Plagiarisme

Berantas Tuntas Plagiarisme di Indonesia

Indonesia terdiri dari banyak keanekaragaman budaya. Negara yang dikenal sebagai negara kesatuan ini mempunyai aneka ragam kesenian. Tak heran selain terkenal akan variasi budayanya, Indonesia juga terkenal dengan masyarakat yang sangat kreatif. Bahkan tidak sedikit berbagai hasil karya anak bangsa bisa sukses dan mendunia, terutama dari bidang musik.

Pada tahun 2020, salah satu grup kebanggaan Indonesia yakni Weird Genius merilis lagu berjudul Lathi. Lagu yang menggunakan bahasa Inggris dan Jawa Ini sangat terkenal bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga hingga ke luar negeri. Mulai dari konsep, lirik lagu, hingga video musiknya terkenal sangat unik dan memiliki makna mendalam. Saking hebatnya, banyak pihak yang terkagum-kagum melihat video klip Lathi. Selain itu banyak juga musisi lokal hingga internasional mengcover lagu yang satu ini.

Selain lagu Lathi sebenarnya masih ada lagu karya anak bangsa yang mendunia. Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia, dengan segala potensi seni dan kreativitasnya, mampu ikut berkecimpung dan turut mewarnai pasar industri kreatif internasional. Kecerdasan intelektual masyarakat dalam suatu bangsa memang sangat ditentukan oleh seberapa jauh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh setiap individu dalam suatu negara. Kreativitas manusia untuk melahirkan karya-karya intelektualitas yang bermutu seperti hasil penyusunan, karya sastra yang bernilai tinggi serta apresiasi budaya yang memiliki kualitas seni yang tinggi, tidak lahir begitu saja. Kelahirannya memerlukan banyak “energi” dan tidak jarang diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang besar. Di sisi lain terdapat tantangan besar yang masih berhubungan dengan proses penciptaan suatu karya, yaitu plagiarisme.

Sesungguhnya, permasalahan tentang plagiarisme bukanlah hal yang baru di Indonesia dan bahkan di dunia. Terjadi kasus yang sempat menyorot perhatian publik yaitu plagiarisme terkait dengan video klip. Sayangnya dilakukan oleh oknum-oknum dari dalam negeri, sehingga membuat nama Indonesia tercoreng. Misalnya saja pada tahun 2020 lalu, video klip lagu terbaru dari penyanyi dangdut terkenal yaitu Via Vallen dianggap mengikuti atau plagiat dari video klip lagu penyanyi asal Korea Selatan yaitu IU. Video lagu berjudul ” Kasih Dengarkanlah Aku” memiliki konsep yang sangat mirip dengan video klip lagu “Above the Time” dari IU. Selain itu juga yang baru saja terjadi ialah masalah video klip lagu “Raja Terakhir” dari Young Lex yang sangat mirip lagi-lagi dengan lagu dari penyanyi Lay yaitu “Lit”.

Sebenarnya bisa dibilang saat ini sudah sangat sulit menciptakan sebuah karya yang benar-benar original, tapi bukan berarti plagiarisme menjadi hal yang legal. Muncul istilah ATM, dimana singkatan dari Amati, Tiru, dan Modifikasi. Hal tersebut menjadi solusi untuk menghindari plagiarisme. Terinspirasi dari karya orang lain merupakan hal yang sah-sah saja, tetapi perlu modifikasi agar menjadi suatu karya yang baru, sehingga bukan asal menjiplak.

Secara internasional, beberapa negara didunia telah bertekad untuk menanggulangi pembajakan atau pencurian di bidang karya cipta, termasuk karya ilmiah (karangan) melalui suatu konvensi internasional yang dikenal dengan Konvensi Bern tahun 1886 tentang International Convention for the Protection of Literary and Artistic Work yang secara berturut-turut diadakan revisi pada tahun 1908 di Berlin, tahun 1928 di Roma, tahun 1948 di Brussel, tahun 1967 di Stockholm dan tahun 1971 di Paris. Karya-karya yang dilindungi melalui konvensi ini adalah meliputi, karya sastera, ilmiah, artistik dalam bentuk buku, selebaran, ceramah, pidato, kotbah, segala bentuk bahan tertulis, karya drama atau drama musikal, koreografi dan hiburan dalam pertunjukan, bentuk akting yang ditulis dalam bentuk skenario, komposisi musik, gambar, lukisan, karya arsitektur, karya ukiran/pahatan, karya ilustrasi, peta, sketsa, karya plastik yang berhubungan dengan geografi, arsitektur dan ilmu pengetahuan. Selain itu, juga termasuk karya-karya terjemahan, saduran, aransemen musik dan karya-karya reproduksi sastera dan artistik serta koleksi-koleksi berbagai hasil karya. Indonesia sendiri telah ikut serta dalam konvensi ini dengan meratifikasikannya melalui Keputusan Presiden No.18 Tahun 1997. Keikutsertaan Indonesia dalam konsvensi ini sekaligus menunjukkan tekat dan komitmen Indonesia dalam penegakan hukum pelanggaran hak cipta sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pencipta (creator) dan bukan bangsa peniru.

Peraturan perundang-undangan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang plagiarisme adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana, tepatnya dalam Pasal 380 yang menentukan:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah:

  1. Barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalamsuatu hasil kesusasteraan, keilmuan, kesenian dan kerajinan atau memalsu nama atau tanda yang asli dengan maksud supaya karenanya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya olehnya ditaruh di atas atau didalamnya tadi.
  2. Barang siapa dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan ke Indonesia, buah hasil kesusasteraan, kesenian, keilmuan dan kerajinan yang di dalamnya atau di atasnya telah ditaruh nama atau tanda yang palsu atau yang nama dan tandanya yang asli telah dipalsukan seakan-akan itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi.

(2) Jika buah hasil itu kepunyaan terpidana, boleh dirampas.

Dalam persfektif peraturan perundang-undangan hak cipta yang tersebut dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, permasalahan plagiarisme tidak secara khusus mendapat pengaturan, namun demikian, undang-undang ini cukup mengatur pembatasan tentang tindakan plagiarisme sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) huruf (a) yang merumuskan secara negatif dengan menentukan “penggunaan, penganbilan, penggandaan dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatumasalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Sayangnya saat ini walaupun sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai plagiarisme, masih ada saja oknum yang melanggar. Hal tersebut menandakan sebenarnya selain tingkat pemahaman yang kurang terhadap plagiarisme, ternyata masih ada saja pihak-pihak yang nakal dan berniat curang. Untuk itu bukan hanya peraturan yang seharusnya semakin diperkuat dan diperjelas, tetapi juga perlu membangkitkan kesadaran bersama. Kesadaran bahwa sebuah karya musik itu bernilai tinggi, dan menjipak karya orang lain, sebagian apalagi seluruhnya, adalah tindakan tercela.

Jika ingin musik dihargai seperti karya ilmiah, kesadaran bersama ini mesti dibangun. Dengan demikian orang akan malu jika mejiplak karya orang lain. Mungkin tidak ada tuntutan ganti rugi atau gugatan pengadilan yang diajukan, tetapi secara moral, penjiplak akan merasa terhina jika perbuatanya ketahuan. Budaya malu inilah yang sangat kurang di bidang musik. Mereka yang diindikasikan menjiplak dengan enteng mengatakan bahwa lagu ciptaanya atau konsep video klipnya itu cuma terinspirasi bukan mencontek. Namun nyatanya belum mampu menerapkan ATM secara optimal.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Nuranti

Mahasiswa Komunikasi yang gemar menulis berbagai macam tulisan.

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *