Menurut Frederick Bart, suku merupakan himpunan manusia yang memiliki/atau mempunyai kesamaan dari segi ras, agama, asal-usul bangsa, yang juga sama-sama terikat di dalam nilai kebudayaan tertentu. Pada era ini, banyak suku yang masih misterius dan belum diketahui keberadaannya, bahkan ada yang dipastikan sudah hilang dari peradaban.
Namun baru-baru ini, ada salah satu suku misterius yang timbul ke permukaan, yaitu suku Korubo yang mendiami hutan Amazon. Suku Korubo atau juga dikenal sebagai suku Dslala, merupakan penduduk asli Brazil yang tinggal di bagian bawah Vale do Javari di Cekungan Amazon bagian Barat. Mereka menamakan kelompoknya dengan sebutan ‘Dslala’ yang dalam bahasa Portugis disebut sebagai cacateiros (clubbers).
Nama
Menurut Pedro Coelho yang merupakan seorang peneliti, penamaan suku Korubo diberikan oleh Matis, yaitu penduduk asli Matis yang berada di bagian Amazon, Brazil. Seorang pria Matis mengungkapkan arti dari kata tersebut, “Koru means to be covered in sand, grey, dirtied by clay. The Korubo plaster clay on their skin to keep the mosquitos off, which is why they are dirty, covered in koru” (Arisi 2007: 108).
Pada tahun 1999, Philippe Erikson yang merupakan seorang professor Harvard mengajukan hipotesis, bahwa Korubo adalah sebutan umum untuk ‘musuh’.
Bahasa
Bahasa untuk suku Korubo belum diklasifikasikan, tetapi mungkin bahasa suku ini masuk ke dalam bahasa Pano, yang di mana bahasa mereka cukup mirip dengan bahasa yang digunakan oleh Matis dan Matsés (Mayoruna), penduduk ini tinggal cukup berdekatan dengan suku Korubo, dan bahasa mereka dikenal sebagai bahasa Pano.
Karena kedekatan linguistik dan geografi, sebagian besar kelompok memahami, dan berbicara menggunakan bahasa yang sama seperti bahasa tetangga, yaitu Matis.
Klasifikasi bahasa yang sama dengan kelompok Matis dibuktikan ketika salah satu suku Korubo berbicara dengan salah satu anggota FPEVJ (Front Perlindungan Lingkungan Etno Lembah Javari). Untuk mendapatkan informasi, dan pemahaman yang lebih baik ketika berbicara dengan suku Korubo, anggota FPEVJ menggunakan suku Matis sebagai penerjemah dan mediator kegiatan bersama dengan suku Korubo. Suku Korubo juga memahami bahasa Matsés (Mayoruna), namun tidak sebaik Matis.
Beberapa orang dari kelompok suku Korubo yang sering berhubungan dengan anggota Front bisa memahami, dan sedikit bisa berbicara dalam bahasa Portugis. Meskipun memiliki pengetahuan yang memadai terkait bahasa tersebut, suku Korubo menghindari untuk menggunakan bahasa Portugis, dan lebih menggunakan bahasa Matis (atau Matis itu sendiri yang menjadi penerjemah) untuk berkomunikasi dengan anggota Front.
Lokasi
Suku Korubo mendiami wilayah yang mengelilingi pertemuan sungai Ituí dan Itaquaí. Selain suku Korubo yang terisolir, ada tujuh kelompok suku lainnya yang juga mendiami Vale do Javari IL. Di mana ke tujuh suku tersebut, telah menjalin hubungan kontak dengan masyarakat non-pribumi di sekitarnya; Suku Kanamari, Mates, Kulina Pano, Kulina Arawá, Marubo, Matsés (Mayoruna), dan kelompok kecil yang bernama Tsohom Djapá.
Penting untuk ditekankan, bahwa wilayah yang berada di Vale do Javari IL dan wilayah yang dikeringkan oleh sungai Manu dan Perus di Peru, merupakan lokasi dengan jumlah masyarakat adat yang terisolasi tertinggi di dunia.
Populasi
Menurut sensus yang diadakan oleh FPEVJ pada tahun 2007, ada 26 orang suku Korubo. Namun pada akhir tahun 2007, ada seorang anak yang meninggal karena penyakit bawaan dan menyisakan 25 populasi. Selama dekade terakhir, populasi dari suku Korubo telah mengalami peningkatan yang cukup besar. Berdasarkan sensus yang dilakukan, sejak terjadinya kontak dengan dunia luar mereka mengalami peningkatan sekitar 50% dalam ukuran grup. Populasi yang paling dominan adalah laki-laki, sehingga membuat pernikahan menjadi sulit.
Sekarang diketahui ada 200 populasi yang termasuk dalam suku Korubo, tidak termasuk suku yang memisahkan diri dari suku utama.
Penyakit yang Pernah Menjangkit
Pada awal tahun 2008, suku Korubo terserang berbagai macam penyakit, seperti Malaria. Penyakit ini terjadi di akibatkan kontak dengan dunia luar. Pada bulan Mei 2008, gugus tugas dari FUNASA (Yayasan Kesehatan Nasional Brazil) bekerja sama dengan angkatan bersenjata dan berbagai lembaga yang memberikan dukungan perawatan kesehatan mengunjungi kelompok tersebut, dengan tujuan untuk menilai penyakit yang paling umum di antara mereka dan memberikan perawatan kepada seluruh populasi.
Satgas menghitung ada empat kasus Hepatitis C diantara suku Korubo, bersamaan dengan dua orang yang tertular penyakit Hepatitis B telah memperoleh imunisasi alami, sementara lebih dari 50% belum di imunisasi oleh vaksin antivirus. Sumber infeksi yang terjadi pada suku Korubo, paling mungkin berasal dari Matis, mengingat yang terakhir kali mengunjungi kota Atalaia do Norte dan Benjamin Constant, daerah dengan konsentrasi penyakit virus seperti Hepatitis B (VHB) dan C (VHC) dan virus HIV.
Hal ini diperparah oleh fakta bahwa virus Hepatitis A, B, dan C semakin mempengaruhi Matis yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus yang sangat tinggi didesa-desa. Telah disebutkan bahwa Matis pada umumnya sangat dihormati oleh Korubo, hal ini dimanfaatkan Matis ketika selesai menyelesaikan perjalanan ke kota-kota terdekat, mereka bermalam di suku Korubo.
Terbunuhnya Petugas Sensus
Suku Korubo diketahui pertama kali oleh penjelajah yang sedang menelusuri lembah bagian Barat, dan kemudian pada tahun 1972 pemerintah mulai memberikan perhatiannya pada suku ini. Hal ini dibuktikan dengan tujuh pekerja sensus penduduk yang berusaha untuk mendekati suku ini, namun ketika mendekati suku Korubo, mereka malah dibunuh.
Saat ini hubungan suku Korubo dengan pemerintah setempat telah berjalan dami sejak tahun 1997, sayangnya masih ada sejumlah kelompok yang memisahkan diri dari suku utama mereka, dan lebih memilih bersembunyi di hutan.