Antara Pendidikan, Kemiskinan dan Kriminal

Pendidikan adalah suatu sistem dimana orang diberi ilmu, pengetahuan, maupun keterampilan yang mana menjadikan orang-orang itu bisa mengembangkan diri dan membuat orang lebih baik. Pendidikan kata orang-orang juga bisa menjadikan kita sukses di luar sana, punya penghasilan dan ekonomi yang baik. Setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk sekolah dan mengenyam bangku pendidikan paling minim ialah 12 tahun. Selama 12 tahun orang-orang ditempa dan di didik sedemikian rupa supaya harapan orang tua dan harapan bangsa menjadi terencana. Bicara soal pendidikan di Indonesia, sudah hampir satu abad Indonesia merdeka, tetapi ternyata di luar dari semua ekspektasi yang baik tentang pendidikan, mari kita lihat ke dunia luar sana yang belum tentu setiap warga negara bisa untuk merasakan bangku pendidikan.

Memasuki abad 21 dimana persaingan global yang sangat ketat, dimana kalau tidak mengikuti arus globalisasi maka akan dibilang ketinggalan zaman. Di era dimana semua pekerjaan dilakukan dengan teknologi canggih yang bisa meringankan pekerjaan, dunia juga seperti tidak ada batasannya semua serba bebas dan syarat akan kompetisi global.

Di masa yang serba digital dan serba cepat, mutu di pendidikan Indonesia juga masih terbilang rendah. Penyebab rendahnya mutu Indonesia meliputi banyak hal dan berkaitan dengan sistem di negara Indonesia. Faktornya adalah:

1. Rendahnya Kualitas Pendidik

Para pendidik di Indonesia masih terbilang rendah, para pendidik banyak yang seakan-akan memaksakan kehendak dengan mumukul rata kemampuan para peserta didik tanpa memperhatikan dan tanpa mempertimbangkan pebedaan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Peserta didik diharuskan mengikuti dan mengerjakan yang bukan keahlian dan bakatnya. Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan lebih untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan bakat minat potensinya masing-masing untuk lebih kreatif lagi.

Pendidik juga harus mengerti dan mampu membaca situasi dan kondisi lingkungan belajar peserta didik. Seperti contoh mudahnya, dalam hal metode atau media pembelajaran. Para pendidik juga harus secara inovatif kreatif untuk selalu mengembangkan metode maupun media yang relevan dengan situasi dan kondisi. Terlebih sekarang di masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar untuk dilakukan secara online atau daring dan tidak diperbolehkan melaksanakan kegiatan pembelajaran secara tatap muka, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kerumunan dan menularnya virus Covid-19. Hal yang demikian adalah tantangan bagi para pendidik, dimana pendidik diharuskan mencari solusi dari permasalahan yang ditimbulkan pandemi agar proses kegiatan belajar mengajar berjalan tetap efektif walaupun tidak dilaksanakan secara tatap muka. Para pendidik dituntut untuk menguasai bidang teknologi infromasi karena dilaksanakannya pembelajaran secara daring atau online harus memerlukan alat atau sarana teknologi informasi.

2. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan dimasa sekarang

Faktor yang selanjutnya adalah rendahnya relevansi atau kesusaian pendidikan dengan kebutuhan pasar di masa sekarang. Di era globalisasi banyak perubahan zaman, termasuk kebutuhan jasa dari seorang kualifikasi pendidik. Sehingga ketika seorang pendidik berkualifikasi yang sama dari zaman dahulu (tidak menyesuaikan zaman) maka pendidik tersebut tidak akan dibutuhkan oleh pasar lapangan pekerjaan.

Di samping itu, pendidikan di Indonesia masih menekankan pada aspek teori dari pada aspek praktik. Dengan menekankan hanya pada teori saja, maka akan banyak membaca dan juga menghafal tetapi dalam praktiknya ketarampilannya sangat rendah, sehingga harus diseimbangkan antara teori dan praktiknya, agar tidak ada ketimpangan diantara keduanya.

Rendahnya Sarana Penunjang Pendidikan
Kemudian faktor yang selanjutnya adalah rendahnya sarana penunjang pendidikan. Ketika kita melihat sarana pendidikan yang ada di kota-kota besar memang terlihat mewah dan bagus, dekat dengan fasilitas umum yang lengkap, tersedianya listrik, jalan beraspal, kelas ber AC, dan infrastruktur lain yang memudahkan dalam proses pembelajaran. Kita juga boleh bangga melihat kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota besar lain di Indonesia yang memiliki tingkat pendidikan yang bagus dan di atas rata-rata.

