Pendahuluan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) menjadi salah satu instrumen penting dalam penggunaan anggaran negara, yang bertujuan untuk memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan menghasilkan manfaat optimal bagi masyarakat. Di Indonesia, kerangka hukum PBJP diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres). Pada tahun 2018, diterbitkan Perpres 16/2018 sebagai pedoman utama PBJP. Setujukah Republik Indonesia bahwa regulasi ini perlu diperbarui seiring waktu? Tentu saja. Lahirnya Perpres 46/2025 merupakan amandemen kedua atas Perpres 16/2018 (melalui Perpres 12/2021 sebagai amandemen pertama), dengan tujuan menyesuaikan mekanisme pengadaan terhadap kondisi ekonomi, perkembangan teknologi, dan kebutuhan tindak lanjut kebijakan nasional terkini .
Bagi masyarakat awam, perbedaan antara dua regulasi ini mungkin terasa membingungkan. Artikel ini akan menguraikan secara terstruktur perbedaan utama antara Perpres 16/2018 dan Perpres 46/2025 dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami. Pembahasan akan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup, perubahan dalam metode pengadaan, digitalisasi, penekanan pada produk dalam negeri dan UMKM, peran pelaku PBJ, hingga implikasi praktis bagi semua pihak yang terlibat.
1. Latar Belakang Singkat Perpres 16/2018
Sebelum masuk ke Perpres 46/2025, penting untuk memahami apa yang diatur dalam Perpres 16/2018. Secara umum, Perpres 16/2018 lahir untuk menyatukan berbagai ketentuan PBJP yang sebelumnya tersebar di beberapa peraturan menteri dan keputusan presiden. Regulasi ini disusun dengan beberapa prinsip utama:
- Transparansi dan Akuntabilitas
Tujuan utamanya adalah menjamin agar proses pengadaan berlangsung terbuka, dapat diaudit, dan bertanggung jawab. - Efisiensi dan Efektivitas
Menetapkan metode pengadaan yang bervariasi (tender umum, penunjukan langsung, e-purchasing, dll.), sehingga instansi pemerintah dapat memilih cara yang paling tepat berdasarkan nilai paket, kompleksitas, dan urgensi. - Keadilan dan Keterbukaan Bersaing
Semua penyedia barang/jasa, baik UMKM maupun perusahaan besar, diharapkan memiliki peluang yang adil untuk bersaing, dengan mekanisme evaluasi yang objektif.
Namun, setelah beberapa tahun berjalan, berbagai celah atau kebutuhan baru mulai muncul, terutama dalam hal digitalisasi, percepatan pengadaan untuk program prioritas nasional, serta dorongan lebih besar untuk memberdayakan industri dalam negeri (termasuk UMKM). Inilah alasan utama pemerintah melakukan amandemen pertama melalui Perpres 12/2021, dan kemudian amandemen kedua lewat Perpres 46/2025.
2. Tujuan Penerbitan Perpres 46/2025
Ditetapkan pada tanggal 30 April 2025, Perpres 46/2025 secara resmi berjudul “Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah” . Berikut adalah beberapa tujuan strategis yang melatarbelakangi penerbitannya:
- Memperluas Lingkup Pengadaan
Perluasan cakupan tidak hanya pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, tetapi juga secara eksplisit mencakup Pemerintah Desa dan institusi lainnya yang menggunakan dana APBN/APBD . - Memperkuat Penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dan UMKM
Mendorong alokasi minimal 40% anggaran untuk produk UMKM/ koperasi dalam negeri, serta menerapkan sistem pelapisan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk memprioritaskan produk lokal berkualitas tinggi . - Mempercepat dan Memperluas Digitalisasi
Menetapkan e-purchasing sebagai kewajiban apabila barang/jasa tersedia dalam e-Katalog, mengurangi interaksi tatap muka, serta meningkatkan transparansi dan efisiensi . - Menerapkan Metode Kontrak Baru dan Fleksibilitas Berorientasi Kinerja
Pengadaan dapat menggunakan “Supply by Owner,” kontrak berbasis kinerja, atau kontrak turnkey, yang fokusnya adalah hasil atau output proyek, bukan sekadar penerapan anggaran . - Memperkuat Aspek Keberlanjutan dan Etika
Menekankan pengadaan berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi; serta memperketat kriteria konflik kepentingan .
Dengan tujuan-tujuan di atas, Perpres 46/2025 diharapkan dapat menghasilkan proses PBJP yang lebih strategis, inklusif, dan adaptif terhadap dinamika ekonomi dan sosial.
