian para perempuan ini dinobatkan sebagai tokoh atau pahlawan pejuang dalam sejarah kemerdekaan dan kebangkitan bangsa Indonesia.
Di balik sepak terjang para tokoh perempuan Indonesia tersebut, ada satu hal yang menarik! Ternyata mereka memiliki perhatian yang besar terhadap kain atau watra Indonesia. Hal itu tercermin dari gaya berbusana mereka yang menggunakan kain-kain khas daerahnya masing-masing. Penggunaan busana tersebut tidak hanya memperlihatkan keanggunan seorang perempuan di era nya masing-masing tetapi juga menjadi cermin bahwa perempuan ini memiliki apresiasi yang tinggi, mencintai, dan juga ikut melestarikan wastra Indonesia sesuai trend pada masa itu.
Pada tahun 2013, Himpunan Wastraprema Indonesia di bawah pimpinan Sri Kurniyarsih Gastel menggelar pameran bertema “Puspa Pesona Wastra Tokoh Perempuan Indonesia” (PPWTPI). Selain dimaksudkan untuk mengenang perjuangan beberapa tokoh perempuan Indonesia melalui kain-kain yang mereka kenakan, melalui pameran ini terlihat pula keragaman dan pesona kain-kain adat beberapa daerah di Indonesia.
Cut Nyak Dien – ACEH
Pahlawan nasional asal Aceh kelahiran Lampadang tahun 1850 ini terkenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan melawan Belanda sejak tahun 1893-1896. Berbusana khas tradisional Aceh dengan rambut digelung ke atas, seperti itulah sosok Cut Nyak Dien yang sering kita saksikan pada foto-foto maupun gambar dokumentasi sejarah.
Dalam pameran PPWTPI 2013 busana ala Cut Nyak Dien yang sering ditampilkan melalui secarik kain berukuran cukup fantastis, yaitu 522 cm x 85 cm, Ija Duablah Hah! Untuk membentangkannya cukup memakan ruangan. Kain ini merupakan busana kebesaran juga pelengkap untuk baju pengantin perempuan Aceh. Terbuat dari sutera dan benang emas, dibuatnya menggunakan teknik tenun sederhana dan pakan tambahan. Dalam film Cut Nyak Dien (1988) yang diperankan oleh Cristine Hakim terlihat bahwa Cut Nyak Dien sering berbalut kain tersebut. Adapun busana atasan yang digunakan Cut Nyak Dien terbuat dari katun hitam dengan lis emas pada bagian lehernya.
( diambil oleh Fardi Bestari, dikutip pada 26 Januarin 2021 https://foto.tempo.co/read/6020/pemeran-puspa-pesona-wastra-untuk-wanita-pecinta-kain-adat#foto-6 )
Daerah lainnya di Aceh, semisal Gayo juga memiliki kekhasan pada wastranya. Misalnya sarung dan selendang motif Bunga Meulu yang terbuat dari katun dengan pakan tambahan dan hiasan emas. Lebih seing dikenal dengan kain Kerawang Gayo Lues. Sarungnya berukuran lingkar 184 cm x 94 cm. Adapun selendangnya berukuran 188 cm x 39 cm.
( foto acehtourism.info dikutip pada 26 Januari 2021 di laman https://lintasgayo.co/2016/03/13/menyimak-asal-usul-dan-makna-kerawang-gayo-lues/ )
Siti Rohana Kuddus – PADANG
Kisah keberanian tokoh perempuan kelahiran Kotogadang, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884 ini, Siti Rohana Kuddus, sangat terkenal karena kecakapannya. Sejak belia ia juga dikenal telah mampu berhitung, membaca, dan menulis abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu, serta berbahasa Belanda. Rohana juga piawai dalam menjahit serta menyulam. Pada usia 8 tahun seorang Rohana sudah mampu mengajarkan orang lain membaca dan menulis. dengan kemampuan itu pula Siti Rohana Kuddus kemudian berani menolak diskriminasi terhadap kesempatan mengenyam pendidikan. Ia mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia pada 11 Februari 1911.
Tokoh perempuan yang meninggal di Jakarta pada 1972 ini kesehariannya digambarkan memakai baju kurung dengan selendang khas Padang tersampir di pundaknya, serta kain penutup kepala tangkuluak. Selendang Bajaik dan kerudung khas Sumatera Barat koleksi Ida Irfan ini salah satu wastra hasil buatan tangan sekaligus digunakan oleh Siti Rohana Kudus. Selendang Bajaik tampi, cerah dengan warna pink, terbuat dari sutera dengan sulaman tangan serta hiasan renda pada kedua sisinya. Selendang ini berukuran 200 cm x 56,4 cm. Kerudungnya sendiri bernuansa gelap dibuat dari katun berukuran 186 cm x 61 cm. Motifnya seperti susunan daun talas yang menyebar pada seluruh permukaan kain.
