Presiden resmi memberi Izin kepada para Investor swasta baik dalam Negeri maupun Luar Negeri dalam penanaman modal usaha Pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Hal ini tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Perizinan berusaha kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir dan Perairan pulau-pulau kecil. Berita tersebut tentunya mengundang perhatian publik baik dalam negeri maupun Mancanegara. Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT Indonesia (APPP BMKTI) mengungkap BMKT atau harta karun Indonesia ini dinilai memiliki potensi kekayaan mencapai US$12,7 miliar atau setara Rp181,69 triliun (mengacu kurs Rp14.307 per dolar AS) yang tersebar di 464 titik di seluruh perairan RI. Dari 464 titik itu, 60 persen sebaran paling banyak di Kepulauan Riau, seperti Natuna, Bintan, Batam, lalu Belitung, kemudian Laut Jawa 30 persen, selebihnya sebarannya di Sulawesi dan Halmahera.
Indonesia memang sedang gencar-gencarnya memulihkan perekonomian dengan menambah nilai investasi. Namun tindakan Presiden ini menuai kontroversi selain investasi miras yang sempat ramai dan akhirnya mencabut kembali lampiran perpres tersebut. Cuitan twitter mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti salah satunya.
“Pak Presiden @jokowi & Pak MenKKP @saktitrenggono @kkpgoid, mohon dg segala kerendahan hati utk BMKT dikelola &diangkat sendiri oleh pemerintah. Sudah banyak kita kehilangan benda2 bersejarah yg seharusnya jadi milik bangsa,” Kata Ibu Susi dikutip dari akun Twitternya, Jumat 5 Maret 2021.
Menurut Mantan Menteri KKP, Pengangkatan BMKT seharusnya dikelola oleh negara sendiri tanpa membuka peluang pihak asing untuk mengeruk harta negara. Kebijakan tersebut harusnya di larang karena akan merugikan negara. Pihak asing bisa curang dengan teknologi canggih yang dimiliki lebih menguntungkan mereka dengan mengambil bagian yang paling bagus dan mahal dan negara kita akan mendapatkan sisanya. Selain itu, BMKT bukan sekedar harta karun yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Benda Muatan Kapal tenggelam ini merupakan cagar budaya yang memiliki nilai budaya, historis, dan simbol peradaban perdagangan dunia pada abad ke-7 sampai abad ke-19. Hal ini menimbul tanya sebenarnya apa status dari BMKT sendiri ? sebagai benda komersial yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah ? atau sebagai cagar budaya yang merupakan simbol kekayaan “sebenarnya” bagi Indonesia sebagai negara maritim?
BMKT memang dikategorikan sebagai Benda cagar budaya. Dalam pasal 5 UU No. 11 Tahun 2010 menjelaskan tentang kriteria cagar budaya diantaranya : (a) Berusia 50 Tahun atau lebih; (b) Mewakili masa gaya paling singkat minimal 50 Tahun; (c) Memiliki arti khusus bagi Sejarah, Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Agama dan atau kebudayaan; (d) Memiliki nilai budaya dalam penguatan kepribadian bangsa. Pada Prinsipnya Benda cagar budaya merupaka Benda Milik Negara (BMN) yang dilindungi dan dikelola oleh Negara.
Status BMKT sebagai bidang usaha pun terombang-abing yang semula masih berstatus terbuka Pada Perpres Nomor 39 Tahun 2014 kemudian terjadi moratorium di berhenetikan sementara atau bidang usaha pengangkatan benda muatan kapal tenggelam ini secara tertutup dengan mempertimbangkan UU No. 11 Tahun 2011 tentang cagar budaya. Sekarang, Presiden mengizinkan membukanya kembali kepada para Investor asing maupun swasta untuk memburu harta karun Indonesia ini.
Kementerian keuangan turut andil dalam Penanganan Hasil Penangkapan BMKT. Secara garis besar Kementerian Keuangan menjamin kepastian hukum penetapan status penggunaan dan penjualan BMKT secara tertib, terarah, dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.06/2009 (PMK 184). Menteri Keuangan memiliki kewenangan yang secara fungsional dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara sebagai berikut:
(1) Menetapkan status penggunaan BMKT berstatus BMN;
(2) Memberikan persetujuan pelaksanaan penjualan BMKT berstatus BMN non koleksi negara;
(3) Memberikan persetujuan pelaksanaan penjualan BMKT berstatus selain BMN.
Dalam ketentuan PMK 184 ditegaskan bahwa BMKT berstatus BMN yang ditetapkan sebagai koleksi negara tidak dapat dilakukan penjualan. Jadi hanya “BMKT berstatus BMN non koleksi negara” dan “BMKT berstatus selain BMN” yang dapat diberikan persetujuan pelaksanaan penjualan oleh Menteri Keuangan berdasarkan permohonan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Pada prinsipnya, penjualan BMKT berstatus selain BMN harus dilakukan secara lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atas permohonan Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT (PANNAS BMKT). Hasil penjualan lelang BMKT setelah dipungut bea lelang, diserahkan kepada pemohon lelang. Hasil penjualan BMKT yang diserahkan kepada pemohon lelang tersebut, untuk bagian Pemerintah wajib disetorkan ke Kas Negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Mengingat BMKT ini merupakan aset yang tidak jauh berbeda dengan aset pada umumnya dimana terdapat kemungkinan tidak laku dijual, maka PMK 184 memberi peluang untuk dilakukan cara penjualan tidak melalui lelang KPKNL. Penjualan dengan cara non lelang dilakukan jika setelah dilakukan 3 (tiga) kali pelelangan melalui KPKNL, BMKT tidak terjual, sehingga Menteri Kelautan dan Perikanan dapat:
- melakukan penjualan secara lelang melalui balai lelang swasta/internasional; atau
- melakukan penjualan dengan cara lain.
Setelah pelaksanaan penjualan BMKT, termasuk pembagian hasil penjualan dan penyetoran ke Kas Negara, harus dilaporkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua PANNAS BMKT kepada Menteri Keuangan.
Alasan lain Pemerintah saat ini membuka kembali perizinan pihak swasta dan asing mengeruk BMKT tidak lain karena kasus penjarahan dan pencurian BMKT yang kian terjadi dan hal ini tentu merugikan negara. Kasus fenomenal yang pernah terjadi yakni pencurian yang dilakukan Michael Hatcher atas BMKT dari kapal Geldermalsen yang kemudian melelangnya di balai lelang Christi’e, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan Indonesia tidak mendapat bagian sama sekali. Kejadian terbaru dan cukup menghebohkan adalah dengan ditangkapnya kapal berbendera Tiongkok Chuan Hong 68, kapal tipe Grab Hopper atau kapal keruk berbobot 8352 GT pada tanggal 28 April 2017 di Perairan Panggaranf johor Timur Malaysia. Kapal ini diduga berkaitan dengan pengangkatan BMKT di sekitar Natuna dan Laut Cina Selatan, yaitu Swedish Supertanker Seven Skies (tenggelam tahun 1969), Italian Ore/Oil Steamship Igara (tenggelam 12 Maret 1973), kapal perang Jepang Ijin Sagiri, kapal penumpang jepang Hiyoshi Maru dan Katori Maru. Hal ini mendorong Pemerintah utuk memberikan status hukum yang jelas terhadap BMKT. Sehingga dengan dibukannya perizinan bidang usaha Pengangkatan BMKT semakin meningkatkan Pengawasan terhadap benda cagar budaya yang merupakan benda milik negara tersebut. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga memperingatkan terkait perijinan yang ketat yang harus melalui proses seleksi secara bertahap kepada pihak-pihak yang akan menaruh investasi dalam pengangkatan BMKT.
Mengingat kompleksitas dalam rangka pengelolaan BMKT mulai dari ijin survei, ijin pengangkatan, pemilihan koleksi negara, penjualan selain koleksi negara, sampai dengan sertifikasi dan pemindahtanganan BMKT baik ke pembeli dalam negeri atau ke luar wilayah RI Perlu adanya koordinasi antar semua pihak dalam Pengelolaan bidang usaha ini. Pihak-pihak terkait diantaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT (PANNAS BMKT), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota, serta pihak-pihak lain yang bersangkutan.
Sumber :