Dalam Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Jokowi Menyatakan bahwa Masyarakat diminta lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Sayangnya, pernyataan dari Jokowi mengundang banyak respon dari masyarakat karena beberapa masyarakat menilai bahwa bukan masyarakat yang tidak memberikan kritik, namun pemerintahlah yang anti-kritik
Pendapat tersebut ramai diperbincangkan oleh masyarakat melalui twitter dikarenakan banyak sekali kasus yang telah terjadi saat beberapa masyarakat yang berani speak-up menyampaikan pendapat atas kritikannya justru tidak didengarkan oleh pemerintah. beberapa contoh dari respons warganet adalah langsung menyoroti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) yang kerap menjadi batu sandungan bagi masyarakat yang akan menyampaikan kritik.
Definisi Kritik
Dilansir dari Merriam-Webster bahwa kritikus memiliki 2 definisi, yang pertama ialah seseorang yang sering terlibat secara professional dalam analisis, evaluasi, atau apresiasi karya seni atau pertunjukan artistik seperti seorang kritikus sastra atau seorang kritikus film. Sedangkan definisi kedua, kritikus merupakan seseorang yang mengungkapkan pendapat yang masuk akal tentang masalah apa pun terutama yang melibatkan penilaian nilai, kebenaran, dan keindahan.
Dengan definisi dari kritikus tersebut, dapat menjelaskan bahwa definisi dari kritik ialah kecaman atau tanggapan, yang seringkali disertai dengan uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Namun, dalam penyampaian pendapat seseorang harus mengerti batasan kritik, yakni kritikan yang disampaikan harus bertujuan untuk memperbaiki, bukan didasarkan pada kebencian. Selain itu, batasan dalam menyampaikan kritik adalah menggunakan pilihan kata yang tidak menghina atau menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.
Penyampaian kritik di Indonesia, merupakan hak individu dalam mengeluarkan pendapatnya secara bebas. Selain itu, penyampain kritik bagi seorang individu di Indonesia juga berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun, dalam penyampaian pendapat sebaiknya tidak hanya memperhatikan hak nya namun juga memperhatikan kewajiban yang harus dimengerti. Kewajiban pertama yang harus dimengerti saat hendak menyampaikan kritik ialah menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral yang diakui umum, dan menaati hukum dan peraturan perundang-undangan.
Namun, banyak sekali warganet yang menyalah artikan sebuah kritikan dan menganggapnya sebagai pencemaran nama baik, dilansir dari Kompas.com yang menyebutkan bahwa dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi menyatakan bahwa kritik ini ditujukan pada aspek substansi mengenai persoalan yang terjadi, sedangkan jika pencemaran nama baik adalah terjadinya tendensi kritik pada aspek individua tau lembaga secara personal.
UU ITE di Indonesia
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan cyber law pertama yang dimiliki oleh Indonesia yang mengatur mengenai cyberspace. Namun, dalam penerapannya UU ITE ini masih terdapat pengaturan-pengaturan yang kurang lugas. UU ITE ini berisikan 11 terobosan yang dilakukan oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia, yakni:
- UndangUndang pertama yang berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) maupun Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
- Bersifat ekstra territorial; berlaku untuk setiap orang yang berada di Dalam Negeri dan Luar Negeri (LN) yang memiliki akibat hukum di Republik Indonesia.
- Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi secara elektronik.
- Alat bukti elektronik diakui seperti halnya alat bukti lainnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Tanda Tangan Elektronik (TTE) diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Tanda Tangan Konvensional (tinta basah dan meterai).
- Memberikan definisi legal formal berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
- Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.
- Mendenifisikan perbuatan yang dilarang dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
- Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.
- Mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai salah satu upaya mencegah kejahatan berbasis Teknologi Informasi (TI).
- Melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan Teknologi Informasi (TI).
Sayangnya, dalam pengiplementasian UU ITE di Indonesia ini sering disalah gunakan oleh para apparat. Dengan berlindung dibawah UU ITE, dimanfaatkan untuk menutup mulut atau mengancam masyarakat untuk menyampaikan kritikannya terhadap pemerintah. Contohnya permasalahan mengenai pencemaran nama baik atau delik reputasi pada UU ITE ini yang memiliki banyak cacat atau inkonsistensi hukum pidana. Inkonsistensi ini berarti yang seharusnya UU ITE dilakukan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), akan tetapi justru ikut mengatur hal-hal yang seharusnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang khusunya mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik.
Inkonsistensi yang dilakukan pemerintah dalam menggunakan UU ITE ini yang disebutkan oleh masyarakat bahwa pemerintah menjadi anti-kritik karena selalu berlindung di bawah UU ITE. Inkonsistensi ini juga akan merugikan masyarakat karena masyarakat sendiri tidak mengerti perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sehingga menimbulkan rasa takut pada masyarakat jika ingin mengeluarkan pendapat berbentuk kritikan.
Kesimpulan
Upaya Jokowi untuk menghimbau masyarakat untuk aktif memberikan kritikan dan masukan yang membangun terhadap pemerintah merupakan tindakan yang baik dan sangat diperlukan. Hal tersebut tentu membangun kepercayaan antara masyarakat dan juga pemerintah demi mewujudkan negara yang adil di mata hukum. Namun, sayangnya jika himbauan yang diberikan oleh Presiden Jokowi tidak diiringi dengan perubahan yang terjadi pada inkonsistensi UU ITE tentu tidak akan membawakan hasil yang maksimal.
Inkonsistensi UU ITE ini membawa dampak pada pemerintah yang menjadi kebal dari kritik dan selain itu juga berdampak pada masyarakat yang takut untuk mengeluarkan kritikannya. Sebenarnya, masyarakat juga tidak segan untuk dapat menyampaikan kritik terhadap pemerintah, tetapi karena adanya inkonsistensi dalam melakukan hukuman menjadikan masyarakat sudah terlebih dahulu takut.
Dampak yang diberikan dari adanya UU ITE ini ialah tingginya tingkat penghukuman yakni sebanyak 744 perkara yang dicatat dari 2016-2020 dan kebanyakan korban dari UU ITE ini adalah kalangan kelompok kritis seperti jurnalis, aktivis, dan pembela HAM. Dari banyaknya kasus mengenai UU ITE pelapornya lebih banyak dari kalangan pejabat publik.
Maka dari itu, Jika Presiden Jokowi dengan sungguh-sungguh mengharapkan masyarakat Indonesia harus aktif dalam memberikan kritik dan juga masukan yang membangun kepada pemerintah, tentunya juga harus melakukan crosscheck kedalam mengenai pemberlakuan hukum apakah sudah tepat atau belum. Karena, jika masalah inkonsistensi dalam memberikan hukuman sudah selesai atau tidak terjadi lagi maka masyarakat akan mengerti apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan secara jelas, jika masyarakat mengerti hukuman yang berlaku secara jelas tentunya akan berdampak pada hilangnya rasa takut pada masyarakat untuk memberikan pendapatnya berupa kritikan dan masukan yang tentunya tingkat kewaspadaan masyarakat mengenai pemberian kritik dengan baik dan benar juga akan meningkat.