Lagi-lagi Pemerintah Indonesia melalui rapat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian menetapakan untuk kembali Impor Garam. Hal ini ditengarai oleh kebutuhan industri yang meningkat. Peningkatan garam konsumsi juga dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Menurut data BPS kebutuhan garam selalu menunjukan angka peningkatan hingga 5-7 %. Persoalan ini menjadi kontraversi diberbagai kalangan baik dari petani garam sampai dengain mantan Menteri KKP, Ibu Susi Pudjiastuti. Sungguh ironi, Padahal Indonesia merupakan negara kedua yang memiliki Garis pantai terpanjang di dunia yakni > 95.000 Km. Hal ini membuktikan bahwa indonesia belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mensuplay bahan-bahan dasar seperti garam. Lalu apa persoalannya? Mengapa potensi kemaritiman yang dimiliki indonesia tidak bisa diolah dengan baik sehingga bisa menutupi kebutuhan negara? Berikut Hal-hal yang perlu diketahui mengenai Impor Garam.
Garam Konsumsi dan Garam Industri
Ada dua jenis garam yang diproduksi di Indonesia yakni Garam Konsumsi dan Garam Industri. Garam konsumsi adalah garam yang dikonsumsi bersama-sama dengan makanan, atau garam yang biasa kita gunakan sehari-hari. Kadar NaCl dalam garam konsumsi minimal 94 %. Sedangkan Garam Industri yakni Garam yang dibutuhkan sebagai bahan dasar atau Bahan baku juga bahan penolong dalam Industri. Untuk memproduksi Garam Industri harus melalui uji kelayakan dan kriteria yang dibutuhkan misalnya kadar NaClnya minimal 97 %, Kadar Ca dan Mg < 600 ppm (part per million). Ada perbedaan pandangan dari segi data yang diungkapkan Para petani Garam, Pelaku Industri, dan Kementerian terkait. Bagi Para petani lokal usaha untuk meningkatkan kualitas garam sudah mencapai stadar. Seharusnya bisa memasok kebutuhan garam negara. Namun, Bagi kalangan kementerian memacu kepada neraca garam Indonesia masih kekurangan 2,57 juta ton. Perkiraan Kebutuhan garam Indonesia Tahun 2021 yakni 4,67 juta ton sementara Produksi garam masih di angka 2,1 juta ton.
Kebutuhan Garam Industri yang Meningkat
Faktor pemicu Pemerintahan Indonesia mengimpor garam ialah meningkatnya aktifitas produksi di kalangan Industri. Melansir dari Garampedia.com, beberapa Industri yang paling banyak menggunakan garam sebagai bahan bakunya adaah di posisi pertama Industri petrokimia yang memerlukan 1,78 juta ton garam. Industri kedua yakni Pulp dan Kertas dengan angka kebutuhan 708,5 ribu ton. Dan posisi ketiga diduduki oleh Industri aneka pangan dengan kebutuhan bahan baku garam 535 ribu ton. Kemudian di posisi keempat ada Industri pengasinan ikan dengan angka 460 ribu ton garam yang di butuhkan. Beberapa industri tersebut mengalami angka peningkatan dalam produksi sehingga kebutuhan akan garam sangat diperlukan. Sehingga, Pemerintah tidak ada jalan lain selain mengimpor garam demi memenuhi kebutuhan Industri.
Masalah dan Solusi yang Tidak Menemukan Titik Temu
Impor Garam 2010-2019 (BPS April, 2020)
Negara Asal | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 |
Berat Bersih : 000 Kg | ||||||||||
Australia | 1 602 880.0 | 1 788 140.0 | 1 648 541.0 | 1 588 514.0 | 2 004 025.0 | 1 489 582.0 | 1 753 934.2 | 2 296 681.3 | 2 603 186.0 | 1 869 684.2 |
India | 454 629.8 | 1 021 513.8 | 565 731.0 | 330 750.0 | 235 736.2 | 333 731.2 | 380 505.4 | 251 590.1 | 227 925.6 | 719 550.4 |
Tiongkok1 | 20 157.1 | 180.0 | 5 980.9 | 496.0 | 24 471.8 | 37 404.1 | 4 630.1 | 269.2 | 899.7 | 568.0 |
Selandia Baru | 1 056.0 | 1 128.0 | 1 574.0 | 1 728.0 | 2 188.0 | 2 248.0 | 2 926.1 | 2 669.5 | 3 806.8 | 4 052.4 |
Singapura | 53.2 | 24 000.0 | 23.5 | 16.0 | 18.1 | 30.4 | 91.2 | 121.5 | 239.0 | 229.3 |
Jerman | 332.3 | 565.7 | 429.4 | 292.0 | 340.6 | 237.0 | 369.9 | 300.1 | 236.0 | 243.0 |
Denmark | 0.0 | 0.2 | 44.0 | 352.0 | 379.5 | 343.0 | 367.5 | 486.8 | 816.7 | 496.2 |
Lainnya | 4 234.2 | 343.1 | 682.0 | 781.7 | 1 001.5 | 473.6 | 918.6 | 704.7 | 1 967.6 | 573.8 |
Jumlah | 2 083 342.6 | 2 835 870.8 | 2 223 005.8 | 1 922 929.7 | 2 268 160.7 | 1 864 049.3 | 2 143 743.0 | 2 552 823.2 | 2 839 077.4 | 2 595 397.3 |
Sudah menjadi lagu lama Indonesia selalu mengimpor garam dan kalimat “swasembada garam” hanya gaungan angin lalu. Tercatat bahwa sejak tahun 2010 hingga sekarang Indonesia merupakan negara yang paling banyak menerima impor garam dari Australia, India, China, Selandia Baru, Singapura, Jerman, Denmark, dan negara lainnya. Bisa dibayangkan negara-negara pengimpor tersebut jauh dari potensi memiliki garis pantai yang luas, berbeda dengan Indonesia. Lalu apa persoalannya? jawabannya adalah sangat kompleks dan bukan semata-mata garis pantai menjadi keunggulan. Indonesia masih harus bekerja keras dalam :
- Meningkatkan kualitas dan kuantitas Garam
Pasokan garam nasional berasal dari produksi PT. Garam dan produksi garam rakyat. Keduanya menggunakan metode penguapan air laut oleh sinar matahari atau kerap disebut solar evaporation. PT. Garam menggunakan lahan penguapan yang lebih luas serta waktu penguapan yang lebih lama dibanding dengan produksi garam rakyat. Hal ini menimbulkan perbedaan yang signifikan dalam segi kualitas. Dalam segi kualitas, garam lokal belum dapat memenuhi persyaratan untuk beberapa sektor industri seperti CAP, farmasi dan kosmetik, pengeboran minyak, dan aneka pangan.
- Mahalnya biaya Logistik
Dalam proses pendistribusiannya, garam nasional juga memiliki kendala yaitu mahalnya biaya transportasi. Jaringan logistik dan pola distribusi garam yang kurang menguntungkan petambak garam, menyebabkan besarnya disparitas antara harga jual dari petambak dengan harga akhir bagi konsumen. Harga juga menjadi faktor penting dalam faktor ekonomi pada industri, harga bahan baku yang tinggi tidak hanya akan berdampak pada menurunnya profit perusahaan namun juga akan berdampak pada tingginya harga produk jadi yang membuat industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif.
- Produksi garam indonesia masih menggunakan peralatan konvensional
Kualitas garam rakyat yang masih diolah secara tradisional, umumnya memerlukan pengolahan kembali sebelum dijadikan garam konsumsi maupun industri. Adanya proses yang harus dilakukan berkali-kali dan hal ini juga dibatasi oleh lahan yang tidak memadai sehingga proses yang dilakukan memakan waktu yang cukup lama.
- Faktor cuaca yang kian tak menentu
salah satu faktor yang menjadi acuan tingginya angka impor garam adalah prediksi cuaca yang terjadi di tahun 2020-2021 adanya fenomena iklim la nina. fenomena iklim ini berupa peningkatan curah hujan yang berakibat pada penuruan jumlah produksi garam di tanah air. Selain itu, jika membandingkan dengan negara lain misalnya Australia. Iklim menjadi salah satu penentu kualitas garam. Tingkat humidity (kelembapan udara) di Indonesia lebih tinggi yakni sekitar 80 % dibandingkan negara Australia hanya 30%. Hal ini memungkinkan tingkat kekeringan dan kemurnian garam lebih baik untuk daerah dengan tingkat humidity yang rendah.
Ketersediaan data yang valid juga merupakan hal yang vital dalam mengukur ketercapaian swasembada. Namun pada kenyataannya, data garam masih belum terintegrasi dan berasal dari satu pintu, sehingga sering terjadi kesimpangsiuran mengenai garam nasional. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah disarankan untuk dapat menyediakan data yang representatif dengan kondisi di lapang terkait besarnya produksi garam yang diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, data stok garam di akhir tahun, kebutuhan garam berdasarkan pemanfaatannya, informasi mengenai data-data klimatologi dan meteorologi wilayah sentra garam (Dharmayanti et al., 2013). Dalam penelitian Wirjodirjo (2004) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan indonesia terhadap garam impor adalah dengan melakukan intensifikasi lahan, ekstensifikasi lahan, dan peningkatan kualitas garam rakyat.
Presiden Jokowi juga sudah mengkoar-koarkan untuk memninimalisasi impor garam demi terciptanya swasembada garam. Namun, nyatanya di Tahun 2021 ini rekor impor garam tertinggi yakni kuotanya sebanyak 3,07 juta ton. Hasilnya Petani lokal resah karena hal ini memungkinkan garam lokal tidak akan terserap secara maksimal. Data per 22 September 2020 saja ada 738.000 ton garam yang tidak terserap. Persoalan ini kerap terjadi setiap tahun yang seolah menjadi kebiasaan dan ketagihan dalam mengimpor Garam. Padahal sudah jelas persoalan yang ada tapi belum ada penanganan secara lanjut dan mendalam. Harapannya, dengan melihat siklus impor garam kian terjadi setiap tahunnya jangan sampai Indonesia akan ketagihan garam impor yang tentunya akan membahayakan nilai rupiah. Cita-cita Swasembada bisa kita terapkan asal Pemerintah, pelaku industri, dan para petani bisa bekerja sama dengan baik, menggali akar permasalahan dan menjalankan solusi-solusi terbaik.
Referensi :
PPI Brief No 11 2020 Komisi Maritim
Kompas.com
CNBC Indonesia