Swasembada menjadi cita-cita suatu bangsa. Swasembada merupakan kondisi dimana suatu negara mampu menyediakan pangan untuk penduduknya.
Menurut ketetapan FAO tahun 1999 yang dilansir dari laman Kementan, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia meskipun persentasenya masih kalah jika dibandingkan sektor minyak dan gas.
Peran penting pertanian tercerminkan dari sumbangsih yang nyata dalam menyediakan pangan dan menyerap tenaga kerja. Diakui atau tidak, pertanian mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Keberhasilan terbesar dari pembangunan pertanian Indonesia tercatat dari pernah diraihnya swasembada beras pertama pada tahun 1984 melalui program peningkatan produksi pangan.
Prestasi ini lantas membawa Presiden yang menjabat kala itu, yakni Soeharto mendapatkan penghargaan dan bahkan diundang untuk memberikan pidato di sidang PBB.
Sebagai negara berkembang, Indonesia dinilai termasuk negara paling berhasil dalam menyediakan pangan untuk penduduknya dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.
Swasembada di Era Revolusi Hijau
Keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras pada saat itu merupakan buntut digaungkannya sistem usaha tani bernama “Revolusi Hijau”.
Revolusi hijau merupakan usaha untuk mengembangkan teknologi pertanian agar terjadi peningkatan produktivitas dalam hal pangan yang didorong oleh pertumbuhan angka penduduk.
Pada revolusi hijau, pertanian yang tadinya bersifat tradisional akan diubah menjadi pertanian dengan sistem yang menggunakan teknologi terbaru supaya bisa optimal.
Revolusi hijau identik dengan penemuan varietas unggul tanaman serelia unggul (padi dan gandum) yang berumur pendek namun memiliki tingkat produktivitas yang tinggi.
Dalam budidayanya, varietas unggul tersebut haruslah diimbangi dengan adanya pemberian input produksi yang memadai berupa sarana dan prasarana seperti pupuk kimia, irigasi, dan pestisida agar tercapai hasil produksi yang maksimal untuk pangan dunia.
Atas temuan itu, negara-negara di seluruh dunia kemudian berlomba-lomba untuk mengimplementasikan teknologi revolusi hijau dengan membangun sarana dan prasarana yang memadai seperti saluran irigasi, bendungan, pabrik pupuk, dan pabrik obat-obatan pemberantas hama tumbuhan.
Gaung Revolusi Hijau di Indonesia
Indonesia sendiri menggaungkan revolusi hijau dengan melakukan kebijakan modernisasi pertanian melalui penerapan program Panca Usaha Tani dan Sapta Usaha Tani.
Panca usaha tani meliputi usaha-usaha pengelolaan yang baik meliputi (1) penggunaan bibit unggul, (2) pengolahan tanah yang baik, (3) pemupukan yang benar, (4) pemberian pengairan atau irigasi, dan (5) pengendalian hama penyakit tumbuhan.
Panca usaha tani tesebut kemudian dikembangkan lagi oleh pemerintah melalui penambahan kegiatan off farm, yakni (6) penanganan pascapanen dan (7) pemasaran hasil pertanian.
Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus
Program usaha tani tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan program Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus. Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus merupakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk meningkatkan swasembada pangan nasional.
Perbedaan antara Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus adalah terletak pada pola intensifikasi dan kelembagaannya dengan uraian sebagai berikut:
1. Bimas (Bimbingan Massal)
Bimas merupakan kegiatan penyuluhan berupa bimbingan bersama dari intansi dan lembaga pemerintah/swasta secara massal kepada petani yang dimulai sejak 1965.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi melalui penerapan panca usaha tani dan pemberian paket sarana produksi.
2. Inmas (Intensifikasi Massal)
Inmas merupakan program penyempurnaan dari Bimas melalui intensifikasi yang dilaksanakan dengan cara pemberian kredit usaha kepada petani sebagai tindak lanjut untuk peserta Bimas.
Program Inmas memberikan bimbingan yang diberikan kepada petani mencakup kemudahan untuk melakukan pinjaman ke Bank agar dapat mengembangkan pertaniannya sehingga petani turut berpasrtisipasi dalam revolusi hijau. Program ini mulai dikenalkan pada tahun 1967-1973.
3. Insus (Intensifikasi Khusus)
Insus merupakan implementasi dari program Bimas dengan melibatkan petani sehamparan secara berkelompok untuk pemanfaatan potensi lahan sawah, teknologi, daya, dan dana secara optimal. Pada program Insus ini, ditetapkan penyaluran pupuk melalui KUD sehingga petani diharapkan tidak bekerja secara mandiri lagi akan tetapi sudah tergabung bersama kelompok tani agar supaya lebih terorganisir. Program ini diperkenalkan pada tahun 1973-1987.
