PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DALAM BERBAGAI PRESPEKTIF PERUNDANG-UNDANGAN

Sumber Daya Alam (SDA) merupakan segala sesuatu yang berasal dari alam dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia untuk kelangsungan hidupnya dan dimanfaatkan secara baik dan benar. Secara luas SDA dapat pula kita artikan sebagai sebuah faktor produksi yang bersumber dari alam yang dapat menghasilkan barang dan jasa yang mana dalam hal ini merupakan komponen dari ekosisitem yang pastinya bermanfaat untuk kehidupan manusia dan semua sumber ini terbentuk oleh Alam. Perihal SDA ini di atur didalam Konstitusi Negara Republik Indonesia, yaitu didalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mana didalamnya terdapat aturan turunan yang mengatur mengenai SDA, berikut akan dibahas mengenai prespektif SDA didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Dasar Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional,” didalam UUPA jika kita kaji didalamnya lebih banyak mengatur mengenai dasar-dasar dari penguasaan terhadap SDA. Pada UUPA hanya terdapat satu pasal yang mana mengatur mengenai SDA, yaitu terdapat didlam Pasal 14 yang mana pasal tersebut menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan terhadap SDA yang mana menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan SDA dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan. Berkaitan dengan kelestarian dan pengelolaan SDA UUPA hanya terdapat didalam Pasal 15 yang mana memiliki pengertian bahwa “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Yang dimaksud dengan air didalam undang-undang ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Semangat yang ada didalam undang-undang ini merupakan penguasaan terhadap air terhadap sumber-sumbernya termasuk kedalam kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, dikarenakan oleh semangat ini kemudian munculnya semangat privatisasi air yang lebih sekedar untuk menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia, yang mana hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat belum dapat diakomodatif. Peran yang besar dan bersumber pada pemerintah ini sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor tahun 2004 Tentang Perikanan Jika kita lakukan penghitungan terhadap Undang-Undang Perikanan ini terdiri dari 17 Bab dan 110 Pasal yang mana undang-undang ini mengatur dan meberikan landasan hukum bagi sebuah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal serta berkelanjutan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam undanga-undang ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Adapun cakupan didalam undang-undang ini sangat baik didalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur didalam undang-undang ini. Pada undang-undang ini kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada kegiatan perikanan yang ada dilaksanakan berdasarkan kepada peraturan dan standar internasional yang berlaku secara umum. Ciri dari sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif dan oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-undang ini mengatur secara tegas mengenai konservasi terhadap SDA hayati dan ekosistem yang ada di Indonesia, undang-undang ini mengartikan bahwa SDA hayati merupakan sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari SDA Nabati (tumbuhan) dan SDA Hewani (satwa) yang mana bersama didalamnya terdapat unsur non hayati dan di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk sebuah ekosistem. Unsur di dalam SDA Hayati dan ekosistem pada dasarnya memiliki hubungan saling ketergantung dikaenakan antara satu SDA dan SDA lainnya saling mempengaruhi sehingga apabila terjadi kerusakan dan kepunahan dari salah satu unsur akan berimbas kepada terganggunya ekosistem lainnya. Undang-undang ini lebih banyak terfokus pada pengaturan mengenai kelestarian SDA. Konservasi SDA Hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk dapat mengusahakan terwujudnya kelestarian SDA Hayati serta mengamanahkan untuk dapat terjadinya keseimbangan ekosistem dan hal ini dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dari masyarakat serta mutu kehidupan manusia yang lebih baik. Konservasi SDA ini dilakukan dengan sebuah kegiatan perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang ini mendefenisikan bahwa hutan merupakan suatu kesatuan dari ekosistem yang berupa sebuah hamparan lahan yang mana didalamnya terdapat SDA Hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait. Kegiatan pengelolaan hutan berasaskan kepada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengaplikasian asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Dalam hal yang lainnya diatur pula secara khusus mengenai perlindungan terhadap hutan dan tebntunya ada pula tentang konservasi alam. Pengaturan diberikan agar fungsi dari hutan tetap lestari. Secara baik undang-undang ini merincikan berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.

Berdasarkan hasil inventarisasi terdapat pengertian SDA berdasarkan undang-undang diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa karakteristik dan kelemahan substansi didalam undang-undang yang telah dijabarkan secara rinci dan singkat di atas, pertama aturan perundang-undang diatas lebih berorientasi kepada kegiatan eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan dari kepentingan penting, yaitu konservasi dan tentunya keberlanjutan fungsi dari SDA, dikarena semata-mata ada aturan hanya untuk perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan terhadap pendapatan dan devisa negara. Kedua Ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA berpusat kepada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik. Ketiga yaitu pada tataran implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.


Namun harus kita pahami bahwa perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undangundang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati dan kemudian diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai
SDA dan lingkungan hidup yang telah ada.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Eko Nuriyatman

Berprofesi sebagai Dosen dan Peneliti Hukum Kebijakan Publik dan Sumber Daya Alam.

Artikel: 5

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *