Pendahuluan
Sejak tahun 2018, pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018. Perpres ini menjadi fondasi penting dalam pengelolaan keuangan negara, karena hampir 40% anggaran belanja negara dan daerah digunakan melalui proses pengadaan. Namun, dalam perjalanannya, peraturan ini sudah dua kali diubah: pertama melalui Perpres 12 Tahun 2021, dan yang terbaru melalui Perpres 46 Tahun 2025.
Banyak orang awam mungkin bertanya-tanya: mengapa peraturan sebesar ini harus diubah lagi? Bukankah perubahan sebelumnya sudah cukup? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa yang sederhana namun tetap berdasarkan fakta regulasi. Tujuannya adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang alasan mendasar di balik perubahan terbaru ini, serta apa dampaknya bagi negara, pelaku usaha, dan masyarakat.
1. Perubahan Adalah Keniscayaan dalam Regulasi
1.1 Hukum Harus Menyesuaikan Zaman
Sama seperti undang-undang atau kebijakan lainnya, peraturan pengadaan pun harus berkembang mengikuti zaman. Teknologi terus berubah, metode bisnis semakin digital, dan kebutuhan negara pun semakin kompleks. Jika regulasi tidak berubah, maka proses pengadaan bisa tertinggal, tidak efisien, atau bahkan tidak relevan lagi.
Contoh nyata adalah munculnya e-Katalog dan lokapasar digital. Ketika pertama kali dibuat, Perpres 16/2018 masih memberikan pilihan bagi instansi untuk menggunakan e-purchasing atau tidak. Tapi sekarang, dengan maraknya praktik korupsi tatap muka dan urgensi efisiensi waktu, penggunaan e-purchasing sudah harus wajib. Maka, perlu ada perubahan hukum yang mengakomodasi kebutuhan tersebut .
1.2 Proses Perbaikan Bertahap
Perubahan dari Perpres 16/2018 ke Perpres 12/2021, dan kemudian ke Perpres 46/2025 adalah bagian dari proses bertahap. Perpres 12/2021 menyesuaikan beberapa definisi dan struktur kelembagaan. Namun seiring berjalannya waktu, dibutuhkan revisi lebih mendalam yang tidak cukup dilakukan dengan revisi ringan. Oleh karena itu, lahirlah Perpres 46/2025 sebagai amandemen kedua yang bersifat menyeluruh, termasuk menambahkan prinsip keberlanjutan, digitalisasi total, hingga afirmasi untuk produk dalam negeri dan UMKM .
2. Kondisi Lapangan yang Terus Berubah
2.1 Pandemi dan Situasi Darurat
Pandemi COVID-19 adalah pelajaran besar bagi tata kelola pemerintahan. Banyak pengadaan harus dilakukan cepat untuk pengadaan alat kesehatan, logistik, dan bantuan sosial. Namun, kerangka Perpres 16/2018 tidak cukup fleksibel untuk merespons keadaan darurat secara optimal.
Karena itu, Perpres 46/2025 memasukkan ketentuan baru yang memberikan kewenangan lebih luas kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk memilih metode dan bentuk kontrak yang sesuai dalam kondisi “kekosongan hukum atau stagnasi pemerintahan,” misalnya pada situasi bencana atau keadaan luar biasa .
2.2 Teknologi Informasi yang Semakin Maju
Kemajuan teknologi membawa peluang besar untuk efisiensi, transparansi, dan pengawasan. Sayangnya, banyak instansi belum memanfaatkan sistem digital secara optimal. Untuk itu, Perpres 46/2025 menjadikan digitalisasi sebagai kewajiban, bukan lagi pilihan. E-purchasing menjadi wajib jika barang tersedia di e-Katalog. E-kontrak juga diwajibkan untuk semua penyedia dengan nilai kontrak tertentu. Langkah ini diambil untuk mencegah manipulasi, memudahkan pelacakan, dan mempercepat proses .
