Pandemi Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 92 juta orang di 221 negara hingga pertengahan Januari 2021. Pandemi ini tidak hanya menyebabkan ancaman kesehatan nasional yang bisa merenggut nyawa pada pasien dengan penyakit bawaan (comorbid), menyebabkan resesi ekonomi namun juga menimbulkan peningkatan sampah medis. Dengan peningkatan jumlah pasien dan jumlah infeksi karena penyebarannya yang sangat cepat membuat kebutuhan pemakaian alat pelindung diri meningkat sejak Maret 2020.
Lonjakan Jumlah Limbah Medis
Tren kenaikan jumlah limbah medis terjadi di seluruh negara di dunia. Selama wabah Covid-19 berlangsung di Provinsi Hubei, Tiongkok, tercatat kenaikan 6 kali timbulan normal limbah medis, dari 40 ton/hari menjadi 240 ton/hari (Shi dan Zheng, 2020). Menurut peneliti Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova, “Pandemi virus corona menaikkan volume sampah di Teluk Jakarta dari sungai Cilincing dan Marunda sebanyak 5%, sampah plastik tetap mendominasi, kini ditambah jenis baru: sampah medis yang mengisi 16% atau 20-130 kilogram dalam sehari”. Bahkan Asian Development Bank (ADB) memprediksi DKI Jakarta saja akan menghasilkan limbah medis 212 ton/hari (adb.org, 2020).
Limbah medis terdiri dari fase cair dan padat. Limbah medis cair dihasilkan terbatas pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sehingga penanganannya dapat lebih mudah dilakukan. Penanganan limbah medis fasyankes diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Limbah medis Covid-19 padat dihasilkan oleh beberapa sumber, antara lain RS rujukan Covid-19, fasilitas khusus yang digunakan untuk pasien terkait Covid-19 (misalnya RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta dan Palembang), fasyankes yang telah berfungsi selama ini, dan rumah tangga serta fasilitas umum yang menghasilkan sampah biasa. Menghadapi Covid-19 yang penyebarannya sangat mudah dan cepat, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) menjadi sebuah keharusan. APD, yang umumnya terdiri dari masker, sarung tangan, baju, penutup kepala, sebagian besar berbahan dasar plastik dengan masa penggunaan sekali pakai (single use). Hal ini menyebabkan lonjakan limbah medis bekas APD secara signifikan. Selain itu, limbah medis Covid-19 juga dapat berupa spesimen, bahan farmasi bekas, alat kesehatan bekas, dan kemasan bekas makanan/minuman pasien Covid-19.
Limbah yang dihasilkan dari upaya medis seperti puskesmas, poliklinik dan rumah sakit termasuk jenis limbah yang termasuk dalam kategori biohazard yaitu jenis limbah yang sangat membahayakan lingkungan, yang banyak terdapat buangan virus, bakteri maupun zat-zat yang membahayakan lainnya sehingga harus dimusnahkan dengan jalan dibakar dalam suhu di atas 800 derajat Celcius (Jang, 2006; Gautam, 2010; Blenkham, 2006)
Peningkatan jumlah pemakaian masker dan sarung tangan pada tingkat rumah tangga pula perlu mendapatkan perhatian khusus. Terlebih limbah medis rumah tangga lebih berpotensi tercampur dengan sampah rumah tangga lainnya sehingga membahayakan petugas angkut sampah yang umumnya bekerja tanpa APD atau menggunakan APD yang tidak memadai.
Pengelolaan Limbah Medis di Indonesia
Limbah medis Covid-19 perlu ditangani secara serius karena berpotensi dapat menimbulkan infeksi virus corona. Penelitian membuktikan bahwa penyebab Covid-19, virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), mampu bertahan dalam kondisi (suhu dan kelembapan) tertentu. Butuh waktu beberapa hari bagi virus tersebut untuk tidak aktif menulari manusia, tergantung pada jenis material permukaan media hidupnya. Namun, dengan proses disinfeksi standar (penggunaan sabun, disinfektan atau dengan pemanasan) virus tersebut akan mudah untuk tidak aktif atau dengan kata lain tidak menular (Chin, dkk, 2020). Bayangkan saja jika limbah medis Covid-19 dibuang begitu saja tanpa penanganan, seperti yang terjadi di Jagakarsa, Jakarta Selatan (health.detik.com, 8 April 2020), dan Timika, Papua (radartimikaonline.com, 27 April 2020), tentu akan menimbulkan permasalahan baru di tengah upaya pemerintah memutus mata rantai penularan Covid-19. Dibutuhkan perlakuan dan fasilitas khusus sejak limbah itu dihasilkan (from cradle) hingga dimusnahkan (to grave).
Limbah medis di Indonesia tergolong ke dalam limbah B3 yang pengelolaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pengelolaan limbah B3 dilakukan dengan prinsip kewaspadaan dan menggunakan metode pengelolaan limbah yang aman dan ramah lingkungan.
Sementara itu jumlah fasilitas pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ada di Indonesia masih terbatas. Fakta menunjukkan bahwa dari 132 Rumah Sakit (RS) rujukan yang ditunjuk pemerintah untuk merawat pasien Covid-19, baru 20 RS saja yang memiliki insinerator berizin. Di sisi lain, dari total 2.889 RS yang beroperasi, baru 110 RS saja yang memiliki fasilitas insinerator berizin (Soemiarno, 2020).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa kapasitas pengolahan limbah medis fasyankes seluruh Indonesia baru mencapai 70,21 ton/ hari. Ditambah dengan kapasitas jasa pengolahan oleh pihak ketiga sebesar 244,08 ton/hari (Soemiarno, 2020). Sementara itu, Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa kapasitas pengolahan limbah medis fasyankes baru mencapai 53,12 ton/hari ditambah kapasitas jasa pengolahan oleh pihak ketiga sebesar 187,90 ton/hari. Dengan jumlah fasyankes sebanyak 2.889 RS, 10.062 puskesmas, 7.641 klinik, dan fasilitas lain seperti laboratorium kesehatan, apotek, dan unit transfusi darah, diprediksi limbah medis yang dihasilkan Indonesia per hari sebanyak 294,66 ton, dengan kata lain defisit 70,432 ton/hari (Nurali, 2020). Angka ini bahkan belum termasuk timbulan limbah medis yang dihasilkan pada tingkat rumah tangga berupa masker dan sarung tangan yang jumlahnya kian meningkat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Surat Edaran SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 pada 24 Maret 2020, memberikan panduan memusnahkan sampah medis atau limbah B3 dengan cara dibakar pada suhu 800 derajat Celsius memakai insenerator atau menggunakan autoclave yang dilengkapi shredder. Residu atau cacahan pembakaran diberi label limbah beracun dan berbahaya (B3) yang mesti diolah lagi.
Dalam rangka menjamin pengelolaan limbah medis pada Masa Darurat Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada pihak-pihak terkait, antara lain: Surat MENLHK Nomor 167 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah B3 Medis pada Fasyankes Darurat Covid-19; Surat Edaran MENLHK Nomor 02 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19; dan Surat Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Nomor 156 Tahun 2020 Perihal Pengelolaan Limbah B3 Masa Darurat Penanganan Covid-19. Pada intinya, surat edaran tersebut merupakan upaya optimalisasi kapasitas pengelolaan limbah medis di Indonesia, baik yang dilakukan oleh fasyankes atau jasa pengelola limbah B3 berizin.
KLHK menyampaikan bahwa solusi penanganan gap kapasitas pengolahan limbah medis sedang diupayakan dengan melibatkan pihak lain. Kapasitas dasar pengolahan dengan proses insinerasi saat ini adalah 314,53 ton/hari yang berasal dari kapasitas pengolahan fasyankes 70,45 ton/hari dan kapasitas pengolahan pihak ketiga (swasta) sebesar 244,08 ton/hari. Kemampuan jasa pengolah limbah B3 (swasta berizin), bila dioptimalkan untuk mengatasi limbah medis Covid-19, sebenarnya dapat mencapai 679,2 ton/hari.
Jumlah ini masih bisa ditambah dengan melibatkan pihak industri yang memiliki fasilitas insinerasi, seperti klin semen. Dengan meminjam kurang lebih 1% kapasitas pemusnahan pada kiln (tanur) semen, maka akan dihasilkan kapasitas pengolahan sebesar 127,61 ton/hari sehingga kapasitas cadangan yang dimiliki Indonesia saat ini dapat mencapai 877,26 ton/ hari (Soemiarno, 2020). Angka ini tentunya cukup menggembirakan di tengah kekhawatiran terhadap kapasitas pengolahan limbah medis yang masih rendah. Walaupun terkesan terlambat, KLHK menyampaikan bahwa pembangunan fasilitas pengolahan limbah B3 oleh fasyankes sudah menjadi program prioritas nasional. Pemerintah berencana akan membangun fasilitas tersebut di 32 lokasi dalam kurun waktu 2020-2024.
Beberapa daerah telah menindaklanjuti SE MENLHK Nomor 02 Tahun 2020 melalui surat edaran kepala daerah. Harapannya penanganan limbah medis, baik bersumber dari fasyankes ataupun rumah tangga dapat lebih diperhatikan. Misalnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta saat ini telah mengimplementasikan pengelolaan limbah medis Covid-19 melalui pengumpulan pada tingkat rumah tangga, dipo kecamatan, dipo kota, dan diangkut oleh pihak ketiga menuju fasilitas pemusnahan di Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantar Gebang (Warih, 2020). Covid-19 sebagai Momentum Perbaikan Pengelolaan Limbah Medis harus diakui bahwa tidak ada negara yang benar-benar siap menghadapi wabah Covid-19, termasuk Indonesia. Langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi gap kapasitas limbah medis Covid-19 patut diapresiasi.
Namun, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam menanggapi respons tersebut. Pertama, teknologi pengolahan limbah medis masih tergantung pada insinerator. Faktanya, teknologi ini sudah mulai ditinggalkan karena berpotensi mengemisikan merkuri dan dioksin (Damanhuri, 2020). Selain itu, khusus untuk penanganan limbah medis, insinerator dinilai overkill, boros, dan rawan penyalahgunaan (korupsi). Banyak insinerator RS yang ada di Indonesia tidak dibangun dengan kriteria yang benar sehingga tidak mencapai pembakaran dengan suhu optimal (850-1.200 derajat Celcius) atau tidak dilengkapi dengan pengendali pencemaran udara yang memadai.
Kedua, fasilitas pengelolaan limbah medis baik oleh fasyankes maupun pihak swasta tidak tersebar merata di seluruh Indonesia. Dari kapasitas dasar sebesar 314,29 ton/ hari, 267,20 ton/hari-nya berada di pulau Jawa dan tidak ada sama sekali di region Maluku dan Papua. Ini menyebabkan prinsip pengelolaan limbah B3 tidak terpenuhi, yaitu precautionary principle (secepat mungkin) dan proximity principle (sedekat mungkin). Hal ini diperparah lagi dengan keterbatasan jumlah transporter berizin yang saat ini baru dimiliki oleh 140 penyedia jasa. Sebagai solusi jangka pendek, pelibatan pihak industri yang memiliki fasilitas insinerasi perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini pengadaan barang/jasa pemerintah pun memiliki andil yang cukup signifikan terhadap pengelolaan limbah B3/Medis tersebut.
Ketiga, pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang sehat bagi jasa pengolah dan pengangkutan limbah medis. Rendahnya investasi usaha bidang ini salah satunya diakibatkan oleh perizinan yang rumit. Bila perlu, saat minat investor masih dirasa rendah, pemerintah harus tetap hadir dengan mengembangkan jasa pengolahan limbah medis berbasis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Keempat, pemerintah perlu mengembangkan skema pembiayaan dalam rangka mendukung pengelolaan limbah medis yang sangat membebani fasyankes di masa-masa sulit seperti sekarang. Menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), neraca keuangan RS sangat terganggu sehingga dikhawatirkan berimplikasi pada penurunan pelayanan RS (Partakusuma, 2020). Bila RS mengabaikan pengelolaan limbah medis karena keterbatasan anggaran, maka potensi bocornya limbah medis ke lingkungan akan semakin besar dan berbahaya bagi manusia.
Padahal sudah ada dasar aturan dalam pelaksanaan penyehatan lingkungan rumah sakit yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Masalahnya, pembakaran sampah tak menghilangkan residu. Juga, menghasilkan gas yang mengotori udara. Selain itu, pembakaran sampah membuatnya tak bisa dipakai lagi. Walhasil, produksi alat pelindung diri akan terus memakan sumber daya alam karena tak membentuk siklus kurangi, gunakan kembali, dan daur ulang (reduce, reuse, dan recycle).
Daur ulang sampah plastik yang ada sekarang juga belum menjawab secara tuntas problem sampah karena pencacahan tetap menghasilkan residu dan membuat unsur plastik dalam sampah terdegradasi. Akibatnya, sampah daur ulang kualitasnya menurun ketika akan dibuat jadi produk lagi.
- Kombinasi masalah sampah medis ini mendorong Sunit Hendrana, peneliti di Pusat Penelitian Kimia LIPI mencoba cara baru daur ulang. Ia memakai metode rekristalisasi. “Metode ini menghasilkan kristal plastik yang murni sehingga bisa digunakan lagi dengan kualitas yang sama,” kata Sunit pada 27 Januari 2020. (forestdigest.com, 2020)
Pada dasarnya, daur ulang sampah plastik memakai metode rekristalisasi adalah mencacah, lalu mencampurkan pelarut, mengendapkannya memakai antipelarut, dan menyaringnya. Kristal plastik, akan terpisah dari unsur lain dalam alat-alat pelindung diri.
Pada sehelai masker, misalnya, di dalamnya tak hanya ada plastik, tapi juga logam, dan unsur lain agar daya tangkal masker terhadap virus bisa bekerja. Dengan antipelarut, logam dalam masker akan terpisah dengan unsur-unsur lainnya.
Selama ini, unsur-unsur dalam alat pelindung diri susah dipisahkan memakai teknik daur ulang konvensional karena pelbagai plastik yang terkandung di dalamnya makin ringan. Teknik pelelehan dalam daur ulang sampah plastik biasa hanya membentuk granula (butiran) atau pelet. Sementara empat tahap metode rekristralisasi akan menghasilkan plastik murni yang terpisahkan dari unsur lain pada sampah.
Teknik rekristralisasi, memungkinkan degradasi sangat rendah karena pemisahan unsur-unsur dalam alat pelindung diri tidak memakai proses gesek (shear) dan tekan (stress) seperti dalam teknik daur ulang biasa. Reskristralisasi memungkinkan unsur plastik yang dihasilkannya murni dan tak merusak struktur kimianya. Dengan teknik destilasi, pelarutnya bisa dipakai kembali, Sehingga waste sangat sedikit dan tak berbahaya.
Metode rekristalisasi bisa diterapkan untuk pelbagai jenis sampah plastik, tak hanya sampah medis. Sepanjang sampah plastik mengandung polyethylene, polypropylene, polyvinyl chloride (PVC), dan polystyrene, teknik rekristalisasi bisa dipakai untuk menghasilkan serbuk plastik murni. “Bisa juga untuk plastik yang mengandung polyethylene terephthalate (PET), tapi pelarutnya menjadi toksik (racun).
PET adalah bahan plastik yang biasa dipakai untuk bahan baku membuat kemasan air mineral, wadah saus, botol minuman ringan, atau botol minyak sayur. Karena kebutuhan itu, plastik PET kini paling banyak diproduksi di dunia.
Sunit telah mendaftarkan metode rekristalisasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mendapatkan paten pada Desember 2020. Kini ia sedang mengajukan proposal untuk membuat prototipe mesinnya sehingga bisa dipakai massal dan menjawab problem sampah medis, juga sampah plastik yang selama ini menghantui manajemen sampah Indonesia. Metode ini sederhana, murah, dan bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja.
Kalau alat ini sudah dipasarkan secara luas tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah kedepannya akan memudahkan dalam penyediaan mesin rekristalisasi limbah medis tersebut.
Wabah Covid-19 seharusnya dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan pengelolaan limbah B3. Penerapan pemilahan sampah dan limbah B3 sedari sumber merupakan salah satu upaya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 melalui limbah medis.