Kemajuan teknologi mengakibatkan model dakwah semakin berkembang pesat dan dinamis. Sehingga tidak bisa dipungkiri jika konten-konten yang berbau radikalisme dan ekstrimisme cepat menyebar ke semua lini kehidupan. Untuk itu dibutuhkan pendekatan psikologis untuk mengetahui bagaimana agama dipahami dan di praktikkan dalam kehidupan,
Seiring dengan berkembangnya psikologi islam, tuntutan zaman semakin pesat dalam bidang dakwah. Bukan hanya membutuhkan mubaligh dan da’i, namun juga konselor.
Modernisasi dan globalisasi di satu sisi memiliki banyak manfaat bagi generasi milenial, akan tetapi secara psikologis kaum muda belum siap menghadapi perubahan. Karena modernisasi bisa menciptakan kesulitan psikologis, yang disebut dengan kerangkeng manusia modern. Manusia justru terperangkap dalam jebakan limbah modernisasi, tanpa memperoleh substansinya.
Generasi muda kehilangan makna akan jati dirinya, ia resah setiap harus mengambil keputusan. Ia tidak tau apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan hidup yang sesungguhnya. Para sosiolog menyebutnya sebagai gejala keterasingan, dan alenia.
Hal ini disebabkan oleh perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat, masyarakat yang homogen telah berubah menjadi heterogen, dan stabilitas sosial yang berubah menjadi mobilitas sosial. Sehingga menjadi manusia kosong (The hollow man) yang tidak mampu merencanakan masa depan, karena diikat oleh tuntutan sosial. Mereka harus mengikuti skenario sosial yang menentukan berbagai kriteria, dan mengatur berbagai keharusan dalam kehidupan sosial.
Melihat hal ini, maka dibutuhkan pengetahuan tentang gejala-gejala sosial, atau tingkah laku manusia dalam lingkungan sosio-kulturnya, dan seberapa jauh keyakinan agama mempengaruhi tingkah lakunya. Untuk itu diperlukan psikologi dakwah dalam menyingkap apa yang tersembunyi di balik perilaku manusia.
Psikologi dakwah berusaha menguak apa yang melatarbelakangi tingkah laku manusia. Proses penyampaian dan penerimaan pesan dakwah dari sudut psikologi tidaklah sesederhana penyampaian seorang da’i yang didegarkan oleh hadirin. Akan tetapi melibatkan penyampaian energi dari sistem syaraf ke otak, sehingga informasi dapat diterima dengan baik.
Psikkologi dakwah sangat dibutuhkan oleh seorang da’i, khususnya dalam membina generasi milenial. Karena seorang da’i akan berhadapan dengan karakteristik manusia yang berbeda-beda, untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam berkomunikasi. Faktor tersebut meliputi faktor personal dan situasional, serta faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.
Pertama, faktor biologis. Pendapat bahwa faktor biologis sangat dominan dalam mempengaruhi tingkah laku manusia dianut oleh teori psikoanalisanya Freund. Sebuah teori yang memprediksi tingkah laku manusia sebagai makhluk bilogis yang mempunyai syahwat dan keingginan. Seperti ketika manusia lapar, pada tingkat tertentu dapat merusak konsentrasi pikiran.
Kedua, faktor sosiopsikologis. Faktor ini disebabkan oleh proses sosial yang dialami oleh setiap orang, yang bersifat afektif, kognitif, serta konatif (kebiasaan). Seperti, rasa ingin tau, motif kompetensi, emosi, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan kemauan.
Ketiga, faktor situasional. Faktor ini meliputi aspek-aspek obyektif dari lingkungan dan psikososial dimana seseorang hidup. Aspek obyektif dari lingkungan seperti, aspek ekologis, yakni lingkungan tempat dimana ia tinggal. Aspek arsitektur, yakni ruangan dimana ia berada. Aspek waktu, perilaku dan teknologi, serta aspek sosial. Aspek teknologi yang semakin berkembang tentunya akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam berkomunikasi.
Arus teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat, menyebabkan informasi dan kebudayaan asing masuk ke dalam rumah-rumah melalui media massa. Hal ini menyebabkan semakin beratnya seruan dakwah islam di kalangan milenial. Oleh karena itu, dibutuhkan psikologi dakwah melalui media massa
Menurut penelitian pengaruh media massa terhadap perilaku (behavior) lebih besar dibanding terhadap aspek kognitif (pengetahuan). Karena masyarakat belum siap secara mental dalam menghadpi perubahan, baik itu gaya hidup, mode pakaian, dan hiburan.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, 83 persen perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya, 11 persen dari apa yang didengarnya, dan 6 persen sisanya merupakan gabungan dari berbagai stimulus yang diterimanya. Dalam perspektif ini dapat dibayangkan bagaimana peran media massa dalam membentuk kepribadian generasi muda. Melihat hal ini, maka dibutuhkan filter budaya dan agama. Karena kepribadian generasi muda saat ini yang akan menentukan Indonesia 20 tahun mendatang, melihat peran nasihat orang tua yang hanya 11 persen dalam membentuk kepribadian anak.
Salah satu perhatian pusat psikologi dakwah adalah bagaimana dakwah bisa dilakukan secara persuasif. Efektifitas kegiatan dakwah berhubungan dengan komunikasi pesan dakwah pada mad’u (penerima dakwah), dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis. Sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i, namun seperti sedang melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri.
Kondisi psikologis mad’u yang berbeda-beda, menyebabkan pendekatan persuasif dalam berdakwah juga berbeda-beda. Unsur-unsur dakwah persuasif meliputi priadi da’i, materi dakwah, kondisi psikologis mad’u dan perpaduan antara ketiga unsur tersebut.
Sosok da’i yang memiliki kepribadian sangat tinggi, dan tak pernah kering jika digali adalah Rasulullah. Ketinggian kepribadian rasul dapat dilihat pada al-quran,
“Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari akhir dan dia banyak menyebut nama Allah, (QS. Al-ahzab [33]:21).
Oleh karena itu, jika kepribadian da’i sudah dipandang tinggi oleh masyarakat mad’u, maka pesan dakwahnya juga dianggap sebagai bagian dari struktir kepribadiannya. Sehingga yang ditangkap dari da’i hanyalah yang benar, sementara kekeliruan dianggap bukan dari da’i.
Agar dakwah menjadi persuasif, ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang da’i. Diantaranya, memiliki kualifikasi akademis tentang islam, setidaknya seorang da’I harus memiliki pengetahuan tentang al-quran dan hadis. Minimal ia harus mengetahui keshahihan suatu hadis, riwayat nabi, riwayat sahabat, dan riwayat para ulama salaf.
Ciri seorang da’I yang berilmu ia tidak akan mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Karena cukuplah seseorang dikatakan bodoh jika ia berbicara tentang apa yang tidak ia pahami.
Kriteria kedua, memiliki konsistensi antara amal dan ilmunya. Seorang da’I harus mengamalkan apa yang ia serukan pada orang lain, dan apa yang ia demonstrasikan pada masyarakat haruslah apa yang memang menjadi keyakinan batinnya. Sebab, inkonsistensi antara kedua hal tersebut dapat membuat seruan dakwahnya tidak berbobot dan tidak berwibawa di masyarakat.
Idealnya seorang da’I adalah matahari, ia membuat bulan bercahaya. Namun ia tetap lebih terang darinya, atau seperti minyak wangi yang membuat harum orang lain, namun dirinya lebih harum darinya.
Kriteria ketiga, memiliki sifat santun dan lapang dada. Kedua sifat tersebut merupakan indicator dari keluasan ilmunya. Secara psikologis, kepribadian santun dan lapang dada akan membuat mad’u terikat perasaannya, dan lebih dari pemahaman melalui pikirannya. Sehingga, mad’u cenderung ingin selalu mendekatinya, sebagaimana al-quran mengingatkan bahwa sifat kasar (lawan dari santun) akan membuat orang lari dari da’i.
Kriteria keempat, bersifat pemberani. Pada tingkatan tertentu seorang da’I adalah pemimpin di masyarakat, dan salah satu daya tarik seseorang antara lain terletak pada keberaniannya.
Secara psikologis, manusia memang tertarik pada keberanian. Keberanian yang dimaksud disini adalah keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, sebagaimana hadis nabi, “Katakanlah yang benar, meskipun pahit,”
Kriteria kelima, tidak mengharap pemberian orang lain (‘iffah). Artinya hatinya bersih dari pengharapan terhadap apa yang ada pada orang lain. Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Tholib, “Berilah pada orang lain apa yang kamu suka, maka engkau akan dipandang sebagai pemimpinnya. Ajukan permintaan kepada orang yang engkau suka, maka engkau akan menjadi tawanannya. Dan jangan silau terhadap apa yang dimiliki orang, maka engkau akan menjadi mitra sejajarnya.”
Kriteria keenam, qana’ah. Seorang da’I adalah pejuang, dan watak pejuang adalah tabah menghadapi berbagai kesulitan. Seorang da’I boleh miskin harta, namun tidak boleh miskin hati. Karena kaya hati (qana’ah) lebih tinggi nilainya dibandingkan kekayaa harta. Sebagaimana perkataan hHasan Al bana, “Berfikirlah untuk memberi agar orang lain mengambil faedahnya, berfikirlah untuk menanam agar orang lain dapat memetik buahnya, dan bersusah payahlah, serta bekerja keraslah agar orang lain punya kesempatan beristirahat.”