Sumber: medium.com
Kehidupan yang saat ini kita jalani memberikan banyak kesempatan untuk belajar mengenai berbagai macam hal. Mulai dari yang sederhana hingga tersulit, semuanya dapat dipelajari. Namun, ada salah satu hal menarik yang dapat kita ketahui, yakni the paradox of tolerance.
Mungkin sebagian dari kita masih sedikit asing mendengar istilah yang satu ini. Dicetuskan oleh salah satu filsuf terkemuka dunia, yaitu Karl Popper, the paradox of tolerance menekankan pentingnya membatasi sikap toleransi dalam kehidupan masyarakat terhadap kaum intoleran.
Masih belum terbayang apa maksud dari pernyataan tersebut? Mari kita bahas, yuk!
Apa Itu Paradoks?
Sumber: thecomicstrips.com
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai the paradox of tolerance, apakah kita tahu makna dari paradoks itu sendiri? Apa yang menjadikannya ada dan mengapa hal tersebut hadir di tengah-tengah kehidupan kita?
Secara umum, paradoks (atau paradoksal) merupakan sebuah pendapat terhadap sesuatu hal yang berbeda, bahkan bertentangan dengan keyakinan orang-orang pada umumnya, akan tetapi pendapat tersebut mempunyai kebenaran makna yang dapat dibuktikan secara nyata.
Pada dasarnya, paradoks bisa diartikan sebagai sudut pandang seseorang yang mampu melihat “sisi” yang dianggap tidak masuk akal bahkan negatif dari suatu peristiwa. Sebuah paradoks juga mampu memberikan makna hidup yang ternyata mempunyai nilai lebih mendalam.
Mari kita ambil contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat ini, fasilitas PayLater (peminjaman biaya oleh dompet digital) terhadap penggunanya memudahkan orang-orang membeli keperluan yang ingin dibeli dengan jumlah nominal uang tertentu.
Jika dilihat dari pandangan orang-orang pada umumnya, penggunaan fasilitas PayLater dari dompet digital memunculkan sikap konsumerisme dan membiasakan diri untuk melakukan pembayaran secara kredit. Tentu saja, aktivitas tersebut dianggap negatif, bukan?
Namun, lain halnya jika “sisi” negatif tersebut dilihat oleh pihak-pihak tertentu. Ketika menggunakan PayLater, mereka jauh lebih bisa mengontrol keuangan saat berbelanja secara online. Biasanya, maksimal saldo yang disediakan oleh PayLater sifatnya lebih terbatas.
Melanjutkan contoh di atas, si “pihak-pihak tertentu” ini bisa saja mengeluarkan biaya hingga Rp 10 juta/bulan untuk belanja online jika menggunakan dana pribadi. Dikarenakan mereka mempunyai dompet digital dengan batas maksimum transaksi Rp 2 juta/bulan, mereka bisa memangkas pengeluaran bulanan karena mengandalkan PayLater karena dinilai lebih praktis dan tidak perlu melakukan top-up saldo lagi.
Dari contoh sederhana tersebut kita dapat melihat sebuah paradok dari kasus penggunaan fasilitas PayLater. Apa yang dirasa sebagai aktivitas negatif, justru mampu membantu dan memberikan dampak positif kepada pihak-pihak tertentu. Bukan saja sekedar opini, akan tetapi “pendapat yang bertentangan” tersebut dapat terbukti secara nyata.
Teori Pendukung The Paradox of Tolerance
Sumber: thewoodwardpost.com
Dalam sebuah jurnal yang berjudul “Conceptualising Tolerance: Paradoxes of Tolerance and Intolerance in Contemporary Britain” karya Ade Kearns dan Jon Bannister terkait dengan toleransi dan intoleransi pada kaum minoritas di Britania Raya.
Pada kesimpulan yang diutarakan oleh Kearns dan Bannister, mengambil sedikit kutipan dari buku karya Deborah Stone yang berjudul “Policy Paradox” (kebijakan paradoks) bahwa di Britania Raya (Inggris), kebijakan toleransi secara publik yang ditetapkan justru memberikan sebuah polemik, hal-hal yang tidak terduga, bahkan merugikan pihak-pihak tertentu.
Toleransi yang diciptakan dalam kebijakan tersebut merangkul semua golongan, mulai dari orang-orang disabilitas hingga mempunyai orientasi seksual seperti gay, lesbian, dan biseksual. Bahkan, kebijakan tersebut menjadikan Britania Raya dikenal sebagai Tolerant Britain (Inggris yang toleran).