4. Supra Insus
Supra Insus merupakan perbaikan dari program Insus yang bertujuan untuk mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai melalui program Bimas pada tahun 1984.
Program ini dikenal sebagai program rekayasa sosial dan ekonomi dalam penyelenggaraan intensifikasi pertanian yang didasarkan pada aspek kerja sama antar kelompok tani pada satu WKPP (Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian). Keberhasilan program ini ditentukan oleh tiga unsur pengelolaan yakni pengelolaan irigasi, pengelolaan penyuluhan, dan pengelolaan kelompok tani.
Penyempurnaan Panca Usaha Tani dan Sapta Usaha Tani
Seperti yang diketahui bahwa Bimas merupakan program pertama yang menerapkan panca usaha tani atau intensifikasi. Panca usaha tani kemudian berkembang menjadi sapta usaha tani, dan kemudian menjadi dasa usaha tani.
Melalui program Bimas, pemerintah melakukan penyuluhan pertanian dan pemberian kredit modal kepada para petani dengan nama program Inmas yang merupakan penyempurnaan dari Bimas.
Bimas tidak menyasar petani sebagai individu, akan tetapi lebih ditujukan ke kelompok petani yang dikenal dengan nama program Insus. Kelompok petani ini menjadi objek penyuluhan pertanian mengenai bagaimana cara bertani yang modern dan pemberian subsidi pupuk dengan melalui program Supra Insus.
Kelompok petani tersebut selain dilatih untuk bertani secara lebih modern, mereka juga diberi modal dan subsidi untuk melakukan kegiatan bertani mereka dan program Bimas membuahkan hasil berupa tercapainya swasembada beras pada tahun 1984.
Lika Liku Tercapainya Swasembada
Swasembada tentunya menjadi cita-cita yang ingin dicapai dan diwujudkan oleh setiap negara karena ini menyangkut pangan bagi penduduk. Namun dalam upaya mewujudkannya, tidaklah mudah dan cepat.
Terbukti dengan swasembada pada saat itu baru dicapai pada tahun 1984 atau 19 tahun setelah dimulainya program intensifikasi oleh pemerintah melalui program Bimas di tahun 1965.
Pemerintahan pada masa itu terus berupaya memperbaiki dan menyempurnakan program-program yang telah dijalankan. Panca usaha tani dan sapta usaha tani disempurnakan menjadi dasa usaha tani yang meliputi diversifikasi usaha tani, mekanisasi pertanian, dan permodalan.
Penyempurnaan panca usaha tani sapta usaha tani melalui dasa usaha tani ini menjadi langkah kongkret yang diambil guna mempertahankan swasembada pada tahun 1984.
Akan tetapi, program-program tersebut yang merupakan implementasi dari revolusi hijau kemudian disadari lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Revolusi hijau yang berhasil dalam meningkatkan produksi pangan dipandang tidak ramah terhadap lingkungan. Dampak negatif yang terjadi tidaklah main-main.
Kerusakan lingkungan yang mengancam kelangsungan kehidupan di bumi, marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidakmandirian petani, dan ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat adalah dampaknya.
Padahal, dengan adanya program penyempurnaan dari bimas seperti adanya bantuan pemberian kredit usaha tani dan subsidi pupuk seharusnya memberikan kesejahteraan bagi para petani.
Maraknya penggunaan bahan kimia disinyalir telah menimbulkan kerusakan lingkungan baik terhadap tanah, tumbuhan, maupun hewan. Ketergantungan pada pupuk kimia menunjukkan bahwa tanaman yang diusahakan petani seperti tidak mampu tumbuh dan berproduksi bila tidak diberi pupuk kimia sehingga muncul keharusan membeli pestisida maupun herbisida.
Apabila program revolusi hijau terus dilanjutkan, akan menyebabkan degradasi lahan secara masif. Akibatnya, sumber daya lahan pertanian dapat terancam keberadaannya sehingga revolusi hijau kemudian dicap sebagai sistem usaha tani yang tidak ramah lingkungan.
Gagalnya revolusi hijau ini memicu perubahan pada sistem usaha tani. Sistem usaha tani yang tadinya bersifat degrading while using berubah menjadi sistem usaha tani yang bersifat conserving while using.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor swasembada beras hanya terjadi satu kali pada masa itu meskipun telah mengupayakan berbagai bentuk program-program pertanian.
Kesimpulan
Pencapaian swasembada beras kala itu dapat dikatakan sebagai prestasi yang bombastis mengingat Indonesia adalah negara berkembang. Tentunya harapan untuk dapat mengulangi hal yang serupa akan terus ada dan terus diupayakan oleh Pemerintah.
Berkaca pada swasembada beras 1984, perlu waktu yang tidak sebentar dan perlu upaya yang tidak hanya satu. Lebih lanjut, perlu juga mempertimbangkan faktor lingkungan agar nantinya upaya atau program yang dijalankan dapat berkelanjutan.