Sistem Self-Assessment dalam Perpajakan Indonesia: Konsep, Manfaat, dan Tantangannya

Sistem perpajakan di Indonesia mengalami berbagai perubahan untuk mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak, salah satunya dengan penerapan sistem self-assessment. Sistem ini memungkinkan wajib pajak untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak yang terutang dengan penuh tanggung jawab, tanpa banyak intervensi dari pihak otoritas pajak. Sistem ini memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk secara mandiri menghitung jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan penghasilan dan kewajiban perpajakan lainnya.

Sejak diterapkannya sistem self-assessment pada tahun 1984, Indonesia telah mengalami peningkatan dalam jumlah wajib pajak yang terdaftar dan meningkatnya kepatuhan pajak, meskipun masih ada tantangan dalam pelaksanaannya. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai sistem self-assessment dalam perpajakan Indonesia, termasuk konsep, manfaat, serta tantangan yang dihadapi oleh wajib pajak dan pemerintah.

1. Apa Itu Sistem Self-Assessment?

Sistem self-assessment adalah suatu sistem di mana wajib pajak memiliki kewajiban untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, wajib pajak bertanggung jawab penuh untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar, mengisi Surat Pemberitahuan (SPT), serta melakukan pembayaran atas pajak yang terutang. Pihak otoritas pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hanya akan melakukan pemeriksaan secara acak atau berdasarkan kriteria tertentu, bukan setiap saat.

Sistem self-assessment memberikan kebebasan kepada wajib pajak untuk menentukan kewajiban pajak mereka, selama mereka melaksanakan kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan sistem official assessment, di mana pihak pajak menentukan besaran pajak yang terutang berdasarkan data dan informasi yang tersedia.

2. Sejarah Penerapan Sistem Self-Assessment di Indonesia

Penerapan sistem self-assessment di Indonesia dimulai pada tahun 1984 melalui perubahan besar dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang mengadopsi sistem ini. Sebelumnya, sistem perpajakan di Indonesia cenderung lebih bersifat otoriter dengan pengawasan yang ketat dari otoritas pajak. Namun, dengan berkembangnya sistem self-assessment, diharapkan wajib pajak dapat lebih aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan mendorong kesadaran wajib pajak mengenai pentingnya peran serta mereka dalam membangun negara. Penerapan sistem self-assessment ini diikuti dengan pengenalan berbagai kemudahan dalam administrasi perpajakan, seperti penggunaan formulir Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan layanan online melalui e-filing.

3. Cara Kerja Sistem Self-Assessment

Pada dasarnya, sistem self-assessment memberi kewenangan kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri berapa banyak pajak yang harus mereka bayar. Berikut adalah tahapan umum dalam sistem self-assessment:

a. Perhitungan Pajak

Wajib pajak harus menghitung pajak yang terutang berdasarkan penghasilan yang diterima selama satu tahun pajak. Dalam hal ini, mereka harus memperhitungkan berbagai faktor, seperti penghasilan bruto, pengurangan yang diperbolehkan, dan tarif pajak yang berlaku sesuai dengan peraturan yang ada. Selain itu, wajib pajak juga harus memperhitungkan penghasilan yang tidak dikenakan pajak (PTKP) serta potongan-potongan lainnya yang dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

b. Pengisian Surat Pemberitahuan (SPT)

Setelah menghitung jumlah pajak yang terutang, wajib pajak kemudian mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, baik secara manual (menggunakan formulir kertas) atau menggunakan sistem online (e-filing). Dalam SPT ini, wajib pajak harus melaporkan seluruh penghasilan yang diterima, biaya yang dapat dikurangkan, serta pajak yang telah dibayar atau dipotong oleh pihak lain.

c. Pembayaran Pajak

Setelah mengisi SPT, wajib pajak kemudian melakukan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan perhitungan yang telah dilakukan. Pembayaran pajak dapat dilakukan melalui berbagai saluran pembayaran yang telah disediakan oleh DJP, baik melalui bank, ATM, maupun sistem pembayaran elektronik.

d. Pemeriksaan dan Pengawasan

Setelah SPT diajukan dan pembayaran dilakukan, DJP melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa wajib pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar. Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara menyeluruh, melainkan berdasarkan sampel acak atau analisis risiko. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, DJP akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memberikan sanksi jika terbukti terjadi pelanggaran.