Padahal, kebijakan yang sudah diciptakan sedemikian rupa bertujuan untuk menghadirkan toleransi objektif (tanpa melihat dari aspek-aspek tertentu, sehingga semua anggota masyarakat disamaratakan). Namun, ternyata, kebijakan yang dianggap “mampu memberikan hasil terbaik” merupakan klaim pribadi dari pemerintahan yang seakan-akan menjadikan kebijakan tersebut adalah cara terbaik.
Namun, ada sebuah fakta mengejutkan terkait kebijakan ini dan berhubungan dengan kaum minoritas. Ternyata, kebijakan ini dianggap “terlalu toleran” karena menyamaratakan semua anggota masyarakat. Salah satu kejadian yang terjadi adalah seorang hakim yang melakukan pengaduan terkait laporan terhadap badan pendidikan lokal karena salah satu anggota di sana yang beragama muslim melakukan kritik kepada kepala sekolah karena bersikap rasis.
Di sisi lain, ternyata hal yang dilakukan seperti contoh kasus di atas dipandang positif karena terdapat penegasan terkait sikap intoleran seseorang terhadap suatu hal yang dianggap bertentangan. Tentu saja, biasanya hal-hal seperti ini dikaitkan dengan kelompok sosial tertentu yang menjadikan mereka berbeda dari yang lainnya.
Poin-Poin Utama The Paradox of Tolerance
Sumber: rall.com
Toleransi adalah sebuah sikap yang menjadikan seseorang saling menghargai dan menghormati satu sama lain, meskipun mempunyai banyak perbedaan yang bisa saja bertentangan dengan diri kita, salah satunya adalah perbedaan pola pikir dan sudut pandang.
Namun, Popper menyatakan pendapatnya terkait the paradox of tolerance bahwa sikap toleransi harus diberi batasan tertentu, sehingga tidak semua hal dapat kita toleransi keberadaannya. Lalu, apa saja poin-poin yang ditekankan terkait hal ini?
1. Menyikapi Sikap Kaum Intoleran
Dalam buku karya Karl Popper berjudul “The Open Society and Its Enemies” menyatakan bahwa kemampuan toleransi pada seseorang yang toleran dapat hilang dan tergerus oleh orang-orang yang intoleran jika sikap mereka selalu ditoleransi.
Maksudnya seperti ini, toleransi memang tidak ada batasannya. Semua orang berhak untuk mempunyai ideologi yang berbeda-beda. Namun, jika “kaum intoleran” ini terus menerus dimaklumi melalui toleransi, dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif.
Terlebih lagi jika kaum intoleran ini mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Takutnya, pemikiran kaum intoleran tersebut dapat menjadikan akal sehat orang-orang yang seharusnya mempercayai “fakta” malah meyakini “opini intoleran”.
Selain itu, tidak mentoleransi kaum intoleran juga mencegah mereka melakukan perdebatan tanpa menggunakan pemikiran dan akal yang sehat. Hal tersebut justru berbahaya jika selalu ditoleransi, sehingga dibutuhkan paksaan untuk tidak mentoleransinya.
2. Homofili dan Intoleran
Pernah mendengar istilah homofili? Secara umum, homofili merupakan individu yang hanya melakukan interaksi dengan individu lainnya dengan kesetaraan. Dalam artian, dari segi status, perspektif, hingga status pendidikan, mereka mempunyai sebuah persamaan.
Lalu, apa hubungan antara homofili dan intoleran? Begini, jika kaum intoleran melakukan hubungan dengan orang-orang toleran (dan notabennya mempunyai perbedaan pemahaman), pasti terjadi konflik internal antar sesama kaum intoleran.
Padahal, melakukan hubungan dengan kaum toleran tidak sepenuhnya negatif, bahkan bisa memberikan perspektif baru tanpa tertutup oleh opini pribadi. Namun, dikarenakan tidak adanya persamaan pemahaman, maka kaum intoleran lebih memilih berkomunikasi dan bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya setara (homofili).
The paradox of tolerance memang sedikit rumit untuk dipahami. Ternyata, melakukan toleransi tidak serta merta “menghargai dan memaklumi” pemikiran orang lain yang lebih condong ke intoleran. Pada dasarnya, sikap toleransi adalah hal-hal yang seharunya menoleransi sesuatu yang “seharusnya” ditoleransi, bukan mengiyakan segala hal dan bisa menimbulkan hal-hal negatif.
Dengan memahami pengertian hidup sederhana melalui kebijakan toleransi yang benar, maka kita sebagai manusia dapat memahami arti hidup yang sebenarnya dengan membatasi diri terkait toleransi. Memang cukup membingungkan, makanya sangat tepat dinamakan The paradox of tolerance, bukan? 😉