( diambil oleh Fardi Bestari, dikutip pada 26 Januarin 2021 https://foto.tempo.co/read/6020/pemeran-puspa-pesona-wastra-untuk-wanita-pecinta-kain-adat#foto-6 )(dikutip dari Majalah Noor Vol. IV 2013)
R. Dewi Sartika – BANDUNG
Tokoh perempuan Indonesia yang satu ini berasal dari Bandung. Lahir pada 4 Desember 1884, Dewi Sartika terkenal sebagai pendiri Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Raden Dewi) di Bandung pada tahun 1904. Tujuan Dewi Sartika mendirikan sekolah tersebut adalah ingin mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia yang pada masa itu kondisinya sangat memprihatinkan.
(dikutip dari Majalah Noor Vol. IV 2013)
Dewi Sartika di masanya tergolong perempuan Indonesia yang sangat kritis. ia rajin membuat tulisan yang banyak menyorot perihal pendidikan kaum perempuan, pertentangan terhadap poligami, hingga prostitusi. Melalui tulisannya Dewi menunjukkan kepekaan yang sangat tinggi terhadap nasib perempuan Indonesia dan masalah-masalah sosial.
Kain panjang Parang Cantel, Parang Barong, serta Godong Anggur dan Burung, menjadi con toh kain yang dikenakan Dewi Sartika. Motif penuh dalam nuansa warna dasar cokelat atau biru memperlihatkan kesan yang anggun dan bersahaja.
R.A. KARTINI – JEPARA
Nama tokoh perempuan ini sangat harum. Sampai-sampai tanggal kelahirannya yaitu 21 April dijadikan Hari Besar Nasional dan setiap tahun selalu semarak diperingati oleh kaum perempuan Indonesia. Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1879, merupakan tokoh pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. Melalui buku-buku yang dibacanya, pemikiran Kartini sangat maju pada zaman itu. Sampai-sampai mampu melewati batas ruang dan waktu.
Di zaman ketika pendidikan kaum perempuan Indonesia masih sangat tertinggal. Kartini hadir untuk memajukan kaum perempuan kaumnya. Dengan caranya sendiri, Kartini mengajarkan cara membaca dan menulis, serta ilmu-ilmu ketrampilan lainnya.
Kebaya pendek (kebaya encim) atau kebaya panjang dipadu kain batik menjadi busana khas R.A Kartini. Begitu khasnya model kebaya ini, sampai-sampai orang kerap menyebutkan kebaya Ibu Kartini. Kebaya panjang ala Kartini yang dibuat dari bahan beludru hitam umumnya digunakan sebagai busana pengantin ala pengantin putri Jawa Tengah.
Sebagai padanannya, Parang Klitik, kain panjang asal Jawa Tengah, berupa batik tulis berukuran 250×105 cm menjadi salah satu wastra pilihan Raden Ajeng Kartini.
Maria Walanda Maramis – Manado
Lahir di Kema, Sulawesi Utara pada 1 Desember 1872, Maria Walanda Maramis merupakan Pahlawan Pergerakan Nasional. Dalam kiprahnya, Maria tercatat sebagai pendiri organisasi bernama Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917. Organisasi ini bertujuan mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah dasar untuk trampil mengerjakan berbagai ketrampilan dalam mengurus rumah tangga. Antara lain menjahit, memasak, dan merawat bayi. Organisasi yang didirikan di Minahasa ini berkembang cukup luas di Indonesia, yaitu hingga ke Jakarta (Batavia), Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya.
Sosok ibu Maria kerap terlihat menggunakan kebaya encim berwarna putih dipadu dengan sarung batik. Sarung Buketan Latar Gringsing dan Sarung Buketan Latar Wajikan menjadi wastra peninggalan Ibu Maria kepada keluarga Maria Josephine Catherine Maramis yang kini dikoreksi oleh desainer Thomas Sigar.
( diambil oleh Ujang Zaelani, dikutip pada 26 January 2021 https://www.antarafoto.com/seni-budaya/v1365085808/tokoh-perempuan-indonesia )
Berbentuk sarung, masing-masing wastra ini memiliki ukuran lingkar 196 cm x 107 cm dan 196 cm x 105 cm. Sarung dengan Buketan Latar Gringsing memiliki warna dominan cokelat dan biru, dengan ragam hias bunga, itik dan ikan. Pada tepi bawah dan samping kain terdapat lis seperti roncean melati. Sementara pada sarung Buketan Latar Wajikan, coraknya cenderung lembut dengan perpaduan warna cokelat dan biru yang lebih muda. Sementara pada sarung Buketan Latar Wajikan, coraknya cenderung lembut dengan perpaduan warna cokelat dan biru yang lebih muda. Hampir seluruh permukaan kainberhiaskan bunga dalam alur vertikal maupun diagonal dan motif burung.
(dikutip dari Majalah Noor Vol. IV 2013)
Kebayanya sendiri terbuat dari bahan katun dengan hiasan renda pada ujung lengan, tepi bawah serta pertemuan bagian tengah kebaya. Itu sebabnya kebaya encim ini dinamakan Kebaya Renda!
gadis kecil yang memiliki prinsip hidup seperti dandelion, menebar kebaikan dan kebermanfaat untuk sesama manusia. Sedang mengenyam pendidikan antropologi budaya☺️