Namun ketika kita melihat daerah terpencil, perbatasan dan terluar pelosok Indonesia masih banyak yang belum merasakan nikmatnya fasilitas sarana pendidikan bahkan fasilitas umum. Banyak tidak hanya anak-anak peserta didik yang mengalami kesulitan, para pendidik yang berada di pelosok negeri Indonesia juga merasakan kesulitan tersebut, yang ketika berangkat ke sekolah yang melewati hutan, melewati sungai, jalan setapak yang sangat jauh, sekolah tidak ada listrik dan sekolah berdindingkan kayu yang rapuh ketika diterjang hujan dan angin besar.

3. Rendahnya Kesejahteraan Pendidik

Faktor yang selanjutnya adalah rendahnya kesejahteraan para pendidik. Di masa yang serba cepat sekarang, masih banyak para pendidik yang sangat rendah dalam hal honor atau gaji yang diterima dalam pengabdiannya dalam ikut serta mencerdaskan anak-anak bangsa. Guru yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) memang memiliki gaji atau honor yang lumayan bisa diperhitungkan, tetapi di luar sana guru yang masih berstatus honorer masih lebih banyak dan sangat banyak. Dibilang gaji dalam satu bulan yang sangat rendah, tidak sebanding dengan jasa para pendidik ikut dalam mencerdaskan anak bangsa. Tidak dapat dipersalahkan apabila para pendidik sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu mencari penghasilan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari dan akibatnya adalah pendidik dalam mengajar kurang maksimal.

4. Arus Globalisasi

Faktor yang selanjutnya adalah arus globalisasi. Di era abad 21 sekarang ini, banyak budaya barat yang masuk ke Indonesia karena sebuah teknologi yang membuat seakan-akan suatu negara dengan negara lain tidak ada batasnya, dan masuknya budaya barat itu tidak bisa di filter atau dipilah mana yang baik dan mana yang buruk. Hal yang demikian ini menimbulkan budaya negatif dari barat seperti, westernisasi, konsumerisme banyak masuk dan mempengaruhi anak-anak muda di Indonesia. Dengan adanya budaya negatif itu akibatnya adalah para anak muda banyak yang berperilaku negatif, seperti hidup bermewah-mewah, mementingkan main game (permainan) dari pada belajar atau sekolah, tawuran, kekerasan dan yang paling buruk adalah kemerosotan moral para pelajar yang tidak bisa dikendalikan.

Ketika faktor-faktor di atas yang telah disebutkan itu tidak di tindak lanjuti dan dicari solusi secara cepat dan tepat, maka yang terjadi adalah kemiskinan terjadi dimana-mana. Banyak anak muda maupun remaja yang menganggur, dan pada akhirnya menjadikan rendahnya sumber daya manusia. Karena ketidakmampuan pendidikan dan keahlian dalam bidangnya masing-masing, sehingga tidak bisa bersaing dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Banyak lapangan pekerjaan tapi banyak anak muda yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan atau dipersyaratkan dari perusahaan atau lapangan pekerjaan tersebut.

Kemandekan perkembangan taraf ekonomi karena banyaknya pengangguran yang ada di masyarakat dan kesenjangan ekonomi ada dimana-mana bisa menimbulkan banyak permasalahan bagi bangsa, salah satu permasalahan yang diakibatkan oleh rendahnya taraf perekonomian di Indonesia adalah kriminalitas. Kriminalitas terjadi kerena ketidakmampuan orang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan orang-orang akan mencari jalan keluar dengan mencuri atau merampok dan kelakuan kriminal yang lain bisa merugikan orang lain.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Ahmad Farohi

Seorang mahasiswa, peneliti, asisten peneliti, sehingga saya semakin tertarik dengan dunia tulis menulis. Dari pengalaman menjadi itu, saya Alhamdulillah saya berhasil menerjunkan tulisan saya di beberapa Jurnal nasional terakreditasi hingga di Google Scholar. Semakin saya terjun lebih dalam saya semakin bersemangat lagi untuk menulis, hingga saat ini saya menjadi Editor di lembaga Penerbit Kampus yaitu di IAIN Kudus Press.

Artikel: 12

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *