MAKALAH
SYARAT SAH KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Oleh :
dr. Zaini Abdillah, MM., CHRA., MQM
Perkembangan era globalisasi saat ini memberikan pengaruh salah satunya dalam pelaksanaan kerjasama bisnis. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh pelaku bisnis banyak dilakukan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis atau kontrak. Kontrak dapat digunakan sebagai dasar bagi para pihak untuk dapat melakukan penuntutan apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam kontrak atau perjanjian. Ewan Macintyre, menyatakan bahwa “a contract is a legally binding aggreement. In order for a contract to be created, one of parties must make an offer to the other party and the other party must accept this offer. Dapat diartikan bahwa kontrak adalah kesepakan yang mengikat secara hukum. Agar kontrak yang akan dibuat, salah satu pihak harus membuat penawaran ke pihak lain dan pihak lain harus menerima tawaran ini.
Istilah kontrak atau perjanjian seringkali dipahami memiliki pengertian yang berbeda, namun dalam KUHPerdata kedua istilah tersebut tidak memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Agus Yudha Hernoko, dalam perspektif KUHPerdata istilah perjanjian mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak.
Kontrak diatur dalam KUHPerdata pada Buku III tentang perikatan. Pengertian kontrak dimuat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu “suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pengertian tersebut tidak lengkap, karena hanya mencakup kontrak sepihak, yaitu satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih, sedangkan orang lainnya atau lebih tidak diharuskan mengikatkan dirinya kepada pihak pertama. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa pengertian kontrak dalam KUHPerdata tidak mengatur kontrak yang dalam kontrak tersebut kedua pihak saling mempunyai prestasi secara timbal balik. Selain itu pengertian kontrak tersebut memiliki makna yang terlalu luas dan tidak memberikan pengertian yang tegas dan konkret.
Dalam kegiatan bisnis, baik yang dilakukan orang perorangan maupun pemerintah senantiasa membuat kontrak sebagai dasar untuk pelaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Dengan melibatkan diri dalam suatu transaksi komersial, pemerintah mengikatkan diri dalam suatu hubungan kontraktual. Jenis hubungan kontraktual yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan kegiatan pengadaan barang/jasa dalam rangka untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Kontrak ini pada dasarnya merupakan kontrak komersial sekalipun mengandung unsur hukum publik, yang pada akhirnya memberikan dampak bahwa disatu sisi hubungan hukum yang terjalin karena adanya kontrak, tetapi disisi lain hubungan tersebut sarat dengan aturan bagi penyedia barang/jasa.
Suatu perjanjian dianggap sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata. Adapun syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,dan siapa yang harus melaksanakannya. Suatu perjanjian dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung salah satu dari 3 (tiga), yaitu: (a) Unsur paksaan (dwang), (b) Unsur kekeliruan (dwaling), (c) Unsur penipuan (bedrog).
- Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Setiap subyek hukum yang wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum, termasuk dalam hukum kontrak. Siapa yang dapat atau boleh melakukan perbuatan hukum dan mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual adalah mereka yang cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum berupa membuat kontrak yang menimbulkan akibat hukum kontraktual.
- Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek perjanjian biasanya berupa barang atau benda. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata “hanya barang-barang yang dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan”. Penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.
- Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut pengertiannya, “sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian, di mana hal tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata). Sedangkan dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berkaitan dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah batal demi hukum.
Syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya. Sedangkan untuk syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.