3. Penguatan Daya Saing Nasional
3.1 Produk Dalam Negeri Masih Kurang Diperhatikan
Meskipun Indonesia memiliki banyak produk lokal yang berkualitas, namun dalam praktiknya produk-produk ini masih sering kalah bersaing. Banyak pengadaan yang masih menggunakan produk impor, padahal tidak semua memiliki keunggulan teknis yang signifikan.
Perpres 46/2025 memperkenalkan sistem pelapisan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), di mana penyedia dengan TKDN tinggi dan nilai manfaat besar akan mendapat prioritas. Bahkan dalam tender di atas Rp 1 miliar, penyedia produk lokal yang memenuhi kriteria TKDN bisa diberi preferensi harga sampai 25% . Artinya, meski harga mereka lebih tinggi sedikit, mereka tetap bisa menang karena kontribusinya pada ekonomi nasional lebih besar.
3.2 Dukungan Konkret kepada UMKM
Sebelumnya, dukungan untuk UMKM dalam pengadaan masih bersifat anjuran. Akibatnya, tidak semua instansi sungguh-sungguh melibatkan UMKM dalam belanja barang/jasa mereka. Kini, Perpres 46/2025 mewajibkan alokasi minimal 40% belanja pengadaan untuk produk dari UMKM atau koperasi dalam negeri.
Selain itu, UMKM juga diberi hak untuk menerima uang muka 50% dari total nilai kontrak (jika nilainya di bawah Rp 200 juta). Ini adalah kebijakan nyata yang bisa membantu arus kas UMKM sehingga mereka dapat bertahan dan berkembang .
4. Memperbaiki Celah dan Kelemahan Peraturan Lama
4.1 Masih Banyak Celah Korupsi
Perpres 16/2018 memang sudah mengatur tentang pakta integritas dan sanksi administratif. Tapi kenyataannya, pengadaan masih menjadi salah satu sektor yang rawan korupsi. Banyak kasus suap, gratifikasi, atau kolusi terjadi karena lemahnya sistem pelaporan, minimnya transparansi, serta tidak adanya kewajiban pelaporan elektronik.
Perpres 46/2025 memperbaiki hal ini dengan beberapa langkah:
- E-purchasing dan e-kontrak menjadi wajib.
- Pengaduan masyarakat dapat dilakukan secara digital dan diproses secara administratif.
- Indeks kepatuhan PDN dan UMKM dijadikan dasar evaluasi.
- Peringatan administratif, sanksi disipliner, hingga pemecatan dapat dijatuhkan jika pejabat pengadaan terbukti melanggar .
4.2 Kapasitas SDM Masih Kurang Merata
Salah satu kritik atas pelaksanaan pengadaan selama ini adalah rendahnya kapasitas dan kompetensi SDM di daerah, terutama dalam pengadaan barang/jasa skala besar atau pengadaan berbasis teknologi. Untuk itu, Perpres 46/2025:
- Mewajibkan PPK memiliki sertifikasi sesuai tipologi pekerjaan (barang, konstruksi, jasa lainnya).
- Mengatur bahwa pejabat pengadaan harus memiliki standar kompetensi tertentu.
- Menyediakan ruang penghargaan bagi personel pendukung yang berkinerja baik, meski tidak bersertifikasi.
Dengan pengaturan ini, diharapkan SDM pengadaan menjadi lebih profesional dan sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing .
5. Integrasi dan Keterpaduan Sistem
5.1 Belanja Pemerintah Masih Terfragmentasi
Banyak lembaga pemerintah melakukan pengadaan sendiri-sendiri, tanpa ada integrasi sistem. Akibatnya, harga barang/jasa bisa berbeda-beda antara satu instansi dan lainnya, meski membeli produk yang sama. Perpres 46/2025 mendorong penggunaan e-katalog nasional, lokal, sektoral, dan toko daring untuk mengonsolidasikan belanja pemerintah.
Dengan sistem ini, harga barang lebih standar, proses lebih cepat, dan pengadaan menjadi lebih efisien secara nasional. Juga, instansi dapat memantau belanja masing-masing dan menyusun strategi belanja berdasarkan data real-time.
5.2 E-Kontrak untuk Monitoring Kinerja
Sebelumnya, tidak semua kontrak pengadaan terdokumentasi dengan baik. Beberapa masih dalam bentuk fisik dan tidak terpantau oleh sistem pusat. Kini, setiap kontrak wajib diunggah ke sistem e-kontrak, dan PPK harus melakukan evaluasi kinerja penyedia secara digital. Hasil evaluasi ini akan tersimpan dalam sistem dan menjadi acuan pada pengadaan berikutnya.
Dengan langkah ini, penyedia yang tidak berkinerja baik bisa tersaring, dan instansi tidak perlu mengulang kesalahan memilih penyedia yang sama.
6. Membuka Akses Lebih Luas untuk Desa dan Institusi Non-Konvensional
6.1 Desa Belum Diatur Secara Eksplisit
Salah satu perubahan penting dalam Perpres 46/2025 adalah masuknya “Pemerintah Desa” dan “Institusi Lainnya” sebagai pihak yang wajib mengikuti Perpres ini. Sebelumnya, desa tidak secara eksplisit disebut sebagai pengguna PBJP, meskipun mereka menggunakan dana APB Desa yang berasal dari APBN.
Kini, pengadaan di desa-baik itu pembangunan infrastruktur, pengadaan peralatan, atau jasa pelatihan-harus mengikuti prinsip-prinsip PBJP, termasuk transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan. Hal ini akan memperkuat akuntabilitas dan menurunkan risiko penyalahgunaan anggaran di tingkat desa .
6.2 Lembaga Non-Pemerintah yang Dibiayai Negara
Perpres 46/2025 juga menyebut “Institusi Lainnya” sebagai bagian dari subjek PBJP. Yang dimaksud antara lain adalah sekolah negeri, kampus negeri, lembaga riset, dan kelompok masyarakat yang mendapat dana hibah pemerintah. Dengan memasukkan entitas ini, pemerintah ingin memastikan bahwa setiap rupiah yang bersumber dari dana publik dikelola dengan prinsip PBJP yang akuntabel .
7. Alasan Hukum dan Konstitusional
7.1 Kewajiban Mengikuti Prinsip Tata Kelola yang Baik
Sebagai bagian dari pelaksanaan keuangan negara, proses PBJP merupakan perwujudan dari prinsip akuntabilitas yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya dalam Pasal 23 yang menyebut bahwa keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketika kondisi berubah dan regulasi lama tidak lagi mencerminkan kebutuhan aktual, maka pembaruan menjadi keharusan hukum. Perpres 46/2025 bukan hanya perubahan teknis, tapi bagian dari upaya negara untuk terus mengelola uang publik secara profesional, adil, dan bertanggung jawab.
8. Kesimpulan
Mengapa Perpres pengadaan harus diubah lagi? Jawabannya bukan karena pemerintah tidak konsisten, tetapi justru karena pemerintah ingin memastikan proses pengadaan barang/jasa semakin efisien, akuntabel, transparan, dan berpihak kepada bangsa sendiri. Dunia berubah, teknologi berkembang, tantangan semakin kompleks-dan regulasi harus selalu menyesuaikan.
Perpres 46/2025 hadir untuk:
- Memperluas cakupan pengaturan, termasuk desa dan institusi lainnya.
- Mewajibkan digitalisasi, seperti e-purchasing dan e-kontrak.
- Mendukung produk dalam negeri dan UMKM, dengan kuota wajib dan preferensi harga.
- Memberikan fleksibilitas dalam kondisi darurat, agar pemerintah bisa lebih tanggap.
- Menegaskan standar etika dan keberlanjutan, termasuk aturan konflik kepentingan dan penggunaan produk ramah lingkungan.
- Mengintegrasikan sistem dan memperbaiki kelemahan lama, seperti korupsi, ketidakefisienan, dan rendahnya kapasitas SDM.
Dengan memahami alasan-alasan ini, kita semua-baik aparat pemerintah, penyedia barang/jasa, akademisi, maupun masyarakat umum-bisa lebih mendukung pelaksanaan PBJP yang lebih baik demi Indonesia yang lebih transparan, kuat, dan berdaulat secara ekonomi.