Relevansi Hak Individu Terhadap UU ITE

Penegakan hukum saat ini sedang banyak dibicarakan, terutama jika terkait dengan proses perlindungan hak individu bagi setiap lapisan masyarakat. Sebenarnya Indonesia mempunyai kewajiban konstitusi yang sangat besar dalam melindungi setiap individu. Secara konstitusi perlindungan tersebut memang sudah termaktub dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28, Pasal 33, dan Pasal 34. Jika membicarakan mengenai hak individu tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan hak asasi manusia (HAM) yang artinya menyakut seluruh masyarakat dari kalangan apapun. HAM merupakan hak yang melekat dan tidak bisa dipisahkan dengan manusia karena berkaitan dengan martabat sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Perlu ditekankan HAM ada, bukan karena diberikan oleh masyarakat ataupun kebaikan dari negara, melainkan anugera Sang Pencipta. HAM juga perlu pengakuan dari sesama manusia agar bersama-sama bisa direalisasikan secara menyeluruh.

Indonesia sudah memiliki modal dasar sebagai tonggak penegakkan hak individu melalui HAM yaitu terdapat pada Pancasila sebagai dasar negara. Bila melihat kenyataan yang ada, ternyata tonggak tersebut belum diaplikasikan secara utuh. Usaha menangkap nilai atau makna Pancasila dalam tata hukum Indonesia belum optimal. Dengan kata lain belum terlaksananya prinsip Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh. Hanya saja kebebasan hak‐hak sipil dan politik dalam kehidupan bernegara harus tetap diperjuangkan. Salah satu contoh hak-hak sipil yaitu kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan melalui media elektronik sejalan dengan berkembangnya teknologi digital saat ini.

Sejalan dengan pengakuan hak asasi manusia yang sejajar dengan perkembangan teknologi. HAM tidak hanya berada dalam hak dalam konteks hukum. HAM dalam hal ini sudah mencakup substansi yang sangat luas. Salah satunya adalah perlindungan hak individu dalam menyampaikan pendapat melalui media sosial. Undang‐Undang No. 11 Tahun 2008 sering dijadikan oleh pihak tertentu untuk membungkam pihak yang menyampaikan kritik yang tajam. Adanya kasus yang sempat viral beberapa tahun lalu seperti, PT Garuda Indonesia yang melaporkan dua youtuber bernama Rius Vernandes dan Elwiyana Monica. Mereka berdua adalah penumpang pesawat Garuda Indonesia yang duduk dikelas bisnis, dan pada saat memesan makanan ternyata diberikan daftar menu makanan yang ditulis tangan. Dua penumpang tersebut lalu mengunggah melalui akun instagram pelayanan kru Garuda yang tidak maksimal dalam melayani penumpang. Setelah kejadian tersebut Pihak maskapai melaporkan penumpang ke pihak berwajib dengan alasan pencemaran nama baik. Kasus lainnya yang belum lama viral yaitu salah satu content creator mereview salah satu produk Eiger. Merasa tidak terima dengan hasil review, pihak Eiger mengirimkan email keberatan kepada content creator tersebut. Pihak Eiger memang tidak serta merta melaporkan content creator tersebut, hanya saja terkesan mengikis hak individu untuk mengeluarkan pendapat jujur terhadap produk Eiger yang bukan merupakan endors. Melihat fenomena seperti ini, terasa bahwa hak individu belum semuanya mengerti cara mengaplikasikannya. Bahkan lebih parahnya bisa berakhir bui jika terlalu gegabah. Pada satu sisi harus mengedepankan dimensi humanitas manusia yaitu menjamin hak individu dalam menyampaikan pendapat, tetapi pada sisi yang lain dipandang terlalu menakutkan bagi setiap orang karena terlalu beresiko.

Hukum bukan semata‐mata merupakan peraturan tentang tindakan‐tindakan, tetapi hukum juga berisi nilai‐nilai. Bissa dibilang hukum adalah indikasi mana yang baik dan buruk. Sebagai makhluk hidup yang rasional manusia akan selalu memikirkan hal yang baik dan buruk Salah satu jaminan dalam bidang HAM adalah kebebasan menyampaikan pendapat. Dalam era perkembangan teknologi yang semakin pesat, HAM sudah semakin luas kajiannya. Adanya pengaturan dalam Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang‐Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menimbulkan banyak permasalahan terkait pasal 27 dan 28 yang sering dijadikan alat oleh pihak yang dikritik sebagai senjata untuk menyerang balik terhadap pihak yang mengkritik. Jika melihat konstruksi pasal 27 ayat 3 yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam pasal 28 ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hukum alam membatasi perilaku manusia dalam hal moral untuk menentukan baik dan buruk. Melihat konstruksi pasal tersebut adanya unsur‐unsur yang diatur secara limitatif dalam menyampaikan pendapat sehingga hal ini harus dipahami oleh setiap individu.

Menyampaikan pendapat dan kritik sangat jauh berbeda dengan menyampaikan suatu penghinaan dan pencemaran nama baik, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Jika ada pihak yang menyampaikan suatu pendapat tetapi masuk ke dalam unsur pasal‐pasal diatas maka ada hak individu lain yang dilanggar, maka pihak yang mengeluarkan pendapat masuk kedalam unsur pidana.

Dalam pasal tersebut juga terdapat unsur keharusan adanya hak atau kewenangan seseorang dalam menyampaikan informasi elektronik ke publik. Jika individu tersebut tidak mempunyai hak atau kewenangan maka individu tersebut dilarang untuk menyampaikan informasi elektronik. Melihat konstruksi yang ada dalam UU ITE bahwa sebenarnya hak individu dalam menyampaikan pendapat sudah diakomodir oleh negara dengan harus memperhatikan kewajiban menghormati hak individu orang lain. Unsur perbuatan diatur secara limitatif sehingga ada batasan‐batasan yang harus dilakukan dalam menyampaikan pendapat melalui media elektronik. Setiap orang tidak perlu takut untuk menyampaikan pendapat elektronik selama perbuatannya tidak termasuk kedalam unsur‐unsur yang ada dalam UU ITE. Disahkannya Undang‐Undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang‐Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan memberikan fungsi kontrol dalam masyarakat sehingga dapat meminimalisir kekosongan hukum dalam bidang penyalahgunaan teknologi.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Nuranti

Mahasiswa Komunikasi yang gemar menulis berbagai macam tulisan.

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *