Emergency Use Authorization, Kebijakan dalam Penerbitan Izin Edar Obat Pada Pandemi COVID – 19

Sumber : ugm.ac.id

Tepat hampir satu tahun sudah semenjak kondisi darurat dari wabah virus Corona ditetapkan oleh pemerintah pada April 2020 melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Virus Corona Disease 2019 (COVID – 19). Berbagai upaya tentunya telah dilakukan oleh pemerintah agar wabah ini dapat teratasi, dimulai dari menggalakan penggunaan masker, membuat kebijakan untuk belajar dan bekerja dari rumah (SFH dan WFH), melakukan pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan pada daerah yang memiliki tingkat penyebaran yang cukup tinggi, hingga penyelenggaraan program vaksinasi COVID – 19. Jika ditinjau lebih dalam lagi, penyelenggaraan program vaksinasi COVID – 19 ini dapat melalui waktu yang cukup lama dikarenakan pengembangan vaksin di dunia kefarmasian membutuhkan waktu yang cukup lama, dimulai dari tahapan penelitian terkait virus hingga proses produksinya, kemudian dilanjutkan dengan pengujian secara pre – klinis dan klinis. Pengujian secara pre – klinis dilaksanakan secara in vitro dan in vivo, yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian klinis yang terbagi menjadi tiga fase. Jika diperkirakan, pengembangan vaksin dimulai dari tahapan pengembangan, pengujian hingga komersialnya dapat memakan waktu tiga hingga lima tahun. Tetapi, pada kejadian tertentu seperti pandemi yang terjadi secara nasional ataupun internasional diperlukan adanya penanganan dari segi medis dan obat – obatan yang cepat, sehingga memungkinkan adanya obat – obatan baru yang digunakan dimana salah satunya adalah vaksin baru. Untuk mempercepat proses registrasi dan penerbitan izin edar dari obat baru tersebut, FDA (Food and Drugs Administration) sebagai lembaga pengawas obat dan makanan di Amerika menerbitkan ijin khusus untuk mempercepat proses registrasi yang disebut dengan EUA (Emergency Use Authorization).

Apa yang dimaksud dengan EUA (Emergency Use Authorization) ?

Pada tanggal 13 Januari 2017, FDA (Food and Drugs Administration) memberikan notifikasi terkait kewenangan dari Emergency Use Authorization terhadap obat – obatan maupun produk medis lainnya yang disertakan dengan guideline ditujukan kepada industri farmasi ataupun para pemangku kepentingan lainnya terkait produk medis ini. Adapun tujuan dari pemberian guideline ini adalah untuk menindaklanjuti terhadap penggunaan dari beberapa produk medis yang dibutuhkan pada kondisi darurat yang telah diatur pada ketentuan hukum Federal Food, Drug, and Cosmetic Act. Ketentuan EUA ini akan dimasukkan kedalam ketentuan hukum tersebut berdasarkan atas hukum yang telah ditetapkan pada kongres Amerika Serikat pada tahun 2013 yaitu (PAPHRA) Pandemic and All – Hazards Preparedness Reauthorization Act of 2013. Tujuan dari PAPHRA ini yaitu untuk menetapkan kewenangan secara legal untuk menopang dan memperkuat kesiapan negara dalam kesehatan masyarakat, militer, dan darurat domestik yang meliputi kimia, biologi, dan nuklir termasuk adanya wabah penyakit seperti pandemik influenza.

Pada kongres PAPHRA,  dilakukan pengklarifikasian terhadap wewenang FDA untuk mensuport kesiapan terhadap pengembangan dan ketersediaan dari produk medis yang akan digunakan pada kondisi darurat. Beberapa produk medis yang memiliki hak ini yaitu, produk medis kategori MCM (Medical Countermeasure) merupakan obat – obatan yang digunakan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan menurut FDA dapat digunakan mencegah, melindungi atau menyembuhkan beberapa kondisi yang dapat membahayakan nyawa seperti paparan senyawa kimia, biologi, radiologi, nuklir dan adanya penyebaran wabah penyakit yang masih belum diketahui terapinya seperti apa. Obat – obatan yang dimaksud seperti antivirus, antidotes (penawar racun), produk biologi yang masuk kedalam kategori obat (vaksin, plasma kovalesens, dan antibodi monoklonal), dan alat kesehatan (yang digunakan untuk diagnosis dan alat untuk memproteksi tubuh). Selain itu, pada kongres tersebut PAPHRA mengajukan agar FDA dapat menyetujui penggunaan obat atau peralatan medis yang belum disetujui untuk diedarkan selama kondisi darurat terjadi.

Bagaimana persyaratan dari kebijakan EUA ini terhadap obat – obatan maupun alat kesehatan sebelum beredar di pasaran?

Pada tanggal 8 Januari 2020, WHO (World Health Organization), yaitu organisasi internasional dibawah PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) yang memiliki tanggungjawab untuk memberikan arahan dan kebijakan dalam penanganan kesehatan masyarakat internasional menerbitkan Emergency Use Listing Procedure, yaitu guideline yang menjelaskan terkait prosedur, wewenang dan kebijakan dari WHO ketika EUA dilaksanakan. Guideline ini diterbitkan dengan tujuan untuk memperjelas kewenangan WHO untuk mengawasi produk medis yang belum memiliki ijin edar, prosedur pengawasan yang akan dilaksanakan oleh WHO pada proses pengembangan produk medis hingga proses produksi pada produk medis yang digunakan untuk kepentingan darurat, serta melakukan evaluasi terhadap produk medis. Guideline yang ditetapkan oleh WHO ini tidak dimaksudkan untuk mengintervensi pelaksanaan pengujian klinis yang telah dilaksanakan, namun progress – nya akan tetap terpantau oleh WHO. Secara internasional, kebijakan EUA dari FDA ini selaras dengan panduan dari WHO yaitu Emergency Use Listing Procedure. Kebijakan EUA ini memiliki beberapa kriteria yang perlu diperhatikan sebelumnya yaitu :

  1. Telah ditetapkannya kondisi kedaruratan masyarakat oleh pemerintah, salah satunya pada kondisi pandemi.
  2. Terdapat bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat dari obat untuk mencegah, mendiagnosis, atau mengobati penyakit atau keadaan yang serius dan mengancam jiwa berdasarkan data non – klinik, klinik, dan pedoman penatalaksanaan penyakit terkait.
  3. Obat telah memiliki mutu yang memenuhi standar yang berlaku serta Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau Current Good Manufacturing Practice (CGMP).
  4. Obat memiliki kemanfaatan / benefit yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan resikonya pada risk – benefit analysis yang didasarkan pada kajian data non – klinik dan klinik obat terhadap indikasi yang diajukan.
  5. Belum tersedianya pengobatan atau penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk menetapkan diagnosa, pencegahan atau pengobatan penyakit penyebab dari kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.

Bagaimana penerapan EUA dari FDA dan WHO ini di negara Indonesia?

Menurut PAHO (Pan American Health Organization), di tahun 2020 pada panduan dalam pelaksanaan EUA menyatakan bahwa negara – negara internasional melalui badan regulatori nasional masing – masing negara dapat melaksanakan kebijakan EUA. Negara – negara tersebut nantinya diharapkan dapat mengembangkan rencana beserta kesiapan legal terutama dalam kondisi pandemi COVID – 19 yang berkaitan dengan obat – obatan maupun produk medis lainnya. Mengutip panduan dari WHO, EUA dilaksanakan pada negara – negara internasional dengan memiliki kesiapan sebagai berikut : 1) regulasi dari negara terkait dapat mencakup hukum atau peraturan yang menyetujui kebijakan EUA untuk obat – obatan dan produk medis lainnya; 2) adanya kesiapan dari penanganan pandemi yang menyebutkan pelaksanaan kebijakan EUA; 3) prosedur teknis yang mengacu pada perundang – undangan maupun panduan terkait kewenangan EUA, dan 4) memiliki sistem untuk memantau produk yang memiliki kewenangan EUA di pasaran.

Dengan memperhatikan kondisi kedaruratan dan merespon kebutuhan percepatan penanganan dari kondisi COVID – 19, maka Badan POM pada tanggal 11 Januari 2021, mengambil langkah kebijakan dengan menerapkan EUA pada penggunaan vaksin COVID – 19 dalam kondisi darurat pandemi ini. Selain itu, Kepala Badan POM RI, yaitu Penny K. Lukito juga menyebutkan bahwa penerapan EUA ini juga dilakukan oleh semua otoritas regulatori obat di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia, pengembangan vaksin dilakukan pada produk vaksin Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech dan telah didaftarkan sebagai produk EUA oleh PT. Bio Farma.Tentunya sebelum penetapan EUA pada vaksin Sinovac ini, dengan mengikuti panduan dari WHO terkait EUA vaksin tersebut harus memiliki data hasil pemantauan keamanan dan khasiat / efikasi selama tiga bulan pada uji klinik fase tiga, dengan efikasi vaksin minimal 50%. Berdasarkan pengujian fase klinik yang dilaksanakan di Bandung efikasi yang ditunjukkan adalah sebesar 65,3%, dan pelaporan efikasi vaksin di negara lain seperti Turki yaitu sebesar 91,25%, serta di Brazil sebesar 78%. Oleh karena efikasi vaksin diatas angka 50% beserta hasil evaluasi dari efek samping vaksin Coronavac yang bersifat ringan hingga sedang seperti nyeri otot, lemas, dan demam maka kebijakan EUA ditetapkan pada vaksin Coronavac  agar dapat diproduksi secara massal dan dapat diberikan kepada masyarakat Indonesia untuk menjalankan program pemerintah menanggulangi virus COVID – 19, yaitu vaksinasi massal untuk menurunkan angka penyebaran virus. Dengan adanya pemberian persetujuan ini, tidak membuat kita lengah dalam menghadapi virus COVID – 19 ini. Semoga sehat selalu.

Referensi :

  1. Komite Penanganan COVID – 19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. 2020. Tahap – tahap Pengembangan Vaksin COVID – 19 Hingga Produksi Massal.
  2. U.S. Department of Health and Human Services. 2017. Emergency Use Authorization of Medical Products and Related Authorities : Guidance for Industry and Other Stakeholders. U. S. Department of Health and Human Services : Food and Drug Administration.
  3. World Health Organization. 2020. Emergency Use Listing Procedure. United Nation : World Health Organization.
  4. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2021. Siaran Pers Penerbitan Persetujuan Penggunaan dalam Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) Pertama untuk Vaksin COVID – 19. Indonesia : Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.
  5. Pan American Health Organization. 2020. Reliance for Emergency Use Authorization of Medicines and Other Health Technologies in a Pandemic (e.g. COVID – 19). World Health Organization : Pan American Health Organization.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
eradeasty

Merupakan seorang apoteker yang tertarik dengan dunia menulis. Menghabiskan sebagian besar waktunya dengan membaca berbagai jenis buku, dengan genre favoritnya yaitu social science.

Artikel: 4

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *