Pengunduran diri konsekuensinya berbeda- beda bergantung pada tipe perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Pertama- tama, kami hendak jelaskan lebih dulu perjanjian kerja buat waktu tidak tertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(“ PKWTT”)
Pengunduran diri selaku salah satu alasan terbentuknya pemutusan hubungan kerja(“ PHK”) diatur dalam Pasal 81 angka 42 Undang- Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja(“ UU Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i Undang- Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“ UU 13/ 2003”) yang berbunyi:
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
- mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
- tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
- tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
Sehingga, yang diartikan mengundurkan diri pada dasarnya merupakan yang dilakukan atas keinginan sendiri.
Ada pula yang jadi hak karyawan bila terjadi PHK karena alasan pengunduran diri, berhak atas uang penggantian hak dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(“ PKWT”)
Bila pekerja dengan PKWT resign saat sebelum masa perjanjian kerja habis maka berlaku syarat Pasal 62 UU Ketenagakerjaan:
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Maka, apabila pekerja resign wajib membayar ganti rugi sejumlah upah hingga batasan waktu berakhirnya jangka waktu kontrak.
Jika Dituntut Resign
Menyambung permasalahan diatas, sebab pengunduran diri yang dilakukan nampak dituntut oleh perusahaan dan tidak didasarkan atas keinginan Kamu sendiri, maka kami berpendapat Anda harus bisa meyakinkan kalau pesan pengunduran diri yang terbuat itu atas dasar paksaan. Kalau dengan terdapatnya surat pengunduran diri, hingga surat tersebut dikira legal, sejauh tidak bisa dibuktikan sebaliknya.
Maksudnya, pekerja wajib bisa meyakinkan adanya“ paksaan” dalam penandatanganan surat pengunduran diri tersebut. Sehingga apabila teruji adanya paksaan, sehingga surat tersebut bisa dimintakan pembatalannya serta pekerja dapat mengklaim PHK sepihak tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial(“ PHI”).
Untuk memperjuangkan hak- hak Kamu, termasuk honor yang belum dibayarkan, Kamu bisa menggugat perusahaan ke PHI, pastinya dengan terlebih dulu mengupayakan negosiasi bipartit secara musyawarah untuk menggapai mufakat.
Menurut hemat kami gugatan yang diajukan yakni gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja, ialah merupakan perselisihan yang timbul sebab tidak terdapatnya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran ikatan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Menurut Juanda Pangaribuan, dalam bukunya Seluk Beluk Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial( hal. 232), jika sengketa menimpa perselisihan pemutusan hubungan kerja, fakta yang harus dikemukakan oleh penggugat yakni:
- kapan hubungan kerja dimulai;
- kapan hubungan kerja berakhir;
- siapa yang mengakhiri hubungan kerja;
- apa alasan pengakhiran hubungan kerja;
- bagaimana cara pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja;
- berapa gaji per bulan;
- tunjangan apa saja yang diterima;
- status hubungan kerja (kontrak atau permanen).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Referensi:
Juanda Pangaribuan. Seluk Beluk Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial. Jakarta: MISI, 2017.