Kesadaran akan kesehatan mental (Mental Health Awareness) di Indonesia saat ini makin hari makin meningkat. Hal ini didukung berbagai bukti dimana makin banyaknya aktivis sosial dan komunitas yang aktif bergerak di bidang kesehatan mental. Selain itu, layanan konsultasi kesehatan mental online juga makin banyak. Hal ini tentunya merupakan kabar baik karena kepedulian masyarakat mengenai kesehatan mental meningkat. Masyarakat menjadi sadar bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Namun, peningkatan ini memiliki kendala berupa stigma masyarakat mengenai penyakit mental. Menurut VOA Indonesia, stigma masyarakat mengenai penderita penyakit mental menjadi ganjalan akan kesadaran kesehatan mental dan pengobatan bagi penderita penyakit mental di Indonesia. Masyarakat sering menganggap bahwa orang yang memiliki penyakit mental adalah orang-orang yang tidak taat beragama, kurang bersyukur, bahkan tidak sedikit yang mengaitkannya dengan hal-hal supranatural seperti kesurupan. Padahal penyakit mental adalah hal yang bisa dijelaskan secara medis seperti halnya penyakit fisik.
Apa itu stigma mengenai penderita penyakit mental?
Setengah bahkan lebih penderita penyakit mental di dunia tidak melaporkan mengenai penyakit yang dideritanya. Kebanyakan mereka berusaha untuk menyembunyikannya dan bahkan menolak untuk melakukan pengobatan karena merasa malu dan takut akan diperlakukan berbeda dari orang lain dan kehilangan pekerjaan mereka. Hal ini berkaitan dengan stigma dan diskriminasi yang diterima orang dengan penyakit mental.
Stigma dan diskriminasi ini ada karena kurangnya pemahaman akan penyakit mental itu sendiri. Selain itu, pemberitaan dan representasi di media yang kurang akurat dan cenderung menyesatkan menambah buruk stigma tersebut. Misalkan penelitian mengenai film Joker, yang dalam di film tersebut Joker digambarkan sebagai orang dengan penyakit mental yang berubah menjadi sangat kejam. Pada penelitian tersebut menemukan bahwa film Joker ini ternyata menambah prasangka buruk mengenai penderita penyakit mental. Padahal pada kenyataannya menurut APA (American Psychiatric Association) hanya 5% kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh orang yang memiliki penyakit mental. meskipun masyarakat paham akan penyakit mental dan pentingnya pengobatan, pandangan yang buruk mengenai orang dengan penyakit mental tetaplah ada.
Pada setting lingkungan kerja secara spesifik, stigma mengenai penderita penyakit mental ini dapat memicu perilaku yang diskriminatif. Pada budaya kerja yang penuh stigma dan kurangnya toleransi mengenai penderita penyakit mental, alih-alih menawarkan bantuan dan dukungan, para rekan kerja mungkin justru mempertanyakan apakah orang yang mengalami penyakit mental tersebut hanya mencari alasan untuk mengabaikan tanggung jawab dan mengambil cuti. Selain itu pada kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, orang tambah enggan untuk mengungkapkan penyakitnya karena takut kehilangan pekerjaan.
Akibatnya, orang dengan penyakit mental menjadi merasa tidak aman dan tertekan yang justru memperburuk penyakit mental itu sendiri. Gangguan mental yang diabaikan tidak hanya akan merusak kesehatan dan karir seseorang, tetapi juga menurunkan produktivitas. Untuk itu dibutuhkan perubahan sikap tentang persepsi orang mengenai penyakit mental sehingga produktivitas dan keberlangsungan organisasi pun tetap terjaga meski memiliki karyawan dengan penyakit mental.
Berikut merupakan pengertian-pengertian umum untuk masalah kesehatan mental di lingkungan kerja.
Apa itu kesehatan mental (mental health) dan penyakit mental (mental illness)?
Untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran akan penyakit mental tentunya kita harus memahami terlebih dahulu mengenai kesehatan mental (mental health) dan penyakit mental (mental illness) terlebih dahulu.
Menurut WHO (World Health Organization) kesehatan mental merupakan bagian atau komponen yang penting dalam kesehatan itu sendiri. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang merasa sejahtera secara psikologis, menyadari akan kemampuannya untuk mengatasi berbagai tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan di sekitarnya. Sedangkan penyakit mental sendiri adalah kebalikannya, kondisi dimana seseorang tidak sejahtera secara psikologis yang biasanya diindikasikan dengan pikiran-pikiran yang tidak normal, persepsi, emosi, dan perilaku yang tidak biasa. Individu dengan penyakit mental mungkin tidak bisa berperilaku normal seperti orang pada umumnya sehingga kehidupannya pun terganggu.
Macam-macam penyakit mental yang paling umum
Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder)
Gangguan kecemasan merupakan penyakit mental yang paling umum dan 30% mempengaruhi beberapa titik kehidupan orang dewasa. Gangguan kecemasan ini memungkinkan seseorang untuk merasa tidak nyaman ketika memikirkan peristiwa di masa depan dan khawatir hal-hal di masa depan tidak akan berakhir dengan baik. Seseorang yang menderita gangguan ini cenderung akan menghindari objek yang menyebabkan kecemasannya sehingga berpotensi mempengaruhi kinerja pekerjaan dan hubungan pribadi mereka.
Pada setting tempat kerja gangguan ini dapat bermanifestasi menjadi perilaku-perilaku seperti kegelisahan, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, hingga kekhawatiran yang berlebihan. Karena sangat umum dan sulit dibedakan dengan kekhawatiran biasa, gangguan kecemasan biasanya tidak terdiagnosis selama 5 hingga 10 tahun dan hanya sekitar satu dari tiga orang dengan gangguan ini yang didiagnosis dan menerima perawatan.
Depresi
Depresi adalah gangguan mental yang paling umum dipelajari di lingkungan kerja. Kondisi ini mempengaruhi perasaan, mood, dan perilaku seseorang hingga dapat menimbulkan masalah emosional dan fisik. Gejala yang umum terjadi seperti hilangnya minat terhadap aktivitas yang diminati, perubahan nafsu makan, hingga perasaan sedih dan tidak berharga yang dominan. Di lingkungan kerja, gejala perilaku yang lebih dapat dilihat adalah seperti hilangnya konsentrasi, gugup, mudah tersinggung, dan gelisah. Mereka mungkin menjadi lebih pasif, menarik diri dari rekan kerja, pengambilan keputusan yang buruk, dan produktivitas menurun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penderita depresi lebih rentan kehilangan pekerjaan dan sering berganti-ganti pekerjaan.
Orang mungkin akan menyalahartikan gangguan ini dengan stress, tetapi depresi lebih dari sekadar stres. Seseorang dapat didiagnosis menderita depresi jika gejalanya minimal berlangsung selama 2 minggu dengan tingkat keparahan yang semakin meningkat.
Gangguan Bipolar
Sama halnya dengan depresi, gangguan bipolar ini juga berhubungan dengan suasana hati (mood). Gangguan bipolar adalah gangguan otak yang menyebabkan adanya episode suasana hati yang ekstrem seperti energi yang berlebihan (episode manik) hingga perasaan sedih yang tidak tertolong (episode depresi). Keadaan ini terjadi pada selang waktu yang berbeda dan biasanya diselingi dengan suasana hati yang normal.
Gangguan mood yang ekstrem ini dapat menyebabkan perubahan perilaku dan kemampuan seseorang. Saat pada fase manik misalnya karyawan akan cenderung memiliki energi yang tak terkendali untuk bekerja tetapi produktivitas dan efektivitas kerja bisa jadi sebenarnya terganggu. Ia mungkin akan menjadi terlalu agresif, melanggar aturan di tempat kerja, dan membuat kesalahan dalam membuat penilaian atau keputusan. Sedangkan pada fase depresi perilaku yang ditunjukkan adalah kebalikannya. Meskipun fase manik dapat diamati, penelitian menunjukkan bahwa fase depresi pada gangguan bipolar dapat merusak produktivitas kerja lebih dari fase manik.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
ADHD adalah penyakit mental yang menyebabkan penderitanya memiliki perilaku hiperaktif dan kompusif di atas normal. ADHD sering dianggap sebagai masalah yang hanya dihadapi oleh anak-anak, tetapi nyatanya ini juga menyerang orang dewasa. Survei di banyak negara mengatakan bahwa 3,5% karyawan menderita ADHD. Di tempat kerja ADHD ini bermanifestasi sebagai perilaku disorganisasi, kegagalan memenuhi deadline, ketidakmampuan memikul beban kerja, pertengkaran dengan rekan kerja, dan kesulitan dalam melakukan instruksi dari supervisor. Akibatnya penderita ADHD memiliki dua hingga empat kali kemungkinan diberhentikan dari pekerjaannya dibandingkan karyawan lainnya.
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post-traumatic Stress Disorder/PTSD)
Gangguan atau penyakit ini disebabkan karena pengalaman buruk di masa lalu seperti bencana alam, perang, hingga kekerasan. Gejala penyakit ini ditandai dengan pikiran dan perasaan yang intens serta mengganggu terkait dengan pengalaman buruk yang berlangsung setelah situasi berakhir. Orang dengan PTSD mungkin akan merasa takut, marah, atau sedih jika dihubungkan dengan sesuatu tentang pengalaman traumatiknya. Mereka juga cenderung akan menghindari topik-topik pembicaraan yang memicu traumanya hingga membuat mereka merasa terasingkan dari orang lain.
Ketika gejala PTSD ini berkembang, akan menjadi sulit bagi karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan. Bagi karyawan yang menderita PTSD bisa jadi sesuatu hal di tempat kerja adalah salah satu yang memicu stres pasca traumanya. Karyawan menjadi sering tidak masuk bekerja dan tidak ada yang tau mengapa.
Gangguan Makan (Eating Disorder)
Gangguan makan adalah salah satu gangguan mental yang membuat penderitanya memiliki kebiasaan makan yang tidak normal hingga berdampak pada psikis dan fisiknya. Seseorang dengan gangguan makan ini mungkin akan mengurangi makannya hingga porsi yang sangat sedikit atau bahkan rela memuntahkan makanan yang sudah dimakan agar berat badannya tidak naik. Mereka menjadi sangat kritis terhadap tubuh mereka dan rela kelaparan selama berhari-hari. Penyakit ini umumnya menyerang perempuan berusia 12 hingga 35 tahun.
Gangguan makan mungkin tidak selalu mudah untuk diidentifikasi jika ini terjadi pada rekan kerja kita karena tidak terlihat secara langsung. Namun, walaupun gangguan ini tampak ringan dibandingkan dengan gangguan lain, hal ini dapat berdampak signifikan pada kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Membiarkan perut kosong selama berhari-hari tentunya akan membuat tubuh kekurangan nutrisi dan membuat otak sulit berkonstrasi. Penderita gangguan makan ini bisa saja sampai menghindari acara kantor jika itu berhubungan dengan makanan.
Dengan memahami hal-hal dasar mengenai stigma dan penyakit mental di lingkungan kerja ini diharapkan dapat membuat kita menjadi lebih sadar akan kesehatan mental itu sendiri. Selayaknya penyakit fisik, penyakit mental bisa terjadi pada siapa saja dan tentunya jika bisa dikelola dengan baik, orang dengan penyakit mental dapat bekerja dan melakukan aktivitas seperti orang lain.