MEMBERANTAS KEMISKINAN DI KAWASAN SUMATERA INDONESIA

Kemiskinan merupakan hal yang paling penting untuk ditanggulangi di Negara maupun daerah, keberadaan Indonesia sebagai negara sedang berkembang tidak luput dari kesalahan dalam kegiatannya memberantas kemiskinan dan kapasistasnya dalam memberdayakan masyarakat miskin yang sesuai dengan Pemerintah dan masyakat dapatkan, justru dari apa yang sudah diberikan pemerintah menjadi bahan pertimbangan dalam  mengumpulkan sebuah evaluasi nyata berupa analisis dalam mengetahui kekurangan dan yang perlu ditambah dari dampak program yang sudah dijalankan dari beberapa pekerjaan pemerintah yang dirancang agar dapat membuat ekspektasi masa depan Indonesia yang lebih baik, harapan dari kebanyakan stakeholder.

Indonesia sebagai negara yang berpendapatan Low Middle Income menjadi tolak ukur keberadaan Negara yang mempertimbangkan asas keadilan yang kuat untuk memopang kekuatan dalam mendongkrak perekonomian dari daerah, sebuah studi kasus yang mestinya  untuk mendapatkan marwah kedaulatan dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan Amanat Undang Undang dasar.

Keterpurukan yang melanda Indonesia pasca krisis adalah satu penyebab adanya kekurangan Pemerintah dalam menanggulangi dampak yang telah terjadi, alangkah baiknya memang menjadi sebuah perhatian dan pelajaran untuk didapatkan, sebenarnya ini adalah sebuah pemahaman dan analisa secara mendalam dalam hal penanganan dan upaya mengevaluasi apa saja hal – hal yang perlu disediakan ketika datang sebuah masalah besar dari aspek perekonomian mulai mendapatkan tanggapan  negatif, sebuah kasus yang seharusnya dapat terungkap dibalik sebuah proses kerja tersebut hal ini mendapatkan perhatian yang banyak dari elemen masyarakat karena menyangkut harkat orang banyak.

Perhatian bukan saja dari impelementasi pemerintah dalam menjalankan pemerintahan juga peran masyarakat untuk mewujudkan pertumbuhan secara bertahap yang dibuktikan bukti dilapangan terhadap penanganannya di masyarakat miskin, perhatian khusus perhatian tehadap masyrakat kalangan bawah tersebut cukup menyita waktu untuk memikirkan sesuatu hal sangat penting dibahas dalam perjalanan siklus ekonomi di suatu negara.

Terlepas dari segala urusan pemerintahan Indonesia sebagai negara paling konsumtif yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terbesar ke-empat didunia setelah Amerika Serikat, India dan China. Hal ini bertolak pada proses permintaan barang impor melebihi dari produksi dalam negeri dengan persepsi tentang kepedulian terhadap masyarakat yang semakin berkurang sehingga mengakibatkan ketidak percayaan terhadap pasar  Domestik yang mana melalui perdagangan internasional yang semakin marak dilakukan di Indonesia.

Produk-produk masyarakat miskin rentan masih belum diolah sehingga (tidak) mempunyai daya jual yang lebih tinggi. Mungkin karena Medan masih menjadi pusat ekonomi di daerah itu,” ujarnya.

“Hasil olahan rakyat, terutama kopi masih banyak didominasi oleh pasaran melalui Medan, Jadi kontrol harga masih belum optimal,” kata Maliki melanjutkan.

Menurut Maliki, kebanyakan masyarakat penduduk Aceh juga lebih banyak memperhatikan investasi daripada untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.

“Orang Aceh lebih banyak memperhatikan investasi daripada pengeluaran untuk makanan dan sehari-hari. Inipun pasti akan mempengaruhi profil pengeluaran. Di mana kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pola makan dan kalori,” tuturnya.

Dana otonomi khusus (Otsus) Aceh yang sudah digelontorkan oleh pemerintah sejak 2015-2020 Rp 47,6 triliun juga menurut Maliki belum dimanfaatkan secara baik.

“Mungkin nanti ke depan (dana otsus) bisa digunakan untuk meningkatkan akses pasar yang lebih independen. Dari pada harus lewat Medan, Sumatera Utara,” tuturnya.

Untuk menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh, Bappenas berencana untuk membuat beberapa uji coba yang akan segera diperluas di Aceh. Bappenas akan memulainya dengan merapikan data dengan melakukan uji coba registrasi sosial mendata seluruh penduduk di beberapa desa di Aceh.

Dalam menanggulangi kemiskinan di Aceh, Bappenas juga akan memperluas cakupan administrasi kependudukan, terutama cakupan akta lahir. Pasalnya masyarakat miskin rentan tidak memiliki memiliki akta lahir.

“Sistem pelayanan dasar, baik pendidikan, kesehatan, maupun sanitasi air minum. Tata kelolanya sedang kami merapikan. Kami juga akan melakukan pemberdayaan ekonomi dengan memberdayakan rakyat miskin melalui pemberdayaan sumber daya lokal, namanya keperantaraan,” jelas Maliki.

Permasalahan kemiskinan yang bersifat multidimensi dapat digambarkan sebagai berikut.

A.     Permasalahan yang Terkait dengan Pemenuhan Hak Dasar

Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan. Di sisi lain, masalah yang dihadapi oleh petani penghasil pangan adalah terbatasnya dukungan produksi pangan, tata niaga yang tidak efisien, rendahnya penerimaan usaha tani pangan dan maraknya penyelundupan. Kurang terpenuhinya gizi dari masyarakat miskin tercermin dari kasus-kasus gizi buruk yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai wilayah Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus di NTB disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai kecukupan gizi, sedangkan NTT mengalami kasus gizi buruk karena terjadi rawan pangan yang disebabkan oleh kemarau berkepanjangan.

Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan. Masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain ketidakcukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Rendahnya kecukupan pangan dan terbatasnya layanan kesehatan untuk masyarakat miskin dapat dilihat dari kasus kematian yang diakibatkan oleh gizi buruk. Pada tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta. Hal ini berarti ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita gizi buruk. Hal tersebut membuktikan bahwa akses masyarkat miskin memang masih terbatas terhadap layanan kesehatan yang memadai dan masih terjadinya keterlambatan pemberian layanan kesehatan. Kasus gizi buruk yang dialami NTB merupakan salah satu kasus rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang gizi. Selain itu, Indonesia juga mengalami kasus mewabahnya polio di berbagai wilayah karena kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam imunisasi polio sangat kurang. Kurangnya kesadaran masyarkat tersebut terjadi karena masyarakat tidak mengetahui adanya layanan kesehatan yang tersedia dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai berbagai jenis penyakit. Salah satu keluhan utama masyarakat miskin adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Hal ini disebabkan oleh jauhnya tempat pelayanan kesehatan dan rendahnya jaminan kesehatan. Data Susenas 2004 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6 persen penduduk yang memiliki salah satu bentuk jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15 persen penduduk yang memiliki Kartu Sehat (KS) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS masih rendah. Penyebab utama rendahnya pemanfaatan tersebut adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan KS dan kurang jelasnya pelayanan terhadap pemegang KS.

Terbatasnya Akses dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan. Masyarakat miskin mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan formal dan nonformal. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu kegiatan kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan nonformal.

Pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberi pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat. Sampai dengan tahun 2004 masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat terutama antara penduduk kaya dan penduduk miskin dan antara perdesaan dan perkotaan. Sebagai gambaran, dengan rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS) — rasio penduduk yang bersekolah — untuk kelompok usia 13–15 tahun pada tahun 2004 mencapai 83.49 persen, APS kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 94.58 persen sementara APS kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 70.85 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16–18 tahun dengan APS kelompok terkaya sebesar 76.08 persen dan APS kelompok termiskin hanya sebesar 32.74 persen. Dengan menggunakan indikator APK tampak bahwa partisipasi pendidikan kelompok penduduk miskin juga masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk kaya khususnya untuk jenjang SMP/MTs ke atas. APK SMP/MTs untuk kelompok termiskin baru mencapai 63.82 persen, sementara kelompok terkaya sudah hampir mencapai 97.16 persen. Untuk jenjang pendidikan menengah, kesenjangan tampak sangat nyata dengan APK kelompok termiskin terbesar 27.71 persen dan APK kelompok terkaya sebesar 83.92 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu sebesar 4,01 persen untuk kelompok terkaya dan 16,9 persen untuk kelompok termiskin. Keterbatasan masyarakat miskin untuk mengakses layanan pendidikan dasar terutama disebabkan oleh tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan, pada kenyataannya tetap ada pengeluaran lain di luar iuran sekolah yang menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ketersediaan fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah perdesaan, daerah terpencil, dan kepulauan masih terbatas.

Terbatasnya Kesempatan Kerja dan Berusaha. Kurangnya lapangan pekerjaan serta banyaknya masyakarakat yang bekerja pada lapangan kerja yang kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada pekerja yang rentan jatuh di bawah garis kemiskinan (near poor). Jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,9 juta orang atau 10,3 persen dari angkatan kerja sedangkan angka setengah pengangguran terpaksa jumlahnya mencapai 13,4 juta orang pada bulan Februari 2005. Antara tahun 2000 dan tahun 2003 terjadi penurunan lapangan kerja formal sebanyak lebih kurang 5 juta orang. Pengurangan lapangan kerja formal ini memberikan tekanan kepada kesejahteraan pekerja informal yang pada akhirnya menyebabkan lambatnya penurunan jumlah orang miskin.

Masyarakat miskin juga mempunyai akses yang terbatas untuk memulai dan mengembangkan koperasi dan usaha, mikro, dan kecil (KUMK). Permasalahan yang dihadapi antara lain adalah sulitnya mengakses modal dengan suku bunga rendah, hambatan untuk memperoleh izin usaha, kurangnya perlindungan dari kegiatan usaha, rendahnya kapasitas kewirausahaan dan terbatasnya akses terhadap informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan teknis dan teknologi. Ketersediaan modal dengan tingkat suku bunga pasar masih sulit diakses oleh pengusaha kecil dan mikro. Permasalahan lainnya adalah tidak adanya lembaga resmi yang dapat memberi modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh kapasitas masyarakat miskin. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industri tradisional, dan hilangnya aset usaha akibat penggusuran. Usaha koperasi juga sering menghadapi kesulitan untuk menjadi badan hukum karena persyaratan yang sangat rumit, seperti batas modal, anggota, dan kegiatan usaha.

Terbatasnya Akses Layanan Perumahan. Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin. Secara umum, masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat miskin adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak huni, rendahnya mutu lingkungan permukiman, dan lemahnya status hukum kepemilikan perumahan.

Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang tidak layak dan sering satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu keluarga. Data Potensi Desa 2003 BPS menunjukkan bahwa sekitar 17 Kabupaten/Kota termasuk daerah dengan jumlah keluarga lebih dari 19.000 yang bertempat tinggal di bantaran sungai dan permukiman kumuh. Kondisi permukiman mereka juga sering tidak dilengkapi dengan lingkungan permukiman yang memadai. Untuk mendapatkan tempat bermukim yang sehat dan layak, mereka tidak mampu membayar uang muka untuk mendapatkan kredit pemilikan perumahan sangat sederhana dengan harga murah mereka juga tidak mampu.

Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan pesisir, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering juga mengeluhkan kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Kesulitan perumahan dan permukiman masyarakat miskin di daerah perdesaan umumnya disiasati dengan menumpang pada anggota keluarga lainnya. Dalam satu rumah sering dijumpai lebih dari dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai. Hal ini terjadi pada masyarakat perkebunan yang tinggal di dataran tinggi seperti perkebunan teh di Jawa. Mereka jauh dan terisiolasi dari masyarakat umum. Sementara itu, bagi penduduk lokal yang tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan dan permukiman tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari masalah keutuhan ekosistem dan budaya setempat.

Terbatasnya Akses terhadap Air Bersih dan Aman, serta Sanitasi. Masyarakat miskin sering menghadapi kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan keamanan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air, belum terjangkau oleh jaringan distribusi, menurunnya mutu sumber air, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih dan sanitasi untuk kesehatan.

Masyarakat miskin perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh dan pinggiran sungai menghadapi kesulitan untuk dapat menjangkau layanan PDAM sehingga masih banyak masyarakat yang memanfaatkan air sungai dan sumur galian yang sudah tercemar untuk keperluan rumah tangga. Mereka juga terpaksa membeli air dari pedagang eceran dengan harga yang relatif mahal. Masyarakat miskin juga menghadapi masalah buruknya sanitasi dan lingkungan permukiman terutama yang tinggal di kawasan kumuh. Kondisi sanitasi dan lingkungan yang buruk berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mereka terutama anak-anak dan ibu. Selain itu, masyarakat miskin juga kurang memahami pengelolaan sanitasi dan lingkungan hidup sebagai bagian dari perilaku hidup sehat.

Lemahnya Kepastian Kepemilikan dan Penguasaan Tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan petani miskin sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah dan kemampuan memobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Jumlah rumah tangga petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,2 ha meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Oleh karena itu, dalam kurun waktu sepuluh tahun terjadi peningkatan persentase rumah tangga tani gurem dari 52,1 persen menjadi 56,2 persen. Masalah tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak milik. Masalah lain adalah kurang adanya pengakuan dan perlindungan terhadap penguasaan tanah adat yang dikuasai secara komunal dan turun-temurun.

Memburuknya Kondisi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta Terbatasnya Akses Masyarakat Miskin terhadap Sumber Daya Alam. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan sumber daya alam dan perubahan lingkungan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumber daya alam dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Peningkatan jumlah penduduk miskin juga terjadi dengan menyempitnya kepemilikan lahan dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat miskin sebagai akibat penurunan mutu lingkungan hidup terutama hutan, laut, dan daerah pertambangan.

Lemahnya Jaminan Rasa Aman. Masyarakat miskin sering menghadapi berbagai tindak kekerasan yang menyebabkan tidak terjaminnya rasa aman. Tindak kekerasan tersebut disebabkan oleh konflik sosial, ancaman terorisme, dan ancaman nonkekerasan antara lain perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obat terlarang. Berbagai tindak kekerasan dan nonkekerasan tersebut mengancam rasa aman dan menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Lemahnya Partisipasi. Salah satu penyebab kurang sesuainya rumusan kebijakan publik dengan kebutuhan masyarakat adalah lemahnya partisipasi mereka dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Rendahnya tingkat kesadaran untuk berpartisipasi dan tidak adanya akses untuk melakukan partisipasi penyebab lemahnya partisipasi masyarakat. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Anugrah Setiawan, SE., M. Ec. Dev.

Dosen Universitas Riau dan Praktisi Ekonomi Syariah

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *