Rekomendasi & Best Practice Program Pendidikan Inklusi

Pengantar

Keberhasilan dalam mengajar peserta didik berkebutuhan khusus sangat dipengaruhi oleh sikap guru. Rose dan Howley (2007) menyatakan bahwa jika guru memiliki harapan positif, mendorong anak dengan memberikan kesempatan untuk belajar dan menguatkan usaha peserta didik ABK, maka peserta didik akan mampu dan terus belajar. Satu hal penting yang harus disadari adalah menerima perbedaan peserta didik ABK dan membantunya untuk dapat merasa nyaman dikelas. Selanjutnya menurut catatan Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011 jumlah ABK di Indonesia telah berkembang mencapai 7 juta orang atau sekitar 3% dari total penduduk di Indonesia yang berjumlah di 238 juta. Dari jumlah tersebut sebagian besar adalah slow leaner, termasuk autis dan tuna grahita 60%, maka pendidikan yang lebih diutamakan adalah untuk pengembangan skill dan kemampuan motorik. Dan pola atau model pendidikan semacam itu bisa diperoleh di Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK (Tarsidi, 2004). Namun, setelah beberapa tahun pendidikan Inklusif diperkenalkan di Indonesia, keberadaannya belum menyentuh level SMK, artinya belum ada terobosan untuk membuka pendidikan inklusif di tingkat SMK, salah satu tantangan cukup sulit yang dihadapi di lapangan ialah kesiapan warga sekolah, antara lain bagaimana manajemen inklusif, pemahaman guru reguler dalam mengajar peserta didik inklusif untuk mengembangkan pembelajaran Inklusif di kelas, serta bagaimana memberikan sosialisasi kepada peserta didik reguler tentang bagaimana menyikapi keberadaan peserta didik inklusif di sekolah mereka. Pada perkembangannya ternyata ada sebagian guru reguler yang belum memahami proses pendidikan inklusif,mereka beranggapan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan khusus bagi peserta didik ABK yang diadakan di SMK reguler namun pada pelaksanaannya punya sistem dan menempati ruang tersendiri,Sunaryo (2009). Padahal proses pelaksanaan pendidikan inklusif di SMK itu adalah bahwa dalam proses belajar peserta didik inklusif terintegrasi atau bergabung dan belajar bersama dengan peserta didik reguler untuk pelajaran produktif atau pelajaran yang bersifat teori serta praktek kejuruan. Sedangkan materi pelajaran yang bersifat normatif dan adaptif peserta didik inklusif belajar diruang sendiri dibawa bimbingan para GPK atau guru pendamping khusus, dimana GPK tersebut adalah guru yang memang dipersiapkan dan dididik secara khusus untuk mendidik peserta didik inklusif.

Pemerintah Indonesia telah berupaya mengimplementasikan pendidikan inklusif melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas-dinas pendidikan di provinsi, Kota/Kabupaten.

Dalam praktiknya, implementasi pendidikan inklusif menemui berbagai kendala dan tantangan. Kendala tersebut di antaranya adalah kesalahpahaman tentang konsep pendidikan inklusif, peraturan atau kebijakan yang tidak konsisten, dan sistem pendidikan yang tidak luwes.

Survei yang dilakukan di salah satu sekolah di Surabaya yang memberlakukan sistem inklusi. Kami menemukan beberapa hal yang menjadi catatan dalam pelaksanaan Program Pendidikan Inklusi tersebut. Catatan ini berdasarkan instrument Index for Inclusion sebagai upaya untuk mengembangkan sekolah yang sesuai dengan inclusive value yang ditinjau dari tiga dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating inclusive cultures), terdiri atas seksi membangun komunitas (building community) dan seksi membangun nilai – nilai inklusif (establishing inclusive values). (2) dimensi Kebijakan (producing inclusive policies), terdiri atas seksi pengembangan tempat untuk semua (developing setting for all) dan seksi melaksanakan dukungan untuk keberagaman (organizing support for diversity). dan (3) dimensi Praktik (evolving inclusive practices), terdiri atas seksi belajar dan bermain bersama (orchestrating play and learning) dan seksi mobilisasi sumber-sumber (mobilizing resources).(Ainscow, 2002).

Permasalahan implementasi pendidikan inklusi ini meliputi kurangnya GPK (bidang ketenagaan), tugas dan wewenang; sistem pengelolaan kelas; proses pembelajaran; pemahaman warga sekolah dan masyarakat tentang sekolah inklusif dan anak berkebutuhan khusus.