3. Ruang Lingkup dan Definisi yang Diperluas
3.1. Perpres 16/2018: Cakupan Awal
- Entitas yang Diatur
Perpres 16/2018 secara umum mengatur Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah yang menggunakan dana APBN/APBD untuk PBJP. - Sumber Pendanaan
Perpres 16/2018 belum secara eksplisit menyebut APB Desa dan pinjaman/hibah dalam negeri sebagai sumber pendanaan PBJP. - Definisi Terbatas
Istilah seperti “produk dalam negeri” belum memiliki kriteria teknis yang terperinci, karena fokus utama masih pada proses pengadaan, bukan konten lokal .
3.2. Perpres 46/2025: Perluasan Ruang Lingkup
- Penambahan “Institusi Lainnya”
Peraturan terbaru memuat definisi baru tentang “Institusi Lainnya,” yaitu entitas pengguna APBN/APBD di luar Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Pemerintah Desa/BUMN/BUMD/BUMDes, sehingga lebih inklusif terhadap berbagai badan yang mendapat dana publik . - Pemerintah Desa
Sekarang secara eksplisit diatur, termasuk pengadaan yang menggunakan APB Desa. Hal ini menandai desentralisasi yang lebih dalam, di mana desa pun harus mengikuti prinsip PBJP nasional . - Sumber Pembiayaan Diperluas
Selain APB Desa, ditambahkan juga pinjaman/hibah dalam negeri sebagai sumber sah PBJP, yang mengikat berbagai proyek bantuan internasional dan kerjasama domestik . - Definisi Baru
- Produk Dalam Negeri (PDN): Menjelaskan bahwa PDN mencakup barang/jasa yang bahan bakunya sebagian atau seluruhnya berasal dari dalam negeri.
- Produk Ramah Lingkungan: Barang/jasa yang menerapkan prinsip pelestarian dan perlindungan lingkungan.
- Lokapasar (E-marketplace): Pasar elektronik yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan PBJP.Semua definisi tersebut hadir untuk mempertegas kriteria, sehingga tujuan kebijakan (misalnya mendorong produk lokal dan berkelanjutan) dapat lebih mudah diukur .
4. Peran dan Kewenangan Pelaku Pengadaan
4.1. Perpres 16/2018: Pengaturan Awal
Dalam Perpres 16/2018, tugas dan kewenangan Pelaku Pengadaan (PP) seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan anggota Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) sudah diatur, namun secara umum tidak menuntut sertifikasi berbasis tipologi pekerjaan. Perpres 16/2018 juga menetapkan batasan nilai paket untuk berbagai metode pengadaan, tetapi tidak memberi fleksibilitas yang besar kepada PA/KPA untuk menyesuaikan metode dalam kondisi darurat.
4.2. Perpres 46/2025: Penguatan Profesi dan Fleksibilitas
- Sertifikasi PPK Berdasarkan Tipologi Pekerjaan
PPK wajib memiliki sertifikasi sesuai dengan jenis atau tipologi pekerjaan yang ditanganinya. Artinya, PPK yang menangani pengadaan jasa konstruksi, misalnya, harus memiliki sertifikasi berbeda dengan PPK yang mengelola pengadaan barang. Hal ini bertujuan meningkatkan profesionalisme dan memastikan kompetensi teknis . - Ekspansi Kewenangan PA dan KPA
- Pengguna Anggaran (PA): Diberi wewenang lebih luas untuk menetapkan penunjukan langsung pada program prioritas nasional, bantuan pemerintah, atau arahan presiden.
- Kuasa Pengguna Anggaran (KPA): Kini memiliki wewenang menyesuaikan metode kontrak, prosedur, dan jenis kontrak dalam situasi “kekosongan hukum dan/atau stagnasi pemerintahan,” dengan tujuan kemanfaatan umum. KPA bahkan dapat merangkap PPK apabila memiliki pemahaman memadai tentang PBJP .
- Risiko dan Pengawasan: Pemberian fleksibilitas pada PA/KPA bisa mempercepat proyek mendesak, tetapi juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan jika tidak diimbangi dengan pengawasan ketat.
- Tugas Baru Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan)
Pokja Pemilihan sekarang wajib melaksanakan e-purchasing non-pembelian langsung (mini-kompetisi), di mana beberapa penyedia bersaing melalui platform elektronik, bukan melalui proses tatap muka . - Penilaian Kinerja Penyedia
PPK diwajibkan menilai kinerja penyedia secara digital, melalui e-kontrak, sehingga data kinerja dapat tersimpan dan transparan untuk evaluasi mendatang .