4. Manfaat Sistem Self-Assessment

Sistem self-assessment memiliki sejumlah manfaat baik bagi wajib pajak maupun pemerintah. Beberapa manfaat utama dari sistem ini antara lain:

a. Peningkatan Kepatuhan Pajak

Dengan memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan pajak mereka sendiri, sistem ini mendorong peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan. Wajib pajak yang merasa lebih diberdayakan untuk melakukan perhitungan pajak akan lebih termotivasi untuk memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan tepat waktu.

b. Efisiensi Administrasi

Sistem self-assessment dapat mengurangi beban administrasi perpajakan bagi otoritas pajak. DJP tidak perlu melakukan perhitungan pajak untuk setiap wajib pajak, karena kewajiban tersebut sudah dipenuhi oleh wajib pajak itu sendiri. Hal ini memungkinkan DJP untuk fokus pada pemeriksaan wajib pajak yang dianggap berisiko tinggi atau tidak patuh.

c. Mengurangi Potensi Penyalahgunaan

Sistem ini juga berfungsi untuk mengurangi potensi penyalahgunaan yang sering terjadi pada sistem official assessment, di mana otoritas pajak memiliki kontrol yang lebih besar dalam menentukan jumlah pajak yang terutang. Dengan memberikan kebebasan kepada wajib pajak untuk melaporkan penghasilan dan menghitung pajak mereka, diharapkan dapat mengurangi ketidakpuasan dan kecurangan.

d. Meningkatkan Penerimaan Negara

Dengan sistem self-assessment yang lebih transparan dan efisien, penerimaan pajak dapat meningkat. Pasalnya, wajib pajak yang merasa lebih percaya diri dan lebih memahami kewajiban perpajakan mereka cenderung melaporkan pajak secara lebih akurat dan tepat waktu.

5. Tantangan dalam Penerapan Sistem Self-Assessment

Meskipun sistem self-assessment memiliki berbagai manfaat, penerapannya di Indonesia tidak lepas dari tantangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan sistem ini antara lain:

a. Kepatuhan Wajib Pajak yang Masih Rendah

Meskipun sistem ini memberikan kemudahan, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih relatif rendah. Banyak wajib pajak yang belum sepenuhnya memahami kewajiban perpajakan mereka atau tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara menghitung dan melaporkan pajak. Hal ini menyebabkan penghindaran pajak dan pelaporan yang tidak akurat.

b. Kurangnya Pemahaman dan Sosialisasi

Masih banyak wajib pajak yang tidak sepenuhnya memahami mekanisme sistem self-assessment dan bagaimana cara menggunakannya dengan benar. Kurangnya pemahaman ini sering kali berujung pada kesalahan dalam pengisian SPT, yang dapat mengakibatkan sanksi administratif.

c. Risiko Penyalahgunaan

Meskipun sistem ini memberi kebebasan kepada wajib pajak, kebebasan ini juga membuka peluang untuk penyalahgunaan. Wajib pajak yang tidak jujur dapat melaporkan penghasilan yang lebih rendah atau mengurangi jumlah pajak yang terutang untuk menghindari pembayaran pajak yang lebih besar. Pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat untuk memastikan kepatuhan pajak yang lebih baik.

d. Pengawasan yang Terbatas

Karena DJP tidak selalu melakukan pemeriksaan terhadap setiap wajib pajak, pengawasan terhadap potensi kecurangan atau pelanggaran perpajakan menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, DJP harus mengembangkan sistem yang lebih efektif dalam mendeteksi wajib pajak yang tidak mematuhi kewajiban perpajakannya.

6. Cara Meningkatkan Efektivitas Sistem Self-Assessment

Untuk meningkatkan efektivitas sistem self-assessment, beberapa langkah dapat diambil oleh pemerintah dan wajib pajak, antara lain:

a. Peningkatan Edukasi dan Sosialisasi

Pemerintah harus terus meningkatkan program edukasi dan sosialisasi mengenai sistem self-assessment. Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang kewajiban perpajakan dan cara mengisi SPT yang benar, diharapkan wajib pajak dapat lebih patuh dan akurat dalam pelaporan pajak.

b. Penguatan Sistem Pengawasan dan Audit

Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan dan audit untuk mendeteksi ketidakpatuhan pajak. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan penggunaan teknologi informasi, seperti big data dan analitik, untuk mengidentifikasi wajib pajak yang berisiko tidak patuh.

c. Penggunaan Teknologi yang Lebih Canggih

Penerapan teknologi yang lebih canggih, seperti aplikasi e-filing yang lebih mudah digunakan dan pengembangan platform perpajakan berbasis digital lainnya, dapat meningkatkan kenyamanan dan efisiensi bagi wajib pajak dalam melaporkan pajak mereka.

Sistem self-assessment dalam perpajakan Indonesia memiliki banyak manfaat, mulai dari peningkatan efisiensi administrasi hingga peningkatan kesadaran wajib pajak. Namun, sistem ini juga menghadapi berbagai tantangan, seperti rendahnya tingkat kepatuhan dan risiko penyalahgunaan. Untuk itu, pemerintah perlu terus melakukan perbaikan dalam hal edukasi, pengawasan, dan penggunaan teknologi dalam sistem perpajakan agar sistem self-assessment dapat berjalan dengan lebih efektif dan optimal.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Tim LPKN

LPKN Merupakan Lembaga Pelatihan SDM dengan pengalaman lebih dari 15 Tahun. Telah mendapatkan akreditasi A dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Pemegang rekor MURI atas jumlah peserta seminar online (Webinar) terbanyak Tahun 2020

Artikel: 873

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *