Alasan Strategis di Balik Terbitnya Perpres 46/2025

Pendahuluan

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 merupakan amandemen kedua atas Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP). Dokumen ini disahkan pada 30 April 2025 dengan berbagai pembaruan substansial. Meskipun perbaikan regulasi tampak teknis, di baliknya terdapat alasan-alasan strategis yang berakar pada kebutuhan nasional: adaptasi teknologi, pemberdayaan ekonomi lokal, fleksibilitas respons keadaan darurat, peningkatan profesionalisme, dan penguatan tata kelola yang berkelanjutan.

Artikel ini akan menjelaskan secara sederhana dan terstruktur mengapa pemerintah merasa perlu menerbitkan Perpres 46/2025. Dengan pemahaman ini, pembaca-baik pejabat pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat umum-dapat melihat bagaimana perubahan regulasi ini dirancang untuk mengakselerasi tujuan pembangunan nasional secara berkelanjutan, efisien, dan inklusif .

1. Menjawab Tantangan Digitalisasi

1.1 Latar Belakang Digitalisasi PBJP

Sejak diterbitkan Perpres 16/2018, kemajuan teknologi informasi berjalan sangat cepat. E-purchasing dan e-Kontrak telah diperkenalkan, tetapi masih bersifat opsional bagi banyak instansi. Praktik pengadaan masih sering dilakukan dengan dokumen fisik dan interaksi tatap muka. Di era industri 4.0, ketergantungan pada cara konvensional menyebabkan:

  • Proses yang lambat, karena pengiriman dokumen fisik memakan waktu.
  • Risiko kesalahan dan manipulasi, sebab dokumen kertas lebih mudah direkayasa.
  • Keterbatasan transparansi, karena data pengadaan tersebar di berbagai lokasi fisik.

Oleh karena itu, strategi pertama di balik Perpres 46/2025 adalah mengintegrasikan digitalisasi secara menyeluruh-menjadikan e-purchasing dan e-Kontrak sebagai kewajiban, bukan pilihan.

1.2 E-Purchasing dan E-Kontrak Wajib

Dengan mewajibkan e-purchasing jika barang atau jasa tersedia di e-Katalog, pemerintah ingin:

  1. Mempercepat proses pengadaan – Instansi tidak perlu menunggu lama untuk tender tradisional ketika opsi elektronik tersedia.
  2. Meminimalkan risiko manipulasi harga – Harga dalam e-Katalog biasanya sudah terstandardisasi berdasarkan analisis pasar.
  3. Meningkatkan transparansi – Semua transaksi tercatat secara elektronik dan dapat dipantau publik.

Demikian pula, dengan mewajibkan e-Kontrak, setiap kontrak PBJP-termasuk addendum atau perubahan nilai-harus diunggah dan dimonitor secara digital. Ini memudahkan audit dan evaluasi kinerja penyedia di masa depan .

2. Mendorong Pertumbuhan Industri Lokal dan UMKM

2.1 Signifikansi Ekonomi Lokal

Peningkatan anggaran belanja publik yang beredar di dalam negeri menjadi kunci untuk:

  • Menciptakan lapangan kerja – Ketika produk lokal digunakan secara massal, usaha kecil dan menengah dapat tumbuh, mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja.
  • Memperkuat rantai pasok domestik – Ketergantungan pada impor dapat dikurangi, mendorong kemandirian ekonomi.
  • Meningkatkan nilai tambah nasional – Bahan baku dan komponen dibuat di dalam negeri sehingga nilai tambahnya tetap di domestik.

Pasal dalam Perpres 46/2025 yang menetapkan kuota 40% anggaran untuk UMKM atau koperasi, serta sistem pelapisan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), bertujuan mendorong transformasi ekonomi ini .

2.2 Sistem Pelapisan TKDN dan Preferensi Harga

  1. Lapisan 1: Produk dengan TKDN + Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) > 40% dan TKDN > 25% diprioritaskan.
  2. Lapisan 2-6: Berturut-turut menurunkan kriteria hingga produk non-industri yang dideklarasikan sebagai produk dalam negeri.

Dengan mekanisme ini, instansi pemerintah diwajibkan memilih produk dari Lapisan 1 terlebih dahulu. Jika tidak tersedia, baru mempertimbangkan lapisan berikutnya.

Pada paket bernilai di atas Rp 1 miliar, Perpres 46/2025 memberi preferensi harga hingga 25% kepada penyedia PDN dengan TKDN ≥ 25%. Artinya, meski harga penyedia lokal sedikit lebih tinggi, nilai evaluasinya dapat diunggulkan. Kebijakan ini dirancang agar:

  • Penyedia lokal dapat bersaing secara wajar, meski skala usaha dan biaya produksi lebih tinggi dibandingkan impor.
  • Industri dalam negeri memperoleh peluang pangsa pasar yang lebih besar, sehingga mendorong pertumbuhan jangka panjang .

2.3 Afirmasi Uang Muka untuk UMKM

UMKM sering kesulitan mendapatkan modal kerja ketika memulai proyek pemerintah. Oleh sebab itu, Perpres 46/2025 mengatur uang muka minimal 50% untuk UMKM pada paket di bawah Rp 200 juta. Manfaat strategisnya:

  • Mengurangi risiko arus kas bagi UMKM, yang akibatnya dapat menambah kapasitas produksi dan kualitas layanan.
  • Memacu partisipasi UMKM dalam rantai pasok pemerintah, sehingga lebih banyak pelaku ekonomi kecil naik kelas.

Secara keseluruhan, kebijakan ini bertujuan membangun ekosistem pengadaan yang lebih inklusif dan berdaya saing.

3. Meningkatkan Efisiensi dan Transparansi

3.1 Standarisasi Proses dan Batas Nilai Baru

Dalam Perpres 16/2018, nilai maksimal pengadaan langsung untuk konstruksi ditetapkan Rp 200 juta. Perpres 46/2025 menaikkan batas ini menjadi Rp 400 juta. Dampak strategisnya:

  • Proyek kecil bisa lebih cepat dikerjakan, tanpa harus menempuh tender panjang.
  • Pengeluaran administrasi dapat dikurangi, karena proses tender kecil seringkali memakan waktu dan sumber daya.
  • Fokus sumber daya pada paket bernilai besar dan kompleks, sehingga birokrasi tidak tersita oleh proyek-proyek kecil.

Dengan demikian, instansi dapat mengalokasikan tenaga dan waktu pada pengadaan yang lebih strategis.

3.2 Digitalisasi Seluruh Tahapan

Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, Perpres 46/2025 mendorong penggunaan sistem elektronik:

  1. Perencanaan: Rencana Umum Pengadaan (RUP) harus memperhatikan ketersediaan di e-Katalog dan lapisan TKDN.
  2. Pelaksanaan pemilihan penyedia: E-purchasing wajib jika tersedia, tender terbuka jika tidak. Semua dokumen evaluasi diunggah secara elektronik.
  3. Pelaksanaan kontrak: E-Kontrak memuat semua syarat, nilai, dan perubahan kontrak. Jaminan pelaksanaan wajib untuk paket ≥ Rp 200 juta.
  4. Monitoring dan evaluasi: Data kinerja penyedia tersimpan dalam sistem, memudahkan audit digital.

Hasil akhirnya, setiap keputusan pengadaan dapat dilacak (audit trail), memudahkan pengawasan publik dan internal, serta meminimalkan celah kecurangan .

4. Meningkatkan Fleksibilitas dalam Kondisi Darurat

4.1 Tantangan Respons Cepat (Keadaan Darurat)

Indonesia rentan terhadap bencana alam-gempa, banjir, atau bencana nonalam seperti pandemi. Ketika situasi darurat terjadi, kebutuhan barang/jasa (misalnya alat medis, logistik darurat) harus dipenuhi secepat mungkin. Perpres 16/2018 masih memerlukan proses tender yang relatif panjang, sehingga seringkali terjadi:

  • Keterlambatan pengiriman alat kritis, yang berdampak pada penanganan darurat.
  • Biaya peluang yang hilang, saat proses birokrasi menyita waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mitigasi.

4.2 Kewenangan PA/KPA dalam Kondisi Darurat

Perpres 46/2025 memperkenalkan ketentuan baru:

  1. Pengguna Anggaran (PA) dapat langsung menetapkan penunjukan langsung pada program prioritas nasional, bantuan pemerintah, atau arahan Presiden tanpa menunggu proses tender.
  2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) diberi wewenang untuk menyesuaikan metode dan jenis kontrak, termasuk menaikkan nilai kontrak di luar batas normal (misal di atas Rp 400 juta), apabila terdapat “kekosongan hukum dan/atau stagnasi pemerintahan.”
  3. KPA dapat merangkap sebagai PPK jika terbukti memiliki kompetensi teknis untuk mempercepat pengambilan keputusan.

Dengan demikian, pemerintah mampu merespons keadaan darurat secara lebih gesit-memastikan kebutuhan logistik, medis, atau infrastruktur paska-bencana dapat terpenuhi tanpa kontradiksi aturan birokrasi yang memakan waktu .

5. Memperkuat Kapasitas SDM dan Kelembagaan

5.1 Peningkatan Profesionalisme Pejabat Pengadaan

Perpres 16/2018 mengatur keharusan memiliki sertifikasi PBJ, tetapi belum memecahnya berdasarkan tipologi pekerjaan. Akibatnya, PPK proyek konstruksi dan PPK proyek pengadaan barang bisa memiliki sertifikat yang sama, meski kompetensinya berbeda.

Perpres 46/2025 mengharuskan:

  • Sertifikasi PPK sesuai tipologi pekerjaan (konstruksi, barang, jasa konsultansi, jasa lainnya).
  • Personel pendukung PBJ (tanpa sertifikasi penuh) tetap dapat membantu, tetapi hanya dalam lingkup tugas tertentu (perencanaan, manajemen kontrak, dukungan e-Katalog).

Tujuannya adalah memastikan:

  • Keahlian teknis sesuai tugas, sehingga risiko kesalahan spesifikasi atau pengawasan berkurang.
  • Profesionalisme meningkat, karena setiap pejabat memiliki pengetahuan mendalam sesuai bidangnya.

5.2 Penguatan Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)

  • Kementerian/Lembaga yang memiliki elemen pelaksana di daerah atau kantor luar negeri wajib membentuk UKPBJ.
  • Kepala UKPBJ dan personel utama wajib memenuhi standar kompetensi nasional PBJ.

Langkah ini dilakukan agar setiap instansi:

  1. Memiliki struktur kelembagaan khusus yang fokus menangani PBJP.
  2. Meningkatkan koordinasi internal antara unit perencanaan, pengadaan, dan pengawasan.
  3. Membangun kapasitas yang berkelanjutan, khususnya di daerah terpencil atau kantor perwakilan luar negeri, agar tidak hanya bergantung pada pusat.

Dengan demikian, PBJP di semua tingkatan pemerintahan menjadi lebih terstandar dan terkelola dengan baik .

6. Memperhatikan Aspek Keberlanjutan dan Etika

6.1 Konsep Pengadaan Berkelanjutan

Isu lingkungan dan sosial semakin mendesak. Perpres 46/2025 mengintegrasikan prinsip sustainable procurement (pengadaan berkelanjutan) dengan cara:

  • Mendahulukan “Produk Ramah Lingkungan” yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan sertifikasi lingkungan (misalnya sertifikat hijau).
  • Memasukkan kriteria keberlanjutan dalam dokumen perencanaan pengadaan, sehingga instansi diharuskan mempertimbangkan dampak lingkungan sebelum memilih penyedia.

Dengan mengintegrasikan aspek lingkungan, pemerintah berharap:

  1. Mengurangi jejak karbon, misalnya dengan memilih produk yang ramah energi atau mudah didaur ulang.
  2. Mendorong inovasi hijau di kalangan industri lokal (umumnya industri kecil dan menengah), karena mereka yang menawarkan solusi ramah lingkungan akan mendapatkan prioritas.

6.2 Penguatan Aturan Etika dan Konflik Kepentingan

Perpres 16/2018 sudah mengatur pakta integritas dan larangan konflik kepentingan, tetapi implementasinya belum maksimal. Perpres 46/2025 memperjelas:

  • Definisi konflik kepentingan yang lebih detail (pecahannya: finansial, hubungan keluarga, hingga relasi bisnis).
  • Sanksi tegas bagi pejabat yang melanggar pakta integritas, mulai dari peringatan administratif tertulis hingga pemecatan jika terbukti menerima gratifikasi atau suap.
  • Pengawasan digital terhadap transaksi dan kontrak-jika ada indikasi penggelembungan harga atau manipulasi dokumen, sistem digital akan memberikan “jejak audit” yang mempermudah deteksi.

Dengan penekanan pada etika dan konflik kepentingan, pemerintah menekankan bahwa setiap rupiah anggaran publik harus dikelola secara bersih dan akuntabel .

7. Memperkuat Pengawasan dan Akuntabilitas

7.1 Indeks Kepatuhan PDN/UMKM

Perpres 46/2025 menetapkan Indeks Kepatuhan PDN/UMKM sebagai salah satu metrik kinerja masing-masing instansi. Indeks ini dihitung berdasarkan capaian:

  • Persentase anggaran yang dipakai pada UMKM (≥ 40%).
  • Pemilihan produk dari lapisan TKDN tertinggi.

Hasil indeks dipublikasikan secara terbuka. Instansi dengan indeks tinggi dapat menerima penghargaan, sedangkan instansi yang gagal memenuhi target dapat dikenai peringatan administratif dan sanksi disipliner ‒ termasuk penundaan anggaran di tahun berikutnya atau penurunan status kinerja instansi.

7.2 Jaminan Pelaksanaan dan Pengawasan Digital

  • Jaminan pelaksanaan diwajibkan untuk setiap kontrak Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lain senilai ≥ Rp 200 juta. Jaminan tersebut memastikan pemerintah memiliki proteksi finansial jika penyedia gagal memenuhi kewajiban.
  • Proses pengaduan digital terstruktur: Masyarakat atau pemangku kepentingan dapat mengadukan dugaan penyimpangan melalui portal elektronik. Setelah diverifikasi secara administratif, laporan bisa dilanjutkan ke proses penegakan hukum jika terbukti pelanggaran.

Langkah-langkah ini meningkatkan akuntabilitas karena:

  1. Setiap paket pengadaan memiliki jaminan finansial, meminimalkan risiko gagal serah terima.
  2. Pengaduan masyarakat menjadi lebih mudah dan terpantau, sehingga potensi kecurangan dapat dideteksi lebih awal.
  3. Data pengadaan tercatat dalam sistem, memudahkan audit oleh Inspektorat dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

8. Alasan Hukum, Konstitusional, dan Strategis

8.1 Kepatuhan pada Prinsip Konstitusional

UUD 1945 Pasal 23 menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan menerbitkan Perpres 46/2025, pemerintah konsisten menjalankan amanat:

  • Meningkatkan keterbukaan informasi, melalui digitalisasi dan publikasi indeks kinerja.
  • Mengedepankan akuntabilitas, dengan jaminan pelaksanaan dan sanksi tegas bagi pelanggar.

Dalam konteks ini, regulasi PBJP bukan sekadar aturan teknis, tetapi bagian integral dari upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

8.2 Penyesuaian dengan Kebijakan Strategis Nasional

  1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan RPJMN 2025-2029 menekankan pemulihan ekonomi pasca-pandemi, transformasi digital, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Perpres 46/2025 secara langsung mendukung:
    • Transformasi digital sektor publik, dengan kewajiban e-purchasing dan e-Kontrak.
    • Pemberdayaan UMKM dan penguatan rantai pasok domestik, dengan kuota 40% dan preferensi harga.
    • Kelestarian lingkungan, melalui prioritas produk ramah lingkungan dan SNI.
  2. Komitmen Internasional
    • Indonesia telah berkomitmen mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi) dan tujuan 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab). Dengan memasukkan aspek keberlanjutan dan preferensi PDN, Perpres 46/2025 turut mewujudkan target-target tersebut dalam skala pengadaan pemerintah.

Secara strategis, perubahan ini bukan hanya soal efisiensi belanja, tetapi tentang menciptakan ekosistem pemerintahan yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Terbitnya Perpres 46/2025 bukanlah perubahan kosmetik, melainkan titik balik strategis dalam tata kelola pengadaan barang/jasa negara. Alasan-alasan utamanya meliputi:

  1. Menjawab tantangan digitalisasi – Mengubah e-purchasing dan e-Kontrak dari pilihan menjadi kewajiban untuk mempercepat, mempermudah, dan memperjelas setiap tahapan PBJP.
  2. Mendorong pertumbuhan industri lokal dan UMKM – Melalui kuota 40% untuk UMKM, sistem pelapisan TKDN, dan preferensi harga, sehingga anggaran negara benar-benar ikut memperkuat ekonomi domestik.
  3. Meningkatkan efisiensi dan transparansi – Dengan menaikkan batas pengadaan langsung konstruksi menjadi Rp 400 juta dan mewajibkan digitalisasi seluruh dokumen, pemerintah mengurangi beban administratif dan memperjelas jejak audit.
  4. Meningkatkan fleksibilitas dalam kondisi darurat – Kewenangan PA/KPA diperluas agar pemerintah dapat merespons bencana atau pandemi tanpa terhambat aturan lama yang kaku.
  5. Memperkuat kapasitas SDM dan kelembagaan – Sertifikasi PPK berbasis tipologi dan pembentukan UKPBJ yang terstandar memastikan kualitas sumber daya manusia pengadaan meningkat di semua tingkatan.
  6. Memperhatikan aspek keberlanjutan dan etika – Melalui prioritas produk ramah lingkungan, SNI, dan aturan konflik kepentingan yang lebih ketat, PBJP diarahkan untuk ramah sosial dan ekologis.
  7. Memperkuat pengawasan dan akuntabilitas – Indeks kepatuhan PDN/UMKM, jaminan pelaksanaan wajib, pengaduan digital, dan sanksi disipliner menjadikan PBJP lebih bertanggung jawab dan minim risiko penyimpangan.

Dengan memahami motivasi strategis ini, pembaca dapat menangkap bahwa Perpres 46/2025 adalah bagian dari upaya pemerintah untuk:

  • Mengelola anggaran publik secara lebih cerdas (smart spending),
  • Mempercepat target pembangunan nasional,
  • Memperkuat kemandirian ekonomi Indonesia,
  • Memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien, dan berkelanjutan.

Semoga penjelasan di atas membantu berbagai pihak-mulai dari pejabat pemerintah hingga pelaku usaha dan masyarakat umum-untuk memahami latar belakang strategis Perpres 46/2025 dan mempersiapkan diri untuk implementasinya secara optimal.

Daftar Pustaka (Sumber Citasi):

  • Telaah Mendalam Perpres 46/2025, JDIH LKPP.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Tim LPKN

LPKN Merupakan Lembaga Pelatihan SDM dengan pengalaman lebih dari 15 Tahun. Telah mendapatkan akreditasi A dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Pemegang rekor MURI atas jumlah peserta seminar online (Webinar) terbanyak Tahun 2020

Artikel: 919

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *