Globalisasi merupakan lingkungan strategis yang akan mempengaruhi kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Globalisasi disatu sisi membawa perbaikan ekonomi kepada negara yang efisien dan cukup kompetitif dalam pasar internasional. Tetapi hal ini menjadi sangat beresiko karena dapat menimbulkan ketidakadilan dalam ekonomi, marjinalisasi dan eksploitasi sosial. Meningkatnya ketidakadilan dapat memperburuk upaya penanggulangan kemiskinan. Karena itu, penyebab kemiskinan tidak hanya dari faktor penyebab tradisional seperti kurang meratanya akses terhadap pendidikan, bias urban dan lainnya, tetapi juga harus dilihat dari segi ketidakseimbangan global dalam kompleksitas interaksi antar aset, pasar dan kelembagaan (KPK, 2002).
Globalisasi mentransformasi bidang perdagangan, keuangan, ketenagakerjaan, teknologi, komunikasi, lingkungan, dan bahkan kehidupan sosial dan kultural bangsa didunia dewasa ini. Proses integrasi yang tak terelakkan ini dapat memberikan manfaat yang berlimpah bagi kehidupan ekonomi, sospol, serta kebudayaan, namun disisi lain jika tidak dikelola dengan baik maka dampak negatif dari globalisasi akan kita rasakan. Dalam laporan World Development Report (World Bank, 1995:3) dilaporkan bahwa globalisasi dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kesenjangan dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan melalui efek ganda (multiplier effects) perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel. Bagi negara maju karena ketersediaan dukungan berbagi keunggulan, barangkali hipotesis itu dapat menjadi kenyataan. Bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai macam kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara-negara maju) dan akan menimbulkan malapetaka bagi negara-negara berkembang. Masyarakat miskin yang merupakan mayoritas pendududuk negara berkembang mungkin tidak dapat menikmati peluang-peluang yang tercipta dan bahkan terpaksa tersisih dalam pusaran kemiskinan, hal ini berarti globalisasi justeru dapat menghambat pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Adanya globalisasi harus dapat menjadi pendorong dan mempercepat proses adopsi dapat implementasi pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Salah satu strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah Indonesia (baik pusat maupun daerah) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suistainable delopment, yaitu mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam setiap kebijakan pembangunan. Dengan potensi yang besar dan beragam, Indonesia mempunyai peluang baik untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing dengan bangsa lain didunia, dengan memperhatikan, pertama, kemampuan menghasilkan suatu komoditi yang lebih murah dari pesaing tidak cukup menjamin keunggulan daya saing di pasar internasional. Kedua, kemampuan untuk menyediakan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen yang berkembang, sangat menentukan keunggulan bersaing di pasar internasional. Ketiga, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki mulai dari hulu hingga hingga hilir, dalam menghasilkan suatu produk sesuai dengan preferensi konsumen berkembang.
VIII. TANTANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA ERA GLOBAL
Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi. Dalam era penguatan otonomi dan desentralisasi, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemerintah daerah harus dapat mendayagunakan potensi dan sumber dana daerah secara optimal. Dalam konteks ini, usulan David Osborne, dan Ted Gaebler dalam bukunya Government (1993) untuk entrepreneural spirit dalam sector publik perlu kita simak. Menurut semangat wirausaha tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga dapat diterapkan bagi para birokrat dan lembaga lainnya. Dalam konteks pemerintah daerah, semangat wirausaha dapat diwujudkan dengan mengubah gaya manajemen yang hierarkis-birokratis menjadi gaya manajemen yang lebih partisipatif atau participatory management dan teamwork organisation (Kuncoro, 1997).
Akhirnya, dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, meningkatnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah, dan reformasi manajemen keuangan daerah diharapkan akan memacu mewujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global.
Globalisasi perekonomian membawa implikasi pada pertentangan antara kepentingan nasionalisme ekonomi untuk mempertahankan eksistensi negara bangsa dengan kepentingan efisiensi dan efektivitas yang menjadi trend global untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dunia. Salah satu titik temu kedua pandangan tersebut adalah bahwa pengambilan peluang-peluang dari globalisasi ekonomi diletakkan dalam konteks penguatan ekonomi nasional.
Langkah konkrit yang diambil harus dalam rangka menghadapi globalisasi perekonomian dunia adalah dengan melakukan penguatan ekonomi rakyat dan peiaksanaan otonomi luas. Hal tersebut antara lain bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi nasional yang tangguh, mandiri, efisien, dan efektif sehingga siap bermain dalam sistem perekonomian global. Agenda paling mendesak yang harus dilakukan dalam rangka peiaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan reformasi manajemen keuangan daerah agar daerah siap dalam menyelenggarakan otonomi dan pembangunan daerah.
- Model Pemerintah Daerah Masa Depan
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya.
Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak timtutannya (demanding community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu keci! untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
- Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak nonpemerintah.
Pemerintah milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani. Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
- Pemerintah yang kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalani pemberian pelayanan publik. Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan pubjik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
- Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
- Pemerintah yang berorientasi pada hasil: membiayai hasil bukan masukan. Pemerintah wirausaha herusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
- Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
- Pemerintahan wirausaha: mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan. Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian: BUMN7 BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada/para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
- Pemerintah antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapiproaktif. Pemerintah tidak hanyamencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
- Pemerintah desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja. Pemerintah wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat untuk/berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
- Pemerintah berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur pemaksaan). Pemerintah wirausaha menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti dilakukannya bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apa-apa.