Secara keseluruhan, Perpres 46/2025 mendorong sumber daya manusia pengadaan untuk lebih profesional dan adaptif terhadap situasi tertentu.
5. Metode Pengadaan dan Jenis Kontrak
5.1. Perpres 16/2018: Metode dan Batas Nilai
Perpres 16/2018 menetapkan beberapa metode pengadaan:
- Tender Umum
- Tender Terbatas
- Penunjukan Langsung (Direct Procurement)
- Pengadaan Langsung (Direct Appointment)
- E-Purchasing (opsional jika tersedia di e-Katalog)
- Seleksi Penunjukan Langsung
- Swakelola
Batas nilai pengadaan langsung untuk pekerjaan konstruksi ditetapkan Rp 200 juta. Peraturan juga mengatur kontrak jenis turnkey, tetapi belum menekankan kontrak berbasis kinerja secara spesifik.
5.2. Perpres 46/2025: Modernisasi dan Fleksibilitas
- Pengenalan “Supply by Owner”
Konsep ini memungkinkan K/L/D untuk menyediakan sebagian sumber daya sendiri (misalnya, peralatan atau material penting) dalam proyek konstruksi melalui kontrak payung. Dengan model ini, penyedia terpilih hanya perlu menyediakan sisa pekerjaan, sehingga mengurangi keterlambatan akibat distribusi material . - Jenis Kontrak Berbasis Kinerja
Fokus pada hasil akhir (misalnya tingkat layanan tertentu, pencapaian milestone) daripada sekadar pengiriman input. Kontrak model ini menuntut pembuatan indikator kinerja yang jelas dan sistem pengukuran yang transparan . - Pengembangan Kontrak Turnkey
Perpres 46/2025 menyempurnakan kontrak turnkey dengan menekankan tanggung jawab penyedia untuk menyelesaikan proyek secara keseluruhan (dari perancangan hingga penyelesaian), agar instansi pemerintah dapat menerima hasil akhir tanpa repot mengkoordinasikan banyak pihak. - Peningkatan Batas Pengadaan Langsung Konstruksi
Dibandingkan batas Rp 200 juta, Perpres baru menaikkan menjadi Rp 400 juta, yang berarti proyek kecil dapat diproses lebih cepat melalui pengadaan langsung tanpa perlu proses tender panjang . - E-Purchasing Wajib
Jika barang/jasa dibutuhkan tersedia di e-Katalog dan e-purchasing, maka PPK wajib menggunakan e-purchasing. Pengecualian hanya boleh apabila terdapat alasan rasional (misalnya spesifikasi teknis yang tidak terpenuhi, volume besar, atau alasan lokasi). Adapun HPS (Harga Perkiraan Sendiri) wajib dibuat untuk e-purchasing di atas Rp 100 juta, dan jaminan pelaksanaan untuk e-purchasing lebih dari Rp 200 juta . - Kriteria Penunjukan Langsung yang Lebih Luas
Sekarang mencakup pengadaan untuk program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, arahan presiden, pesanan berulang, atau kelanjutan jasa konstruksi yang sudah terintegrasi. Ini memungkinkan instansi pemerintah melakukan penunjukan langsung dengan landasan yang lebih variatif . - Fleksibilitas Peningkatan Nilai Kontrak
Dalam kondisi darurat (bencana alam, force majeure), nilai kontrak akhir dapat ditingkatkan lebih dari 10% asal mendapat persetujuan PA, sehingga tidak ada hambatan birokrasi berlebihan ketika respons cepat dibutuhkan .
Singkatnya, Perpres 46/2025 memperkenalkan metode yang lebih fleksibel dan berorientasi hasil, serta memperkuat digitalisasi proses, dibandingkan kerangka yang lebih konvensional di Perpres 16/2018.
6. Penekanan pada Produk Dalam Negeri (PDN) dan UMKM
6.1. Perpres 16/2018: Dukungan Awal
Perpres 16/2018 sebenarnya sudah mencantumkan prinsip penggunaan PDN dan mendorong keterlibatan UMKM, tetapi belum mengatur kuota atau persentase wajib yang harus dicapai. Kecenderungannya masih bersifat anjuran, sehingga partisipasi UMKM diserahkan pada inisiatif instansi masing-masing.
