LPKN, Jakarta – Pemerintah memastikan tidak ada impor beras saat panen raya berlangsung. Ini ditegaskan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat menjawab keresahan masyarakat terkait harga gabah yang semakin turun.
Ia menyebut, kuota impor beras sudah disiapkan sebelumnya untuk memenuhi kesiapan cadangan stok beras Bulog. Saat ini stok riil dari Perum Bulog hanya tersisa 500 ribu ton, idealnya perlu tambahan 1 juta ton.
“Jadi saya sekali lagi utarakan, bahwa tidak ada beras impor ketika panen raya, pasti. Dan ini semua tidak ada impor beras selagi panen raya. Jadi saya ingin supaya menenangkan semua. Yang ada hari ini, harga gabah petani itu turun bukan salah siapa-siapa, bukan salah kabulog, bukan salah kementan. Kementan sukses karena hasil panen tahun ini menurut BPS adalah sama atau lebih baik sedikit dari tahun lalu,” kata Lutfi saat rapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (22/3/2021).
Mendag Lutfi mengatakan, curah hujan berdampak pada tingginya kadar air gabah petani sehingga tidak bisa diserap oleh Bulog. Ini sesuai Permendag yang mematok kadar air maksimal gabah adalah 25 persen.
Kata dia, kebijakan impor sebagai pemenuhan stok di Bulog hanya untuk berjaga-jaga dan akan disimpan sebagai cadangan beras pemerintah.
Saat ini, Bulog memiliki stok lebih dari 800 ribu ton dalam gudangnya di seluruh Indonesia. Itu pun tidak semuanya dalam kondisi baik karena ada sisa stok beras impor dari tahun 2018 lalu yang sudah mulai turun mutu, jumlahnya mencapai 300 ribu ton. Lutfi mengklaim jumlah itu tidak cukup karena berpotensi akan adanya gejolak harga.
“Hitung-hitungan saya stok Bulog itu tidak mencapai 500 ribu. Ini merupakan stok paling rendah dalam sejarah Bulog,” katanya.
Jika jumlah melimpah itu bisa tercapai, maka Lutfi bakal membatalkan rencana impor. Ia mengakui sudah ada perjanjian impor beras atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara lain.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso sebelumnya menegaskan tidak akan sepenuhnya ikut kebijakan pemerintah tersebut, pasalnya ada pertaruhan harga gabah di tingkat petani yang bakal anjlok saat musim panen.
“Kalau pun kami mendapatkan tugas impor 1 juta ton, belum tentu kami laksanakan, karena kami tetap memprioritaskan produk dalam negeri yang sekarang masa panen raya sampai bulan April,” katanya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI, Senin (15/3/21).
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo memastikan bahwa stok beras hingga akhir Mei atau selesai momen Idul Fitri masih dalam tahap aman.
Stok hingga akhir Desember lalu mencapai 7.389.575 ton, sementara perkiraan produksi dalam negeri pada panen raya ini mencapai 17.511.596 ton sehingga jumlah stok beras hingga akhir Mei mencapai 24.901.792 ton.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso, mengingatkan jajaran Bulog di periode tahun ini, untuk segera menyerap gabah panen raya secara maksimal.
Hal ini dilakukan lantaran panen raya berpotensi surplus 4 juta ton beras. Dengan capaian ini, impor dianggap belum perlu dilakukan.
“Kalau melihat bagaimana mengatur stabilisasi harga pangan khususnya beras di Indonesia, itu pemerintah mau tidak mau harus punya stok. Tidak mungkin tidak punya stok. Inilah yang keputusan pemerintah (mengamankan) sekitar 1,5 juta ton (stok), sebenarnya kalau kita berbicara ini untuk mengamankan (stok) produsen juga, sebenarnya (Indonesia) surplus kita 4 juta lebih sampai April,” ujar Sutarto dalam Webinar Bertajuk “Reformulasi Kebijakan Perberasan” di Youtube Alineadotid, Senin (22/3/2021).
Sutarto mengatakan bulan Maret hingga April adalah bulannya produksi. Dia berharap, kebijakan impor 1 juta beras pemerintah, bisa dikaji dan dipertimbangkan kembali secara matang.
Anggota komisi bidang perdagangan di DPR Herman Khaeron meminta pemerintah merancang neraca komoditas yang lebih akurat untuk ketahanan pangan. Sehingga stok di petani dapat diserap dengan baik.
Jangan sampai kata Herman, pemerintah justru malah melakukan kebijakan impor di saat panen berlangsung.
“Jangan sampai pada waktu kita panen kemudian impor dimasukkan, alasannya Bulog karena sekarang tidak terpenuhi supply-nya. Sampai kapan pun Bulog menurut saya tidak akan berani untuk membeli beras petani atau membeli gabah petani. Karena apa? Karena saluran outputnya tidak ada. Dia akan menyalurkan ke mana Bulog?,” kata Herman dalam diskusi secara daring, Senin (22/3/2021).
Herman menambahkan, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Bulog untuk penyerapannya saja terhadap hasil panen dalam negeri.
Menurut dia, Bulog tidak memiliki kewenangan yang fleksibel dalam menyerap beras petani dan juga menyalurkan beras tersebut. Menurut Herman, penting mengembalikan peran Bulog yang bertugas sebagai penyangga beras nasional dan menjamin harga di tingkat pasar.
Menyikapi polemik ini, Ekonom senior Faisal Basri mengkritik keras rencana pemerintah untuk impor 1 juta ton beras tahun ini.
Pasalnya, di tengah pandemi covid-19, sektor pertanian justru mencatatkan pertumbuhan positif. Di mana, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen atau tertinggi dalam lima tahun terakhir.
“Jadi saya memandang ini sekarang momentum untuk ketahanan pangan Indonesia. Ada tren-tren positif yang terjadi sebagai akibat dari sejumlah upaya yang telah dilakukan selama ini. Misalnya terbukti bahwa lahan baku kita naik, untuk beras ya. Dari 7,1 juta hektare menjadi 7,46 juta hektare dari hasil pendekatan baru untuk mengestimasi lewat KSA (metode Kerangka Sampel Area) misalnya,” kata Faisal dalam webinar Reformulasi Kebijakan Perberasan, Senin (22/3/2021).
Menurutnya, rencana impor beras merupakan kebijakan yang ironis, ketika produksi beras dalam negeri meningkat dan kecenderungan konsumsi beras dalam negeri turun, karena program diversifikasi pangan yang cukup berhasil.
Selain itu infrastruktur penunjang sektor pertanian juga telah meningkat.
Faisal mengatakan, kebijakan impor beras berpotensi mengulang kesalahan pada 2018 lalu. Saat itu, dengan tingkat produksi yang tidak buruk, lonjakan impor sepanjang 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) naik hampir 4 juta ton.
Sebaliknya, penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018.
Disisi lain, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong agar Badan Nasional Pangan (BPN) segera terbentuk.
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas, Anang Noegroho mengatakan, saat ini pembahasan akhir tengah dilakukan Bappenas, bersama Kementerian BUMN dan Bulog, terkait pemposisian lembaga tersebut.
Nantinya, BPN diharapkan mengatur formulasi kebijakan pangan, termasuk beras didalamnya.
“Kita ketahui sekarang ini pembentuk kebijakan (impor) itu ada delapan atau sembilan institusi, yang menurut hemat kami kemarin dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian. Saya pikir koordinasi ini perlu untuk dijalankan dengan perspektif kelembagaan. Sesuai amanat Undang-Undang di situ dimintakan ada Badan Pangan Nasional,” ujar Anang dalam Webinar Bertajuk “Reformulasi Kebijakan Perberasan” di Youtube, Senin (22/3/2021).
Anang Noegroho menjelaskan Badan Pangan Nasional (BPN) diharapkan dapat mengontrol adanya perubahan kebijakan terkait pangan, utamanya beras.
Menurutnya, diperlukan kebijakan yang tepat antara penyerapan, hingga pengeluaran daripada stok beras nasional. Dia berharap, dengan adanya Badan Pangan Nasional, dapat menjadi transformasi baru pengelolaan pangan yang efektif dan efisien.