Hampir setiap tahun wilayah di berbagai Indonesia dilanda banjir. Seakan-akan kejadian banjir bagaikan tradisi awal tahun yang melanda negeri ini. Masih teringat kejadian banjir di beberapa wilayah Jabodetabek sekitar satu tahun yang lalu. Beberapa wilayah Jabodetabek terendam banjir dengan ketinggian air yang bervariasi. Selain itu, beberapa ruas jalan harus ditutup sehingga menghambat perjalanan. Begitu pula sejumlah rute Transjakarta yang diberhentikan sementara akibat dari banjir yang merendam beberapa wilayah di Jakarta.
Awal tahun 2021, banjir pun datang kembali melanda negeri ini. Pada Januari tahun 2021, beberapa wilayah di Kalimantan Selatan mengalami banjir besar. Awalnya, Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang jarang terdengar berita seputar banjir, tahun ini wilayah tersebut tidak luput dari bencana satu ini. Banyak kerugian yang diakibatkan banjir, diantaranya fasilitas pendidikan. Berdasarkan data Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan (data per 21 Januari 2021), banjir yang melanda Kalimantan Selatan pada 12 Januari 2021 mengakibatkan kerusakan sebanyak 1.385 sekolah yang tersebar di 13 kabupaten atau kota.
Adapun fasilitas pendidikan yang paling banyak mengalami kerusakan terjadi di Kabupaten Banjar dengan rincian 300 TK atau PAUD, 300 SD, 55 SMP, 4 SMA, serta 1 SLB. Kemudian, fasilitas pendidikan di Kota Banjarmasin yang mengalami kerusakan dengan rincian 119 TK atau PAUD, 146 SD, 24 SMP, 1 SMK, serta 2 SLB.
Kalimantan yang terkenal dengan banyaknya hutan, namun tidak menutup celah terjadinya bencana banjir. Hal ini dikarenakan terjadinya pengurangan luas kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Penelitian Ramdhoni, dkk (2018) menjelaskan bahwa berdasarkan pengolahan data citra satelit Kabupaten Banjar, terjadi pengurangan lahan kawasan hutan dalam rentang 10 tahun. Pada tahun 2007 luas kawasan hutan di Kabupaten Banjar sebesar 283.793,28 Ha sedangkan pada tahun 2017 mengalami pengurangan sehingga menjadi sebesar 251.584,04 Ha. Adapun tahun 2007 luas kawasan non hutan di Kabupaten Banjar sebesar 190.753,86 Ha sedangkan pada tahun 2017 mengalami penambahan sehingga menjadi sebesar 222.963,1 Ha.
Telah puluhan tahun wilayah Kalimantan Selatan tidak dilanda banjir sebesar ini. Selain adanya pengurangan luas kawasan hutan, adanya curah hujan yang tinggi selama berhari-hari sehingga mengakibatkan Sungai Barito tidak dapat menampung air. Akibatnya, sungai meluap dan menggenangi wilayah kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan.
Tak lama kemudian, banjir melanda Pulau Jawa. Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah dilanda banjir pada awal Februari yang lalu. Banjir ini pun termasuk banjir besar yang jarang terjadi di Kota Semarang. Ketinggian air yang menggenangi wilayah di Kota Semarang bervariasi. Jika lokasi di dekat rumah saya, ketinggian air hampir sekitar perut orang dewasa. Untungnya, kejadian banjir ini terjadi di weekend sehingga sebagian masyarakat tidak perlu keluar rumah kecuali dalam kondisi yang mendesak saja. Namun, di beberapa wilayah, sebagian masyarakat lebih memilih mengungsi ke kerabat lain yang memiliki tempat tinggal yang lebih aman dan memiliki peluang kecil mengalami banjir.
Banjir yang terjadi di Kota Semarang, secara tidak langsung mendukung terwujudnya program “Jateng di Rumah Saja” yang diberlakukan pada hari Sabtu (6/2) dan Ahad (7/2). Pemerintah Kota Semarang menghimbau masyarakat Provinsi Jawa Tengah tetap berada di rumah meskipun di akhir pekan. Seolah-olah program tersebut dikatakan berhasilnya, pasalnya ibu kota Provinsi Jawa Tengah terendam banjir.
Selain diguyur hujan dengan intensitas tinggi beberapa hari, penyebab banjir di Kota Semarang disebabkan telah terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence). Hal tersebut dibuktikan dengan terjadinya banjir rob di wilayah Semarang Utara meskipun tidak di musim penghujan dan diperkirakan genangan banjir rob akan meluas. Menurut Shidik, dkk (2019) meluasnya banjir rob di wlayah Semarang Utara disebabkan oleh penurunan muka tanah, gelombang laut tinggi, kerusakan drainase, pemanasan global, tingkat abrasi yang intensif.
