Burnout Syndrome saat Bekerja dari Rumah

Situasi pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai saat ini mengharuskan banyak orang untuk tetap bekerja dari rumah (Work from Home). Berbagai kondisi bekerja secara remote seperti, rapat secara daring secara terus-menerus, mengharuskan kita untuk on-cam di depan komputer selama berjam-jam, hingga jam kerja yang menjadi tak teratur tentunya membuat kita lelah. Bahkan batasan antara kegiatan bekerja dan kegiatan rumah menjadi hilang karena hal ini. Esensi rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk beristirahat dan menenangkan pikiran pun perlahan hilang.

Hal-hal tersebut tentu berdampak pada kesehatan mental maupun fisik kita. Stres atau kelelahan karena bekerja yang tidak berhasil dikelola bisa saja menjadi pemicu munculnya burnout syndrome.

Lalu apa sebenarnya burnout syndrome itu sendiri?

Dahulu burnout hanyalah istilah yang mengindikasikan kondisi seseorang yang kelelahan akut. Namun, kemudian pada tahun 2019 World Health Organization (WHO) dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-11) merevisi istilah tersebut menjadi lebih rinci. Burnout didefinisikan sebagai suatu sindrom yang disebabkan oleh stres berlebihan di tempat kerja dan belum berhasil dikelola. Bournout ini ditandai oleh perasaan kehabisan energi atau kelelahan, pandangan negatif atau buruk mengenai pekerjaan, hingga menurunnya efektivitas saat bekerja.

Berdasarkan penelitian dari Winona State University, terdapat lima tahapan burnout syndrome yang umum terjadi pada seseorang dan dapat diperhatikan:

  1. Honeymoon Phase

Umumnya ketika kita dihadapkan pada pekerjaan yang baru dan kita sukai, kita akan merasa sangat bersemangat. Energi dan perasaan optimis yang kita keluarkan menjadi tidak terkendali, komitmen yang tinggi dalam pekerjaan, kreativitas tanpa henti, hingga produktivitas kerja kita pun meningkat. Seperti halnya saat pertama kali diberlakukan WFH, mungkin awalnya ini terasa menyenangkan hingga kita lupa beristirahat. Tahapan ini adalah tahapan di mana kita benar-benar bersemangat dalam bekerja sampai rasanya tidak ada yang bisa menghentikan kita. Tahap ini akan berlangsung tanpa masalah jika kita memiliki coping stres yang baik, misalkan setelah bekerja tanpa henti selama satu minggu kita meluangkan hari libur untuk melakukan hobi kita agar kesejahteraan psikologis tetap terjaga. Namun, saat coping stres kita menjadi buruk, saat WFH misalnya waktu istirahat kita menjadi campur aduk dengan urusan pekerjaan. Inilah awal mula kelelahan atau burnout syndrome bisa muncul.

  1. Onset of Stress

Pada tahap ini akan muncul pikiran seperti semakin bertambahnya hari semakin banyak hal yang sulit dihadapi. Perasaan semangat dan optimisme di tahap sebelumnya pun semakin memudar. Pada tahap ini kondisi stres yang umum akan muncul seperti rasa cemas, gelisah, emosi yang sulit dikendalikan, kualitas tidur menurun, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, dan mudah merasa lelah. Selain itu, pada beberapa kasus bahkan hal ini berdampak pada reaksi fisik seseorang seperti munculnya penyakit hipertensi, irama jantung menjadi tidak teratur, sakit kepala, hingga berubahnya pola makan.

  1. Chronic Stress

Tahap selanjutnya adalah stres kronis. Pada tahap ini gejala-gejala yang terjadi pada tahap dua menjadi semakin intens dan sering. Ini kemudian akan berdampak pada produktivitas kerja seseorang. Hal-hal seperti hilangnya minat terhadap sesuatu, deadline pekerjaan yang terlewat, keterlambatan kerja, penarikan diri dari teman-teman dan keluarga, panik, munculnya penyakit fisik yang lebih sering dan menjadi serius, hingga perasaan benci terhadap pekerjaan.

  1. Burnout

Tahap keempat adalah burnout itu sendiri dimana gejala yang terjadi menjadi semakin kritis. Keadaan menjadi semakin sulit diatasi hingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan pekerjaan. Gejala umum yang muncul pada tahap ini seperti merasa hampa dan apa yang sudah kita lakukan menjadi sia-sia, pandangan yang jelek dan pesimis mengenai pekerjaan, meragukan diri sendiri, perubahan perilaku, meningkatnya perilaku agresif, isolasi diri dari orang-orang terdekat, hingga sakit kepala kronis. Beberapa orang bahkan melakukan pelarian dengan meminum alkohol dan obat-obatan terlarang.

