TPST Piyungan beralamat di Dusun Ngablak Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. TPST Piyungan sudah berdiri sejak tahun 1995 dan memiliki luas tanah sekitar 10 hektar. TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) Piyungan, biasa menampung sampah buangan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Dari segi geografis lokasi TPST berada diantara perbatasan kelurahan Srimulyo dan Sitimulyo. Pada TPST tersebut terdapat 4 pembagian wilayah RT yang hampir disetiap RT nya para warganya bekerja sebagai pemulung secara turun temurun dan berkelanjutan. Selain penduduk asli Yogyakarta, TPST Piyungan sendiri dihuni oleh para pendatang. Meski mayoritas 80% nya tetap berasal dari wilayah Yogyakarta seperti Gunungkidul.
Namun 20% lainnya di huni oleh para pemulung yang berasal dari kota-kota lain diluar Yogyakarta. Para pendatang itu tiba dari berbagai daerah seperti, Magelang, Klaten, Salatiga, Kudus hingga Semarang. Bahkan ada juga yang datang dari Tuban, Bandung, Madiun, Surabaya, Medan, Pontianak hingga Flores lho.
Di dalam lingkungan TPST Piyungan sendiri terdapat dua elemen pekerja yang saling berkesinambungan satu sama lain. Elemen pertama adalah para pegawai pemerintah yang mengelola TPST Piyungan dari luar dan memiliki waktu kerja yang terstruktur. Meliputi seperti supir truk sampah pemerintah, operator jembatan timbang, admin dll. Elemen kedua, adalah para pemulung dan penadah yang bekerja di bagian dalam TPST dengan jam kerja yang tidak terikat alias bisa di kerjakan selama 24 jam.
Meski para pemulung dan penadah memiliki jam kerja yang tidak terikat namun tentu saja mereka tetap terlindungi oleh badan organisasi yang mengelola serikat kerja pemulung. Para pemulung di TPST Piyungan sendiri di bawahi oleh organisasi ke-Muhamadiyahan. Organisasi Muhamadiyah yang membawahi ratusan pemulung ini bekerja guna membantu persoalan kesehatan pemulung, lokasi tinggal hingga air bersih.
Meski tinggal di tengah-tengah tumpukan pasir yang menggunung tetapi para pemulung di sana sangat menikmati pekerjaannya dan enggan berpindah mencari jenis pekerjaan lain. Merasa bebas, aman dan bisa menghasilkan banyak pundi-pundi keuangan menjadi latar belakang menarik mengapa praktik kerja pemulung di TPST Piyungan ini bisa sampai menjadi pekerjaan turun temurun. Bagaimana sih kisah menariknya secara detail? Mari simak uraian dan hasil observasi langsung ke lapangan berikut ini!
Kisah-kisah Para Pemulung TPST Piyungan
Seolah memiliki daya tarik sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan. TPST Piyungan mampu menyedot animo para pencari kerja untuk bertaruh nasib dan mencari pundi-pundi rupiah diantara gunungan sampah. Para pencari kerja, seperti yang sudah pernah saya singgung diatas terdiri dari orang-orang yang berasal dari banyak daerah diluar Yogyakarta.
Ada yang pada awalnya memang sudah memiliki pekerjaan, ada pula yang dari awal berupaya mengadu nasib di TPST Piyungan. Dari banyaknya pemulung di TPST Piyungan yang berjumlah lebih dari 500 orang, ada dua tokoh pemulung yang menarik untuk di kupas kisah hidupnya karena sudah bekerja lama dan menetap di area Pembuangan Sampah ini lebih dari 1 dekade.
(Dok.Pribadi sudah berijin)
1. Ester Sony Novi Navitupulu
Ester Sony Novi Navitupulu yang lebih akrab disapa Pak Ester kini berusia 64 tahun dan berasal dari Medan. Sebelum bekerja di TPST Piyungan, beliau merupakan seorang pedagang yang bekerja di Jakarta. Selain menemukan pekerjaan, beliau juga berhasil mendapatkan seorang istri yang berasal dari Wonosari.
Pasca menikah, Pak Ester dan istri sama-sama membangun usaha berdagang. Namun usaha yang dirintis itu, mengalami kegagalan. Akhirnya berbekal keyakinan, Pak Ester dan istri pulang ke kampung halaman sang istri di Wonosari Gunung Kidul Yogyakarta. Dikampung halaman, ia berusaha mengadu nasib dan mencari pekerjaan. Namun akibat lahan pekerjaan yang sulit didapatkan di Gunungkidul, ia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Yogyakarta, berbekal informasi yang diberikan oleh tetangganya tentang TPST Piyungan berangkatlah beliau menjadi pemulung di sini.
Bersama sang istri, Pak Ester memulai bekerja sebagai seorang pemulung. Lebih dari 14 tahun sudah ia bekerja sebagai seorang pemulung. Pak Ester pun telah membangun rumah tinggal didepan TPST Piyungan. Ia adalah seorang yang sangat penuh semangat, bergairah dan juga loyal.
(Dok. Pribadi sudah berijin)
2. Nur Kholis
Nur Kholis atau yang lebih akrab di panggil dengan nama sapaan Mas Nur, kini berusia 30 tahun. Seorang suami dan ayah dari satu anak yang kini berusia 8 tahun. Mas Nur sendiri berasal dari daerah Bawuran, Pleret. Tidak begitu jauh dari lokasi TPST. Sebelum ia bekerja sebagai pemulung di TPST Piyungan, Mas Nur ini bekerja sebagai seorang pengrajin bambu, yang hasil kerjanya biasanya disetorkan kepada juragan.
Namun, suatu ketika ia mendapat informasi dan tawaran pekerjaan sebagai pemulung dari seorang sopir truk sampah yang biasanya mengantarkan sampah ke TPST Piyungan. Setelah berfikir masak-masak, akhirnya Mas Nur mulai memberanikan diri untuk terjun total sebagai seorang pemulung. Kini, ia sudah genap 10 tahun bekerja sebagai seorang pemulung.
Dari hasil memulungnya inilah, ia mampu menafkahi orangtua serta keluarga kecilnya. Menurut Mas Nur sendiri, pekerjaan sebagai seorang pemulung ini sangatlah menjanjikan. Sesuai dengan apa yang ia kerjakan, tanpa perlu merasa terbebani dengan adanya aturan kerja, dan yang terpenting bekerja sebagai pemulung bersifat sangat bebas.
Migrasi yang di Lakukan Menuju TPST Piyungan
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari tempat atau daerah satu ke tempat atau daerah yang lain dengan geografis yang berbeda. Migrasi atau mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya dapat dikelompokkan menjadi dua:
- Migrasi internasional, yaitu perpindahan penduduk yang dilakukan antarnegara.
- Migrasi nasional, yaitu proses perpindahan penduduk di dalam satu negara.
Menurut Todaro(2004), migrasi adalah suatu proses perpindahan sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan. Terkait dengan ulasan di atas migrasi dapat menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi sendiri dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan).
Gelombang migrasi ini juga terjadi kepada para pemulung yang akhirnya bekerja di TPST Piyungan. Mereka berduyun-duyun datang dengan mengharapkan dirinya mampu mendapat suatu penghasilan dan penghidupan yang layak. Migrasi para pencari kerja ini sudah berlangsung sejak berdirinya TPST tahun 1995. Hingga tahun 2021 ini, sebanyak lebih dari 500 pemulung telah memadati TPST Piyungan.
Kebebasan Dan Alasan Bertahan di TPST Piyungan
Dalam suatu struktur pekerjaan, adanya susunan jadwal dan perjanjian sIstem kerja pastilah ada. Sistem kerja yang mengikat, biasanya terjadi dihampir seluruh lini kerja di Indonesia. Namun, berbeda halnya dengan yang terjadi pada para pemulung di TPST Piyungan, mereka tidak terikat aturan dan jam kerja.
Mereka dapat bekerja selama 24 jam penuh dalam sehari jika ingin mendapatkan penghasilan yang berlebih, atau bahkan hanya bekerja selama 3-6 jam sehari sesuai kemauan mereka. Rasa bebas yang menjadi moto kerja di TPST Piyungan, membuat para pemulung seolah betah. Apalagi dengan pendapatan yang lebih dari cukup, tidak hanya itu saja. Menurut penuturan narasumber, ia dan para pemulung lain bisa mendapatkan barang-barang diluar barang yang harus mereka setorkan kepada pengepul yang hanya membutuhkan plastik, botol bekas atau kertas dan kardus.
Barang lain yang para pemulung bisa dapatkan adalah seperti radio, onderdil motor atau alat elektronik lain yang kondisinya masih bisa mereka service dan pakai ulang. Kenikmatan dan kemudahan-kemudahan inilah yang seolah mendorong para pemulung TPST Piyungan untuk selalu bertahan di lingkungan TPST. Bahkan hingga tua, menikah dan mengajak para keluarga lainnya untuk menjadi pemulung.