Tak lama kemudian, banjir lagi-lagi melanda kawasan ibu kota Indonesia. Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan ketinggian air di Sungai Ciliwung meningkat sehingga merendam beberapa wilayah. Seolah-olah banjir di Jakarta bagaikan banjir musiman yang datang setiap tahun, khususnya awal tahun. Meskipun dilanda banjir hampir setiap tahun, namun belum dapat menyadarkan semua lapisan masyarakat dalam menjaga lingkungan. Hal ini dibuktikan bahwa terjadi peningkatan sampah di Jakarta sebesar 2 hingga 3 persen dari total sampah harian di Jakarta yakni sekitar 7.000 ton setiap harinya.
Namun, bencana banjir masih melanda negeri ini dan menelan korban jiwa. Pada awal April lalu, banjir bandang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Banjir bandang tersebut merupakan banjir bandang yang terbesar dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dikarenakan adanya siklon tropis seroja sehingga menyebabkan terjadinya hujan deras disertai angin kencang di wilayah NTT.
Kejadian banjir yang telah mewarnai awal tahun 2021 di beberapa wilayah Indonesia, bukanlah sebagai waktu yang tepat untuk selalu menyalahkan pihak-pihak tertentu. Kejadian banjir yang melanda negeri ini seharusnya harus direnungkan oleh seluruh pihak sehingga pihak-pihak tersebut melakukan peran sesuai dengan “kotak” kehidupannya. Misalnya, sebagai masyarakat biasa, apakah telah terbiasa untuk tidak membuang sampah di sembarangan tempat. Kemudian, apakah telah terbiasa untuk menahan diri untuk tidak mudah membuang sampah di sembarangan tempat jika tidak ada tempat sampah yang dekat. Kemudian bagi pihak-pihak tertentu seperti pihak yang menyebabkan pengurangan luas kawasan hutan maupun pihak-pihak lainnya seperti pembangunan infrastruktur yang terjadi di kawasan perkotaan, cukup direnungi apakah perilaku-perilaku tersebut dapat merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah. Kejadian banjir awal tahun yang melanda negeri ini, seolah-olah menjadi pembelajaran atau hanya sekedar bencana?
Berikut ini adalah contoh langkah-langkah negara lainnya yang berupaya untuk mengatasi banjir. Pertama, Jepang mengembangkan sistem kanal dan kunci pintu air dalam mengatasi banjir. Pengembangan sistem kanal dan kunci pintu air bertujuan untuk melindungi Daerah Aliran Sungai (DAS). Kemudian pemerintah setempat membangun The Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel atau Saluran Pembuangan Bawah Tanah Kawasan Metropolitan di Saitama. Bahkan saluran tersebut dianggap mampu menampung Patung Liberty. Saluran pembuangan bawah tanah memiliki beberapa tangki besar yang dihubungkan dengan terowongan yang dapat mengalirkan air ke Sungai Edogawa dan mengalirkannya ke Teluk Tokyo.
Saluran pembuangan bawah tanah yang berada di bagian utara Tokyo tersebut diperuntukkan untuk menampung aliran air dan melindungi kota dari bencana banjir. Saluran tersebut dapat menampung luapan air dari sungai berukuran kecil dan menengah. Saluran tersebut memiliki panjang 6,3 kilometer serta membentang dengan panjang 50 meter di bawah tanah. Selain itu, terdapat pilar penopang dengan tinggi 18,18 meter.
Manfaat yang diperoleh adanya bangunan tersebut yaitu mengurangi jumlah rumah yang terendam akibat banjir. Selain itu, daerah Saitama Timur menjadi berkembang yang ditandai dengan berkembangnya industri lokal dan menarik distribusi e-commerce dan pusat perbelanjaan baru.
Selain Jepang, Belanda juga dapat memberikan pembelajaran yang baik dalam mengatasi banjir. Saat ini Belanda merupakan salah satu yang menjadi pusat percontohan dari solusi banjir dunia. Apabila dilihat dari kondisi geografisnya, 26 persen wilayah terdiri dari daerah di bawah permukaan laut dan 60 persen terdiri dari daerah rawan banjir. Sebenarnya kincir angin yang terdapat di Belanda dapat mengatasi banjir. Hal ini dikarenakan terdapat saluran di bawah kincir yang berguna untuk memompa kelebihan air dan mengeringkan area persawahan.
Pada tahun 1953, Belanda dilanda banjir yang menewaskan sekitar 1.800 jiwa. Akibatnya, Belanda berupaya membangun sistem pertahanan banjir secara besar-besaran. Usaha yang dilakukan Belanda yaitu membangun Maeslantkering yang bertujuan untuk menahan badai dari lautan. Bangunan dua gerbang besi raksasa digunakan untuk menutup muara sungai. Gerbang tersebut pun memiliki tinggi yang setara dengan Menara Eifel.
Referensi:
https://properti.kompas.com/read/2020/01/03/172846821/jakarta-lihatlah-cara-jepang-mengatasi-banjir?page=all
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200111123116-199-464405/mengintip-cara-unik-kota-kota-dunia-atasi-banjir