6.2. Perpres 46/2025: Kebijakan Afirmatif yang Tegas
- Kuota Wajib 40% untuk UMKM/Koperasi
Salah satu ketentuan paling mencolok adalah keharusan PPK mengalokasikan setidaknya 40% anggaran Barang/Jasa untuk produk dari UMKM atau koperasi dalam negeri. Ini menjadikan UMKM sebagai target pasar wajib dan memberi peluang besar agar usaha kecil mendapatkan kontrak PBJP . - Sistem Pelapisan TKDN (Layering System)
- Layer 1: Produk dengan TKDN + Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) > 40% dan TKDN > 25% (diprioritaskan).
- Layer 2-6: Kriteria TKDN dan BMP menurun hingga produk non-industri namun dideklarasikan sebagai produk dalam negeri.Produk impor hanya dapat digunakan jika mendapat persetujuan tertulis dari menteri/kepala lembaga/kepala daerah. Dengan begitu, instansi pemerintah harus secara nyata memprioritaskan produk domestik berkualitas lebih tinggi terlebih dahulu .
- Preferensi Harga pada Pengadaan > Rp 1 Miliar
Dalam tender nilai besar (di atas Rp 1 miliar), pemerintah memberi preferensi harga hingga maksimal 25% untuk penyedia produk yang memenuhi TKDN minimum (≥ 25% untuk Barang/Jasa Lain, dan komponen domestik minimal sesuai ketentuan untuk konstruksi). Dengan kata lain, meski harga tawaran lebih tinggi, penyedia lokal yang memenuhi kriteria PDN tetap diuntungkan dari sisi nilai evaluasi . - Uang Muka Afirmatif untuk UMKM
UMKM mendapatkan uang muka minimal 50% untuk kontrak di bawah Rp 200 juta. Ini membantu UMKM mengatasi kendala arus kas, sehingga bisa membeli bahan atau memulai proyek tanpa menunggu pembayaran akhir . - Indeks Kepatuhan PDN dan Sanksi
Instansi pemerintah (K/L/PD/Desa) akan menerima penghargaan atau sanksi berdasarkan indeks kepatuhan penggunaan PDN. Jika gagal mencapai target, dapat dikenakan peringatan administratif tertulis, bahkan sanksi disiplin bagi pejabat terkait. Mekanisme ini lebih tegas dibandingkan sebelumnya, di mana dukungan PDN lebih bersifat umum dan tidak terikat kuota .
Dengan berbagai ketentuan tersebut, Perpres 46/2025 menegaskan komitmen pemerintah untuk menumbuhkan industri dalam negeri dan memperkuat UMKM lewat kebijakan afirmatif yang konkret.
7. Digitalisasi Proses Pengadaan
7.1. Kondisi pada Perpres 16/2018
Perpres 16/2018 memperkenalkan konsep e-purchasing dan e-Katalog, tetapi penggunaannya bersifat pilihan (kecuali ditentukan oleh peraturan pelaksana atau instansi). Banyak masih menggunakan cara konvensional (dokumen kertas, tatap muka, dan tender manual). Digitalisasi belum dijadikan kewajiban menyeluruh .
7.2. Inovasi Digital di Perpres 46/2025
- E-Purchasing Wajib
Seluruh pengadaan barang/jasa yang tersedia di e-Katalog harus menggunakan e-purchasing. Selain untuk pembelian langsung, ketentuan ini juga diterapkan untuk Swakelola (seluruh kategori) dalam jangka transisi satu tahun untuk tipe Swakelola III dan IV. Ini mengurangi interaksi tatap muka, mempercepat proses, dan meningkatkan transparansi karena data pengadaan terekam secara elektronik . - Akses E-Katalog Diperluas
Bukan hanya Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah, tetapi juga instansi/lembaga lain, kelompok masyarakat, hingga individu bisa mengakses e-Katalog. Ini memberikan peluang yang lebih luas kepada penyedia-termasuk UMKM-untuk terdaftar dan menawarkan produk/jasa mereka secara digital . - Pencatatan E-Kontrak dan Monitoring Digital
PPK diwajibkan mengunggah dan memantau kontrak secara digital (e-Kontrak), sehingga setiap perubahan kontrak, nilai tambah, atau perpanjangan kontrak tercatat dengan jelas. Hal ini memudahkan audit, monitoring kinerja penyedia, dan penelusuran riwayat kontrak . - Penggunaan Lokapasar (E-Marketplace)
Istilah “Lokapasar” merujuk pada e-marketplace yang disediakan pemerintah (termasuk Toko Daring LKPP). Melalui Perpres 46/2025, penggunaan lokapasar menjadi bagian tak terpisahkan dari e-purchasing, di mana penyedia dapat menawarkan produknya sesuai ketentuan TKDN dan BMP. - Pengaduan Masyarakat via Platform Digital
Masyarakat yang menemukan dugaan penyimpangan PBJP dapat mengajukan pengaduan melalui sistem digital terlebih dahulu sebelum proses administratif dijalankan. Pendekatan ini dirancang untuk mempermudah akses masyarakat, sekaligus mempercepat proses penyampaian keluhan .
Secara keseluruhan, Perpres 46/2025 menjadikan digitalisasi sebagai kunci utama untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas, berbeda dengan Perpres 16/2018 yang masih memberikan pilihan untuk menggunakan platform elektronik.
8. Pengadaan Berkelanjutan dan Pertimbangan Etika
8.1. Perpres 16/2018: Orientasi Utama pada Proses
Perpres 16/2018 menekankan proses pengadaan yang transparan, tetapi belum secara eksplisit mencantumkan konsep pengadaan berkelanjutan (sustainable procurement) atau mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebagai bagian dari evaluasi tender .
8.2. Perpres 46/2025: Integrasi Keberlanjutan dan Etika
- Pengadaan Berkelanjutan
Perpres terbaru mengatur bahwa PBJP harus memperhatikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Istilah “Produk Ramah Lingkungan” didefinisikan secara jelas, dan harus diprioritaskan bila memenuhi syarat TKDN. Tujuannya adalah mencapai hasil ekonomi optimal sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan . - Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Hijau
Barang/jasa yang digunakan dalam pengadaan wajib memenuhi SNI dan, jika memungkinkan, sertifikasi lingkungan seperti sertifikat hijau. Hal ini mendorong produsen untuk memerhatikan rantai pasok secara holistik, mulai dari bahan baku hingga limbah . - Klarifikasi Konflik Kepentingan
Kriteria konflik kepentingan diperjelas agar setiap pejabat pengadaan tidak memiliki kepentingan pribadi atau keluarga dalam perusahaan penyedia barang/jasa. Proses seleksi dijaga agar terbebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme . - Penghargaan dan Sanksi Berbasis Kepatuhan PDN
Mekanisme penghargaan dan sanksi tidak hanya soal anggaran, tetapi juga menyentuh aspek etika: misalnya, instansi atau pejabat yang melanggar pakta integritas dapat dikenai sanksi disiplin ringan hingga berat. Ini menunjukkan perhatian pada perilaku etis setiap individu yang terlibat .
Dengan integrasi keberlanjutan dan etika, Perpres 46/2025 berharap pengadaan pemerintah tidak hanya efisien, tetapi juga bertanggung jawab sosial dan lingkungan.
9. Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Kelembagaan
9.1. Perpres 16/2018: Standar Kompetensi Umum
Dalam Perpres 16/2018, pembentukan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) di Kementerian/Lembaga/Daerah sudah diatur, tetapi standar kompetensi jabatan belum secara terperinci diwajibkan untuk setiap personel. Sertifikasi memang dianjurkan, namun belum berbasis tipologi pekerjaan, sehingga PPK yang mengurus konstruksi dan PPK yang mengurus pengadaan jasa lain dapat menggunakan sertifikasi yang sama.
9.2. Perpres 46/2025: Standar Kompetensi dan Pembentukan UKPBJ
- Pembentukan UKPBJ di Tingkat Lanjut
Kementerian/Lembaga dengan elemen pelaksana di daerah atau luar negeri diwajibkan membentuk UKPBJ. Kepala UKPBJ dan semua personel yang terlibat dalam kebijakan dan sistem PBJ harus memenuhi standar kompetensi jabatan, termasuk kompetensi teknis khusus PBJ . - Standar Kompetensi Jabatan
- Personel Inti (PPK, Pokja, PA/KPA) : Wajib memiliki sertifikasi berbasis tipologi pekerjaan.
- Personel Pendukung (Tanpa Sertifikasi): Dapat membantu perencanaan, manajemen kontrak, dan persiapan e-Katalog. Mereka juga berhak menerima penghargaan apabila kinerjanya baik .
- Pengembangan Kapasitas di Tingkat Desa
Karena Pemerintah Desa kini masuk ruang lingkup PBJP, dibutuhkan upaya pelatihan dan pendampingan bagi aparatur desa agar memahami proses e-purchasing, TKDN, dan persyaratan lain . - Peran Unit Pengawasan Internal
Dengan tingkat keterlibatan yang lebih kompleks (PDN, UMKM, e-purchasing, pengadaan berkelanjutan), unit pengawasan internal lembaga pemerintah dituntut meningkatkan kemampuan audit digital dan analisis kepatuhan, sehingga risiko penyelewengan dapat diminimalkan .
Secara keseluruhan, Perpres 46/2025 menunjukkan perhatian pada pengembangan kualitas sumber daya manusia, sehingga ekosistem PBJP menjadi lebih profesional dan terstandarisasi.
10. Pengawasan, Pengaduan, dan Sanksi
10.1. Perpres 16/2018: Prosedur Umum Pengawasan
Perpres 16/2018 mengatur pengawasan internal dan eksternal (BPK, Inspektorat Jenderal, dan lembaga pengawas lain), serta mekanisme pengaduan masyarakat. Namun, mekanisme penanganan pengaduan masih relatif umum, tanpa banyak detail tentang tahapan dan prioritas penyelesaian.
10.2. Perpres 46/2025: Penguatan Mekanisme
- Jaminan Pelaksanaan
Dijadikan wajib untuk kontrak Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lain senilai minimal Rp 200 juta. Adanya jaminan pelaksanaan membuat pemerintah memiliki proteksi finansial jika penyedia gagal memenuhi kontrak . - Proses Pengaduan Masyarakat Terstruktur
Semua pengaduan tentang dugaan penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan PBJP akan melalui proses administratif terlebih dahulu. Jika tidak terselesaikan, baru dilanjutkan ke instansi yudikatif. Penanganan awal yang terstruktur ini diharapkan mempercepat penyelesaian dan mengurangi beban pengadilan . - Indeks Kepatuhan PDN dan UMKM
Indeks kepatuhan instansi terhadap target penggunaan PDN dan UMKM menjadi dasar evaluasi kinerja lembaga. Instansi dengan indeks tinggi dapat memperoleh penghargaan, sementara yang rendah mendapat peringatan dan sanksi administratif. Sanksi disiplin dapat diterapkan pada pejabat yang melanggar pakta integritas . - Sanksi Administratif dan Disipliner
- Peringatan Administratif Tertulis: Untuk pelanggaran pertama terkait target PDN/UMKM.
- Sanksi Administratif: Dikenakan kepada PA/KPA/PPK/Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan yang lalai.
- Sanksi Disipliner (Ringan-Berat): Jika terbukti melanggar pakta integritas berdasarkan putusan pengadilan.Kebijakan ini memberi sinyal tegas bahwa ketidakpatuhan tidak hanya dipandang sebagai kesalahan birokrasi, tetapi juga pelanggaran etika dan hukum .
Dengan mekanisme pengawasan dan sanksi yang lebih spesifik, Perpres 46/2025 berupaya memastikan semua pihak terlibat bertanggung jawab secara administratif, etis, dan hukum.
11. Ketentuan Peralihan (Transisi)
11.1. Perpres 16/2018: Sudah Berlaku Penuh Sejak 2018
Karena Perpres 16/2018 merupakan payung tunggal, sejak diberlakukan tidak ada masa transisi spesifik seperti revisi berikutnya-kecuali perubahan lewat Perpres 12/2021. Artinya, instansi pemerintah harus langsung menyesuaikan proses pengadaan sesuai ketentuan Perpres 16/2018.
11.2. Perpres 46/2025: Masa Transisi yang Diatur
- Pencantuman Masa Berlaku Sertifikasi PBJ yang Ada
Sertifikat keahlian PBJ yang sudah dimiliki personel tetap berlaku, namun ada kewajiban bagi PPK untuk segera memenuhi sertifikasi kompetensi sesuai tipologi pekerjaannya. - Penanganan Paket Pengadaan yang Sudah Berjalan
Paket-paket yang proses pemilihannya (evaluasi atau tender) dimulai sebelum Perpres 46/2025 diberlakukan tetap dilanjutkan sesuai ketentuan Perpres 16/2018/12/2021. Hanya paket baru atau paket yang belum membuka proses pemilihan yang wajib sesuai ketentuan 46/2025 . - Transisi E-Purchasing untuk Swakelola Tipe III dan IV
Instansi Swakelola Tipe III dan IV diberikan satu tahun masa transisi untuk memenuhi kewajiban e-purchasing. Setelah periode ini berakhir, semua pembelian material/barang/peralatan wajib via e-purchasing . - Persyaratan TKDN dan UMKM
Instansi diberi waktu untuk mempersiapkan data dan sistem pendukung penilaian TKDN serta menyesuaikan bagian keuangan agar dapat mengalokasikan uang muka 50% untuk UMKM di bawah Rp 200 juta.
Adanya ketentuan peralihan ini diharapkan meminimalkan gangguan operasional, sambil memberi waktu adaptasi bagi instansi pemerintah, penyedia barang/jasa, dan UMKM agar siap mengikuti aturan baru secara penuh.
12. Implikasi bagi Para Pemangku Kepentingan
12.1. Instansi Pemerintah (K/L/PD/Desa)
- Penyesuaian Kebijakan Internal
Instansi harus memperbarui SOP (Standar Operasional Prosedur) agar sejalan dengan ketentuan Perpres 46/2025-terutama soal alokasi UMKM, TKDN, dan e-purchasing. - Pelatihan dan Sertifikasi SDM
Mengalokasikan anggaran dan program pelatihan bagi PPK, KPA, dan personel PBJ agar memperoleh sertifikasi sesuai tipologi. Juga, membentuk UKPBJ bila belum. - Pengembangan Sistem Digital
Integrasi sistem keuangan, logistik, dan kontrak (e-kontrak) agar data pengadaan dapat terpantau secara real-time. Misalnya, instalasi aplikasi e-purchasing dan e-Katalog, serta sistem monitoring pengaduan digital. - Pengawasan Internal
Memperkuat fungsi Inspektorat dan unit audit internal untuk memantau kepatuhan PDN, UMKM, dan keberlanjutan.
12.2. Pelaku Usaha (Penyedia, UMKM, Koperasi)
- Penyesuaian Pemasaran
- Penyedia UMKM/Koperasi: Harus memahami persyaratan minimal 40% kuota dan menyiapkan dokumen kelayakan (misal sertifikasi TKDN, deklarasi produk).
- Penyedia Non-UMKM (Perusahaan Besar): Perlu mengevaluasi kembali strategi penawaran harga, karena penyedia lokal berpeluang unggul dengan preferensi harga sampai 25% pada pengadaan di atas Rp 1 miliar.
- Peningkatan Kualitas Produk
Memastikan produk atau jasa memenuhi SNI dan, jika memungkinkan, sertifikasi ramah lingkungan untuk mendapatkan prioritas di lapisan pertama (TKDN + BMP) . - Adaptasi Digital
Mendaftarkan diri di e-Katalog, memahami proses e-purchasing, dan siap memasukkan data kontrak digital guna mempermudah instansi pemerintah memilih penyedia. - Arus Kas dan Modal
UMKM diuntungkan dengan uang muka 50%, namun harus menyiapkan administrasi keuangan agar dapat memanfaatkan fasilitas tersebut (misalnya, bukti bank, invoice elektronik).
12.3. Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lain
- Transparansi Lebih Besar
Karena sebagian besar data pengadaan akan terekam secara digital, masyarakat dapat memantau alur pengadaan melalui portal LKPP, web resmi instansi, atau platform pengaduan . - Peluang Pengawasan Publik
Dengan sistem pengaduan awal secara digital, warga negara dapat mengirimkan laporan dugaan penyimpangan lebih mudah, sehingga mendorong akuntabilitas instansi. - Potensi Ekonomi Lokal
Karena UMKM dan produk lokal diprioritaskan, diharapkan terjadi pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah dan desa. Pemberdayaan UMKM dapat menahan laju urbanisasi dengan meningkatkan kesempatan kerja di desa.
13. Ringkasan Perbandingan Utama
Aspek | Perpres 16/2018 | Perpres 46/2025 |
---|---|---|
Ruang Lingkup PBJP | K/L/PD; tidak eksplisit desa; institusi lainnya tidak disebut | Menambah “Institusi Lainnya” dan “Pemerintah Desa” (APB Desa) |
Sumber Pembiayaan | Tidak menyebut APB Desa, pinjaman/hibah dalam negeri | Mencakup APB Desa, pinjaman/hibah dalam negeri |
Sertifikasi PPK | Bersifat umum, tidak berbasis tipologi pekerjaan | Wajib sertifikasi berdasarkan tipologi pekerjaan |
Kewenangan PA/KPA | Terbatas; tidak ada penyesuaian metode dalam keadaan darurat | PA lebih leluasa, KPA dapat sesuaikan metode/kontrak; KPA – PPK |
Metode Pengadaan | Tender, penunjukan langsung, e-purchasing opsional | Menambah “Supply by Owner,” kontrak berbasis kinerja, e-purchasing wajib |
Batas Pengadaan Langsung Konstruksi | Rp 200 juta | Rp 400 juta |
Penggunaan PDN dan UMKM | Anjuran; tanpa kuota spesifik | Kuota wajib 40% UMKM; sistem pelapisan TKDN; preferensi harga |
E-Purchasing dan e-Katalog | Pilihan; belum wajib | Wajib jika tersedia; akses diperluas, termasuk Swakelola |
Pengadaan Berkelanjutan | Belum eksplisit | Menekankan produk ramah lingkungan, ESG, SNI |
Pengawasan & Sanksi | Pengawasan umum via Inspektorat, BPK; sanksi administratif terbatas | Jaminan pelaksanaan wajib; indeks kepatuhan PDN; sanksi administratif & disipliner |
Ketentuan Peralihan | Tidak ada masa peralihan khusus | Masa transisi 1 tahun e-purchasing Swakelola, penanganan paket berjalan |
Penerapan Teknologi | Mulai e-purchasing & e-Katalog, tetapi belum menyeluruh | Digitalisasi menyeluruh: e-kontrak, pengaduan digital, lokapasar |
14. Tips Praktis bagi Pembaca (Pelaku PBJ)
- Bagi Instansi Pemerintah
- Segera perbarui SOP untuk menyesuaikan Perpres 46/2025.
- Identifikasi personel yang harus mendapat sertifikasi baru, dan siapkan anggaran pelatihan.
- Pastikan semua paket baru sudah direncanakan berdasarkan ketentuan TKDN dan UMKM.
- Integrasikan sistem keuangan dan pengadaan agar e-purchasing dan e-kontrak dapat dijalankan dengan baik.
- Bagi Penyedia (Perusahaan dan UMKM)
- Daftar ke e-Katalog dan perbarui profil bisnis sesuai ketentuan TKDN (lapis 1-6).
- Pahami cara menghitung TKDN dan siapkan dokumen pendukung (faktur pembelian, sertifikat komponen).
- Manfaatkan kuota uang muka 50% untuk UMKM, tetapi siapkan administrasi keuangan (bukti transfer, invoice).
- Upayakan produk memenuhi SNI dan sertifikasi hijau jika memungkinkan untuk bersaing di pengadaan berkelanjutan.
- Bagi Masyarakat
- Pantau portal PBJP nasional (misalnya, laman LKPP) untuk data paket pengadaan, nilai kontrak, dan pemenang tender.
- Laporkan dugaan penyimpangan melalui sistem pengaduan resmi pemerintah terlebih dahulu.
- Bagi Akademisi/ Pelatih PBJ
- Rancang modul pelatihan baru yang menekankan TKDN, e-purchasing wajib, dan kontrak berbasis kinerja.
- Buat simulasi perhitungan TKDN dan praktik penyusunan e-Katalog untuk peserta pelatihan.
15. Kesimpulan
Perpres 46/2025 membawa sejumlah perubahan signifikan dibandingkan Perpres 16/2018. Perbedaan utama terletak pada perluasan ruang lingkup PBJP (termasuk desa dan institusi lainnya), penegasan digitalisasi (e-purchasing wajib, e-kontrak, lokapasar), kebijakan afirmatif untuk PDN dan UMKM (kuota 40%, sistem pelapisan TKDN, preferensi harga), kontrak baru berorientasi kinerja, serta penambahan mekanisme pengawasan dan sanksi yang lebih konkret.
Bagi pengguna awam, intinya adalah bahwa Perpres 46/2025 menjadikan PBJP tidak hanya soal “cara membeli barang/jasa,” tetapi juga bagaimana “menerapkan belanja pemerintah untuk mendorong industri lokal, efisiensi, dan keberlanjutan.” Jika Perpres 16/2018 adalah fondasi dasar, maka Perpres 46/2025 adalah penyempurnaan yang membuat regulasi PBJP lebih modern, tajam, dan strategis. Dengan memahami perbedaan-perbedaan ini, para pelaku PBJ-mulai dari pemerintah hingga penyedia UMKM-dapat lebih siap dan optimal dalam menjalankan PBJP sesuai visi nasional ke depan .
Daftar Pustaka (Sumber Citasi):
- “Telaah Mendalam Perpres 46 2025,” JDIH LKPP, diakses Juni 2, 2025