  1. Habitual Burnout

Pada tahap ini, jika seseorang tidak bisa mengelola burnout dengan baik masalah kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi bisa saja terjadi.

Bekerja di rumah (WFH) dengan segala keterbatasannya bisa saja menambah peluang terjadinya burnout syndrome. Beberapa hal berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan ketika menghadapi burnout syndrome:

  1. Perhatikan hal-hal yang menjadi stressor

Tak jarang saat bekerja kita memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap hasil kerja kita. Kita ingin pekerjaan kita baik dan sempurna. Kita mengerahkan seluruh energi yang kita miliki untuk menjadi sempurna setiap saat. Hal ini tentunya menjadi baik jika kita lakukan dalam batas wajar. Namun jika kita sampai memaksakan diri kita untuk bekerja tanpa henti hanya untuk memenuhi kesempurnaan, ini yang tidak baik. Jangan sampai ekspektasi akan kesempurnaan pekerjaan ini justru menjadi stressor bagi kita. Tubuh kita juga perlu istirahat untuk bisa bekerja secara maksimal bukan? Perhatikan hal-hal yang mungkin bisa dampak buruk pada kesehatan mental dan fisik kita.

  1. Mengatur jadwal bekerja

WFH mengharuskan kita untuk berada di depan komputer selama berjam-jam tanpa berganti suasana. Hal ini tentu membuat kita lelah dengan suasana yang monoton. Buatlah jadwal kegiatan lain sebagai selingan pekerjaan misalnya dengan berolahraga atau berjalan-jalan di sekitar rumah. Selain itu, atur waktu bekerja. Hanya karna semua pekerjaan dapat dilakukan di rumah, bukan berarti kita harus bekerja sepanjang waktu. Tentukan kapan kita mulai bekerja dan kapan kita harus berhenti untuk istirahat dan mengurus keperluan lain.

  1. Fokus pada progress bukan tujuan akhir

Produktivitas dan burnout adalah dua hal saling terkait dan saling berdampak satu-sama lain. Semakin banyak pekerjaan yang kita lakukan, semakin produktif, semakin banyak kemungkinan kita mengalami burnout, dan semakin banyak pula pekerjaan yang kita rasa harus kita selesaikan. Untuk bisa melepas rantai ini kita perlu mengubah cara kita mengukur nilai diri kita. Alih-alih untuk fokus pada tujuan akhir yang terasa masih jauh untuk dicapai, fokuslah pada kemajuan yang telah kita lakukan setiap harinya.

  1. Meminta fleksibilitas kerja

Fleksibilitas jadwal dapat membantu kita untuk menyeimbangkan tanggung jawab pribadi dan juga pekerjaan. Hal ini tentunya tidak mudah mengingat karena kondisi perekonomian saat ini orang akan memilih untuk mencari aman dan tidak berperilaku macam-macam untuk tetap mempertahankan pekerjaannya. Cobalah gunakan alasan-alasan yang masuk akal pada atasan kita. Bekerja satu minggu penuh dengan banyak deadline tentunya tidak sehat dan justru malah mengurangi produktivitas kita saat bekerja. Mintanya deadline yang lebih rasional agar efektivitas pekerjaan tetap terjaga.

  1. Meminta bantuan profesional melalui fasilitas perusahaan

Beberapa perusahaan besar mungkin saja menawarkan layanan kesehatan mental yang diberikan saat kondisi pandemi ini. Di dalamnya mungkin terdapat fasilitas seperti screening kesehatan mental karyawan atau layanan bantuan pengelolaan stres. Manfaatkan fasilitas tersebut dengan sebaik-baiknya untuk menjaga kesehatan kita. Namun, jika perusahaan ternyata tidak menyediakan layanan ini kita tetap bisa melakukan konsultasi di layanan-layanan kesehatan mental lain. Jika tidak memungkinkan untuk konsultasi secara langsung karena kondisi pandemi, saat ini sudah banyak sekali layanan konsultasi psikologis yang berbasis online.

Bekerja tentunya melelahkan tapi jangan sampai membuat diri kita terjebak di dalamnya hingga mengurangi kualitas hidup kita sendiri. Kesehatan dan kesejahteraan psikologis kita tentu saja masih menjadi hal yang utama. Ingat bahwa kita bekerja untuk untuk dapat hidup, bukan hidup untuk bekerja.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Rach

Seorang freelance writer yang aktif belajar, melakukan research dan juga menulis berbagai psychological issues.

Artikel: 13

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *