Gelaran tiga tahunan program PISA akan diadakan pada tahun 2021 ini, setelah 3 tahun sebelumnya yaitu tahun 2018 Indonesia berada pada urutan 74 dari 79 negara yang mengikuti program ini, hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489.
Posisi dan skor Indonesia pada putaran tahun 2018 menunjukkan hasil yang menurun dibanding putaran sebelumnya (2015, 2012, 2009) dan peringkat Indonesia tak juga beranjak dari urutan 10 terbawah. Beberapa temuan menarik dari hasil penelitian ini atas capaian PISA 2018, di antaranya adalah bahwa Indonesia berada pada kuadran low performance dengan high equity. Kemudian, ditemukan juga bahwa gender gap in performance ketimpangan performa belajar antara perempuan dan laki-laki tidak besar. Siswa perempuan lebih baik dari siswa laki-laki dalam semua bidang di PISA.
Sebelum melanjutkan bahasan ini, tidak ada salahnya kita mundur ke tahun 2000, Indonesia pertama kali ikut dalam PISA pada tahun 2000 dengan anggota saat itu 41 negara. Indonesia menempati peringkat 39 dengan kemampuan membaca dengan skor 371, peringkat 39 untuk kemampuan matematika dengan skor 367 dan peringkat 38 untuk sains dengan skor 393. Sementara rata-rata internasional yakni 500. Dan putaran survey tahun 2018 negara yang ikut berpartisipasi jumlahnya bertambah menjadi 79 negara.
PISA (Programme for International Students Assessment – Program Penilaian Pelajar Internasional) yang digagas oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development – Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) melaksanakan survey dan mengembangkan studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains pada siswa sekolah berusia 15 tahun. Hasilnya dapat dijadikan bahan evaluasi dan mengukur tingkat kelemahan dan kekuatan siswa beserta faktor-faktor yang memengaruhinya, penilaiannya dirancang oleh para ahli pendidikan dari seluruh dunia, siswa-siswa yang berpartisipasi dalam PISA dipilih secara acak dari seluruh anak yang berusia 15 tahun dalam kelas tujuh atau lebih, dari sekolah yang terpilih.
Salah satu alasan utama Indonesia ikut serta dalam PISA adalah keinginan memahami prestasi siswa di Indonesia dibandingkan dengan standar internasional dan negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Pemahaman ini akan dimanfaatkan untuk mengenali aspek-aspek yang berkaitan dengan prestasi siswa dan secara efektif meningkatkannya. Dilain sisi dengan PISA diharapkan hasilnya apapun nilai/skor yang diperoleh akan dapat membantu dalam membuat kebijakan dan memutuskan bagaimana memperbaiki kualitas sistem pendidikan dan mendapat suatu gambaran jaminan yang inklusif dan setara menuju pendidikan sepanjang hayat untuk semua.
Seluruh negara peserta PISA berkomitmen mencapai target utama SDGs Pendidikan (Sustainable Development Goals) yaitu pendidikan mutlak merupakan hak asasi manusia yang mendasar, dengan harapan semua anak dan orang muda mencapai sekurang-kurangnya level kemahiran minimum dalam membaca dan matematika pada tahun 2030. Di Indonesia, hal ini berarti menjamin seluruh warga negara muda memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan untuk meraih potensinya secara optimal, memberikan sumbangsih kepada dunia yang kian terhubung, serta dapat menjalani kehidupan yang memberikan kepuasan batin. Dengan demikian para siswa dapat memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan di masa mendatang sebagaimana ditetapkan dalam tujuan SDGs.
Apa saja yang diukur oleh PISA?
Masing-masing putaran PISA mengukur kemampuan siswa dalam bidang membaca, matematika, dan sains. Dalam setiap putaran PISA, salah satu bidang menjadi fokus utama. Untuk tahun gelaran 2018 yang baru saja dirilis fokusnya pada kemampuan literasi membaca. Hasilnya menunjukkan bahwa 70% siswa Indonesia tidak mampu mencapai level 2 pada framework PISA, hasil ini tentunya sangat mengkhawatirkan, mengingat dari data yang ada dan mengacu pada angka rerata dari 79 negara peserta PISA hanya sekitar 23% siswa yang tidak mampu menguasai kemampuan membaca level 2.
Mengapa ini penting untuk menjadi konsen dari pemangku kepentingan mengingat tingkat literasi yang rendah ini menjadi masalah mendasar dan memiliki dampak sangat luas bagi kemajuan bangsa karena sebagian besar keterampilan dan pengetahuan yang lebih mutakhir diperoleh melalui kegiatan membaca. Masyarakat pembaca yang terampil – mampu membaca, memahami, mengevaluasi, dan menyaring informasi – akan dapat menuai manfaat sebesar-besarnya dari sumber bacaan.
Literasi rendah akan berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas negara, yaitu jumlah output yang dihasilkan negara tersebut dalam suatu periode dan produktivitas yang rendah akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita, yaitu tingkat pendapatan semua orang di sebuah negara jika terdistribusi secara merata. Literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Pertanyaan pun muncul kemudian jika dikaitkan dengan program yang sudah berjalan selama ini (sejak tahun 2016) yang berhubungan dengan upaya meningkatkan literasi siswa didik melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan turunan-turunannya seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Masyarakat (GLM) dan Gerakan Literasi Bangsa (GLB), lantas memunculkan hipotesis apakah ada korelasi GTS, GLM, GLB dengan rendahnya skor PISA tahun 2018? Memang perlu penelitian dan pembahasan lanjutan untuk dapat menjawabnya.
Sejak tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional untuk mengoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang dikelola unit-unit kerja terkait. Gerakan Literasi Masyarakat, misalnya, sudah lama dikembangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas), sebagai tindak lanjut dari program pemberantasan buta aksara yang mendapatkan penghargaan UNESCO pada tahun 2012 (angka melek aksara sebesar 96,51%). Sejak tahun 2015 Ditjen PAUD Dikmas juga menggerakkan literasi keluarga dalam rangka pemberdayaan keluarga meningkatkan minat baca anak.
Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal. Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis.
Sumber : https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/tentang-gln/
Strategi Kemendikbud Menghadapi PISA 2021
Anggota Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian mendorong Kemendikbud membentuk tim untuk menindaklanjuti hasil penilaian PISA 2018 dengan mengintegrasikan kemampuan-kemampuan dasar yang diukur dalam PISA (membaca, matematika, dan sains) ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia dan membuat target pencapaian skor PISA untuk tahun 2021 dan 2024 dengan langkah yang konkret untuk mencapainya. Kita cukup prihatin dengan hasil nilai PISA 2018 yang mengalami penurunan dibanding tahun 2015, begitu juga dengan posisi yang tidak bernajak dari 10 terendah negara peserta lainnya.
Kemendikbud merespon tanggapan, dorongan dan masukan-masukan dari berbagai sumber, paling tidak Mas Menteri Nadiem Makarim telah menyiapkan beberapa strategi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengacu pada penilaian PISA 2021 dapat mencapai target memperbaiki dan meningkatkan kompetensi siswa didik yang dijadikan target pesertanya.
Lima strategi yang disiapkan oleh Mas Menteri diantaranya adalah : 1). mengubah standar penilaian sendiri yang dilakukan dari Ujian Nasional (UN) menjadi ‘assesment’ kompentensi minimum yang terinspirasi PISA dan soal-soalnya pun melekat dengan PISA; 2). hal ke dua melakukan transformasi kepemimpinan sekolah; 3). meningkatkan kualitas pendidikan profesi guru (PPG) agar dapat mencetak guru yang berkualitas baik yang memiliki misi menghasilkan siswa terbaik; 4). Ke empat mentransformasikan pengajaran yang sesuai tingkat kemampuan siswa; 5). Meningkatkan upaya perubahan (transformasi) tidak hanya di internal Kemendikbud saja, tetapi juga akan dilakukan dengan daerah dan berbagai organisasi penggerak seperti perusahaan yang punya pasion di pendidikan, start up-start up di pendidikan dan partisipasi masyarakat lainnya.
Untuk itu mari kita tunggu pelaksanaan “penghitungan” PISA putaran 2021 yang akan datang ini, semua telah dipersiapkan baik unsur penunjang, strategi, program yang sudah dibuat dan hampir dapat dikatakan bahwa konkkretnya ke lima strategi Mas Menteri ini sudah berjalan dan itu sudah diulas dalam tulisan saya sebelumnya.
Gerakan literasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi sosial, pegiat literasi, orang tua, dan masyarakat. Oleh karena itu, pelibatan publik dalam setiap kegiatan literasi menjadi sangat penting untuk memastikan dampak positif dari gerakan peningkatan daya saing bangsa.
Mari kita kawal dan sukseskan upaya meningkatkan literasi anak bangsa ini……..siapkah Anda berpartisipasi?