Namun permasalahan ini dapat diatasi dengan cara memonitoring dan mengevaluasi setiap indicator pelaksanaan pembelajaran yang merupakan tolak ukur dalam penerapan nilai-nilai inklusif  pada lingkungan pendidikan ataupun masyarakat tanpa ada diskriminasi.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka, rekomendasi pengembangan pendidikan inklusi yang dapat kami tawarkan adalah sebagai berikut:

Kegiatan Pelaksanaan Tujuan Pengembangan Rekomendasi
Dimensi Catatan
Budaya Belum adanya pemahaman yang menyeluruh dari  elemen di lingkungan sekolah tentang ABK (ibu Kantin) Memberikan  pemahaman kepada seluruh tenaga pendidik, kependidikan, maupun tenaga penunjang seperti Cleanig Service, Security, maupun Petugas Kantin tentang pendidikan inklusi. Penyluhan dan sosialisasi kepada tenaga-tenaga penunjang mengenai pendidikan inklusi dan asupan makanan khusunya ABK
Agar dapat memperlakukan ABK dengan semestinya (penanganan dan pendampingan yang tepat) Sekolah mengadakan open house untuk memperkenalkan pendidikan inklusi kepada orang tua murid dan masyarakat umumnya, sebagai salah satu bentuk sosialisasi.
Praktik Perbedaan Pemahaman antarGPK Membantu GPK dalam melaksanakan tugas Peer tutor
Belum adanya PPI Pemberian materi sesuai kebutuhan Peer Collaboration
Bullying Untuk mengurangi bullying dan memberikan pemahaman pada siswa reguler Program pembelajaran ABK sesuai dengan jenis dan jenjang kelas
Memperbanyak aktivitas bersama anak ABK baik dalam maupun luar kelas
Kebijakan Kompetensi GPK Adanya GPK yang berkompeten dalam bidangnya Study Banding ke YPAC
Ratio GPK Peanganan yang maksimal merekrut tenaga GPK yang kompeten
Belum ada panduan baku dalam pembelajaran Adanya standarisasi dalam penanganagan dan proses pembelajaran Bagi praktisi pendidikan membuat modul pembelajaran sesuai dengan taraf perkembangan
Evaluasi dan Monitoring yang berkesinambungan

 

Implikasi Untuk Kebijakan Dan Pengembangan

Seluruh Komponen Sekolah turut berperan penting dalam pendidikan inklusif :

  1. Kepala Sekolah dan Manager Inklusif

Melakukan sosialisasi pendidikan inklusi, meningkatkan profesionalisme para pelaku pendidikan inklusif, memantapkan kurikulum modifikasi, Membuat sistem pengelolaan administrasi pendidikan inklusif yang handal di segala lini, seperti pada pengelolaan keuangan, administrasi pendidik dan tenaga kependidikan sehingga pelaksanaan pendidikan inklusif bisa berjalan secara profesional, membuat memorandum of understanding dengan lembaga lembaga profesional, seperti pelaksanaan tes psikologis, pengukuran kecerdasan, bakat minat serta kepribadian bagi peserta didik peserta didik inklusi

  1. Kepala Dinas Pendidikan

Menambah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif untuk level sekolah menengah atas di kota Malang, mengingat jumlah lulusan pendidikan inklusif level SMP semakin banyak dan membutuhkan pendidikan inklusif level SMK untuk lanjutannya, Melengkapi sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMK agar kegiatan belajar peserta didik inklusif bisa berlangsung dengan maksimal. Memberikan pengertian dan pemahaman secara berkelanjutan mengenai pendidikan inklusif kepada warga sekolah dan masyarakat, melalui sosialisasi menggunakan berbagai media. Memberikan pelatihan management pendidikan inklusif kepada sekolah penyelenggara inklusif.  Mengadakan workshop pengembangan materi pendidikan inklusif kepada Guru Pendamping Khusus serta guru reguler, Menurunkan kebijakan aturan standarisasi pedoman penyusunan kurikulum pendidikan inklusif yang di sesuaikan kekhasan program keahlian masing masing SMK, Menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan biaya yang bisa dijangkau orang peserta didik inklusif, karena tidak semua orang tua peserta didik inklusif dari golongan sosial ekonomi yang mampu.

  1. Guru

Diharapkan selalu mengikuti pelatihan dan sosialisasi pendidikan inklusif yang diselenggarakan sehingga mempunyai pengertian dan pemahaman tentang pendidikan inklusif, Menjadi katalisator keberadaan peserta didik inklusif kepada warga sekol ,  Mempelajari psikologi kepribadian peserta didik inklusif sehingga mempermudah pendekatan terhadap peserta didik inklusif.

  1. Orang Tua Peserta Didik.

Ikhlas menerima kehadiran anak anak inklusif sebagai bagian dari ibadah kita, Berusaha semaksimal mungkin memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak anak inklusif, Bertanggung jawab mengikuti pendidikan dan perkembangan anak anaknya yang inklusif, Memupuk serta mengembangkan potensi peserta didik inklusif dengan melibatkan peserta didik sesuai dengan kemampuan peserta didik.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Alexius Andiwatir, S.Fil, M.Si

Alex Andiwatir, seorang pendidik, Mendalami Psikologi Pendidikan, Menyukai Filsafat dan Hal-Hal Baru, serta diskusi sambil ngopi.

Artikel: 4

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *