Istilah judicial review merupakan istilah khas hukum tata negara Amerika Serikat yang artinya wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi (Achmad & Mulyanto, 2013: 58). Makna lain dari judicial review adalah hak uji materi atau sebuah mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga pengadilan. Sedangkan menurut Nurul Qomar, judicial review merupakan sebuah pranata hukum dimana badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditunjuk oleh konstitusi yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk bisa melakukan peninjauan kembali dengan melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk mencarikan penyelesaian yuridis. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Sri Soemantri berpendapat bahwasannya hak menguji materiil adalah sebuah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi hierarkinya, dan apakah suatu kekuasaan (verordenende acht) berhak untuk mengeluarkan peraturan tertentu.
Di Indonesia sendiri munculnya pemikiran tentang judicial review pertama kali disuarakan oleh Mohammad Yamin ketika pelaksanaan sidang BPUPKI tahun 1949 dimana beliau mengusulkan gagasan untuk membentuk sebuah mahkamah yang dapat memutuskan apakah sebuah peraturan perundang-undangan berjalan sesuai Undang-Undang Dasar, Hukum Adat, dan Syariah atau tidak. Walaupun pemikiran ini akhirnya ditolak karena alasan belum siapnya pemerintahan Indonesia kala itu, namun cukup menyadarkan kita bahwa pemikiran dari Muhammad Yamin ini menandakan sudah ada kalangan yang menginginkan adanya judicial review sebagai hal yang penting bahkan sejak Negeri ini sedang merintis pemerintahannya. Adanya judicial review dibutuhkan untuk menjamin bahwa sistem pemerintahan di sebuah negara harus seimbang dan menjunjung supremasi hukum (Nurainun Simangunsong, 2008: 7).
Dalam pembagian tugas dalam pengujian undang-undang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan sifat putusannya yang final dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945. Sedangkan Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, dimana berwenang untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Pada umumnya ada beberapa alasan yang biasanya digunakan untuk mengajukan judicial review, di antaranya sebagai berikut (Dian Rositawat, 2007: 14):
- Terdapat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau peraturan lain yang lebih tinggi;
- Terdapat peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh institusi yang tidak berwenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
- Terdapat kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan;
- Ada perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan;
- Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.
Kemudian berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pihak yang merasa dirugikan atas hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya karena berlakunya sebuah undang-undang maka bisa mengajukan permohonan judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun1945 ke Mahkamah Konstitusi dengan syarat sebagai berikut:
- Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama;
- Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
- Badan hukum publik atau privat; atau
- Lembaga negara.
Sedangkan berdasarkan Pasal 31 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, untuk permohonan judicial review peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang bisa diajukan langsung oleh pemohon atau orang yang diberi kekuasaan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung yang dibuat secara tertulis dan rangkap sesuai dengan kebutuhan dalam Bahasa Indonesia, dengan syarat pemohon sebagai berikut:
- Perorangan warga negara Indonesia;
- Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
- Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan maka mindset masyarakat pun turut berkembang dan cenderung lebih melek dan cermat terhadap produk hukum yang berlaku. Judicial review menjadi salah satu jalan bagi masyarakat atau Warga Negara Indonesia turut mengoreksi atas kemungkinan terjadinya kesalahan yang ada dalam sebuah produk hukum dengan jalan yang sah di muka hukum.
Daftar Pustaka:
Achmad dan Mulyanto. 2013. Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Yustisia Vol.2 No.1 Januari – April 2013: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Nurul Qamar. 2012. Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012.
Dian Rositawati, S.H., 2007. Mekanisme Judicial Review. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Nurainun Simangusong. 2008. Judicial Review di Indonesia: Teori Perbandingan dan Pelaksanaannya Pasca Amandemen UUD 1945. Cetakan 1. Yogyakarta: Universitas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.