Sinergi Dinkes dan BLUD dalam Pengadaan Alkes Daerah

Pengantar: Mengapa sinergi ini penting?

Pengadaan alat kesehatan (alkes) di tingkat daerah bukan perkara sepele. Alkes menentukan kemampuan fasilitas kesehatan – mulai dari puskesmas sampai rumah sakit daerah – untuk memberikan layanan yang aman dan tepat. Ketika alat tidak tersedia, rusak, atau tidak sesuai standar, layanan kesehatan bisa terganggu dan pasien menjadi pihak yang paling dirugikan. Karena itu, proses pengadaan alkes harus dilakukan dengan cermat, cepat, dan bertanggung jawab.

Di banyak daerah ada dua pihak utama yang kerap berurusan dengan pengadaan alkes: Dinas Kesehatan (Dinkes) dan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) – misalnya rumah sakit BLUD atau laboratorium BLUD. Dinkes punya peran merencanakan kebutuhan kesehatan publik dan mengawasi pelayanan. BLUD, sebagai unit layanan yang diberi fleksibilitas keuangan, sering menjalankan proses pengadaan sendiri agar layanan tidak terganggu. Keduanya punya tujuan sama: memastikan fasilitas kesehatan punya alkes yang memadai. Namun perbedaan fungsi dan aturan bisa menyebabkan tumpang tindih atau celah komunikasi.

Artikel ini membahas bagaimana Dinkes dan BLUD bisa bersinergi secara praktis dalam pengadaan alkes. Bahasa dibuat sederhana supaya perangkat daerah, staf rumah sakit, hingga masyarakat umum dapat mengikuti. Kita akan bahas peran masing-masing, prinsip sinergi yang harus dijaga, prosedur praktis yang bisa diterapkan, risiko yang perlu diantisipasi, contoh kasus sederhana, serta tips dan rekomendasi yang mudah dipraktikkan. Tujuannya satu: membantu memastikan alkes tiba tepat waktu, berkualitas, dan bisa dipertanggungjawabkan – tanpa mengorbankan transparansi atau akuntabilitas.

Selanjutnya kita mulai dengan menjelaskan peran dan tanggung jawab Dinkes dan BLUD agar pembaca memahami kerangka kerja sebelum masuk ke praktik sinergi.

Peran Dinkes dan BLUD: siapa melakukan apa?

Untuk merancang sinergi yang baik, penting memahami peran masing-masing. Dinkes dan BLUD memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda namun saling melengkapi.

Dinas Kesehatan (Dinkes) bertugas merumuskan kebijakan kesehatan daerah, merencanakan kebutuhan kesehatan publik, dan melakukan pengawasan. Dalam konteks pengadaan alkes, Dinkes membuat rencana kebutuhan skala wilayah (misalnya: berapa ventilator yang diperlukan untuk beberapa fasilitas, standar minimal per puskesmas, atau program imunisasi yang memerlukan alat tambahan). Dinkes juga mengumpulkan data epidemiologi dan proyeksi kebutuhan sehingga pengadaan dapat diarahkan pada prioritas kesehatan.

BLUD-sebagai unit layanan yang mengelola sendiri pendapatan dan pengeluaran-biasanya berada di garis depan pelayanan. Rumah sakit BLUD, laboratorium BLUD, atau unit layanan lainnya lebih memahami kebutuhan operasional harian: spesifikasi teknis alat yang pas, vendor yang terpercaya, serta kebutuhan perawatan dan kalibrasi. BLUD sering memiliki fleksibilitas untuk melakukan pembelian cepat (penunjukan langsung atau proses internal) bila dibutuhkan demi kelancaran layanan.

Karena peran ini berbeda, sinergi yang baik memerlukan pembagian tugas jelas: Dinkes bertanggung jawab pada perencanaan strategis, standar minimal, dan pengawasan kepatuhan; BLUD bertanggung jawab pada perencanaan operasional alat, pelaksanaan pengadaan, serta pemeliharaan. Namun pembagian ini bukan mekanis – harus ada komunikasi dua arah: BLUD memberi masukan teknis ke Dinkes, dan Dinkes memberi arahan kebijakan serta memastikan pengadaan sejalan dengan prioritas kesehatan daerah.

Selanjutnya kita bahas mengapa pengadaan alkes butuh perhatian khusus dibanding pengadaan barang umum.

Mengapa pengadaan alkes berbeda dan butuh perhatian khusus?

Alkes bukan barang biasa. Beberapa hal membuat pengadaan alkes memerlukan perhatian ekstra.

  1. Sifat teknis dan keselamatan. Banyak alat medis punya standar keselamatan dan spesifikasi teknis yang ketat. Salah memilih alat bisa berisiko langsung terhadap keselamatan pasien – misalnya alat diagnosa yang tidak akurat atau alat steril yang tidak memenuhi standar.
  2. Ketersediaan suku cadang dan layanan purna jual. Alkes sering memerlukan pemeliharaan berkala dan suku cadang khusus. Memilih alat tanpa mempertimbangkan dukungan purna jual lokal dapat membuat alat cepat tidak berfungsi karena suku cadang lama datang atau teknisinya tidak ada.
  3. Regulasi dan sertifikasi. Sebagian alkes harus punya sertifikat tertentu atau izin edar dari otoritas kesehatan. Pengadaan tanpa memastikan status sertifikasi berisiko pelanggaran hukum maupun keselamatan layanan.
  4. Dampak biaya jangka panjang. Alkes mungkin murah di harga awal tetapi memerlukan biaya operasional besar (mis. biaya kalibrasi, konsumabel, listrik). Evaluasi total cost of ownership – biaya kepemilikan selama masa pakai – sangat penting.
  5. Ketersediaan vendor dan pasar. Beberapa alat bersifat spesifik dan hanya dapat dipasok oleh sedikit vendor. Ini mempengaruhi metode pengadaan dan negosiasi harga.

Karena faktor-faktor ini, sinergi antara Dinkes (yang punya visi kesehatan) dan BLUD (yang tahu kebutuhan operasional) menjadi penentu. Perencanaan bersama bisa memastikan spesifikasi alat tepat, dukungan purna jual tersedia, dan pembelian sesuai anggaran serta aturan. Di bagian berikutnya kita akan membahas prinsip-prinsip sinergi yang sebaiknya menjadi pegangan.

Prinsip sinergi yang harus dijaga antara Dinkes dan BLUD

Agar kerja sama efektif dan tidak menimbulkan masalah, beberapa prinsip sederhana harus dijaga. Prinsip-prinsip ini berguna sebagai panduan etis dan praktis dalam setiap tahap pengadaan.

  1. Komunikasi dua arah: Dinkes harus rutin meminta masukan teknis dari BLUD tentang kebutuhan nyata di lapangan. Demikian pula BLUD wajib memberi informasi awal tentang masalah teknis, ketersediaan stok, dan status alat. Pertemuan berkala (misal triwulan) dan catatan rapat meminimalkan miskomunikasi.
  2. Pembagian tanggung jawab yang jelas: Tentukan secara tertulis siapa memimpin perencanaan, siapa memimpin lelang atau pembelian, dan siapa bertanggung jawab pemeliharaan. Dokumen pembagian tugas membantu menghindari tumpang tindih kewenangan.
  3. Standar teknis dan etika bersama: Dinkes menetapkan standar minimal dan persyaratan keselamatan. BLUD memastikan spesifikasi operasional terpenuhi. Keduanya sepakat pada etika pengadaan: transparansi, kompetisi, dan pencegahan konflik kepentingan.
  4. Perencanaan berbasis data: Keputusan pengadaan harus didasari data kebutuhan nyata (consumption data, epidemiologi, kapasitas layanan). Hindari pembelian berdasarkan asumsi semata.
  5. Fokus pada keberlanjutan: Evaluasi total cost of ownership, dukungan purna jual, ketersediaan suku cadang, dan kemampuan teknisi lokal harus menjadi pertimbangan dalam memilih alat.
  6. Kepatuhan terhadap aturan dan audit: Proses sinergi tetap harus memenuhi aturan pengadaan daerah dan nasional. Semua keputusan didokumentasikan agar mudah diaudit.
  7. Pelibatan pihak ketiga bila perlu: Untuk alat khusus, libatkan tim ahli atau konsultan independen agar evaluasi teknis objektif.
  8. Pelatihan dan transfer kapasitas: BLUD dan Dinkes harus membuat rencana pelatihan teknis bagi pengguna alat dan teknisi pemeliharaan.

Dengan memegang prinsip-prinsip ini, sinergi jadi terukur dan risiko berkurang. Selanjutnya kita uraikan kapan BLUD lebih tepat memimpin pengadaan dan kapan Dinkes perlu mengambil peran sentral.

Kapan BLUD memimpin, kapan Dinkes mengambil peran?

Praktik pembagian peran harus fleksibel namun jelas. Ada situasi di mana BLUD paling tepat memimpin pengadaan, dan ada momen Dinkes perlu terlibat langsung atau memimpin proses.

BLUD memimpin bila:

  • Kebutuhan operasional mendesak: Contoh: ventilator rusak saat banyak pasien; BLUD perlu cepat bertindak untuk membeli atau menyewa alat pengganti agar layanan tidak berhenti.
  • Anggaran berasal dari BLUD: Jika dana yang dipakai merupakan pendapatan BLUD, maka BLUD memegang kewenangan lebih besar dalam proses pengadaan.
  • Alat bersifat sangat teknis untuk unit tertentu: BLUD tahu spesifikasi teknis, preferensi merk, dan kebutuhan teknis sehari-hari sehingga mereka lebih cepat menentukan spesifikasi yang tepat.
  • Suplai lokal dan purna jual relevan: BLUD yang sudah punya pengalaman dengan vendor tertentu mungkin lebih mampu menilai dukungan purna jual.

Dinkes memimpin bila:

  • Pengadaan berskala wilayah atau pusat distribusi: Misalnya program imunisasi provinsi yang memerlukan pembelian massal, Dinkes perlu memimpin agar distribusi ke seluruh fasilitas merata.
  • Butuh harmonisasi standar di banyak BLUD/puskesmas: Dinkes menetapkan standar teknis agar peralatan setara di berbagai fasilitas.
  • Anggaran bersumber dari APBD sentral atau program khusus: Bila alokasi anggaran dari Dinkes atau pusat, Dinkes biasanya memimpin proses perencanaan dan penyusunan RUP (Rencana Umum Pengadaan).
  • Perlu koordinasi lintas sektor: Misalnya pengadaan alat yang menyangkut beberapa dinas (kesehatan dan pendidikan untuk alat lab sekolah kesehatan).

Kunci utamanya: pilih pemimpin proses berdasarkan skala, sumber dana, urgensi, dan kebutuhan teknis. Namun, apa pun yang diputuskan, harus ada komunikasi dan persetujuan tertulis antara Dinkes dan BLUD agar akuntabilitas terjaga.

Prosedur praktis: langkah-langkah sinergi Dinkes-BLUD dalam pengadaan alkes

Agar sinergi tidak sekadar wacana, berikut langkah praktis yang bisa dipakai sebagai panduan operasi. Langkah ini sederhana dan bisa diterapkan di banyak daerah.

  1. Perencanaan bersama awal
    • Awali tahun anggaran dengan rapat koordinasi antara Dinkes dan semua BLUD terkait. Kumpulkan data kebutuhan: stok, kondisi alat, proyeksi layanan. Hasil rapat menjadi input RUP daerah untuk alkes.
  2. Penyusunan spesifikasi teknis bersama
    • BLUD menyusun rancangan spesifikasi teknis berdasarkan kebutuhan operasional. Dinkes memberikan review agar sesuai standar regional/nasional. Dokumen final disetujui bersama.
  3. Penentuan metode pengadaan
    • Tentukan metode: lelang terbuka, tender terbatas, penunjukan langsung (untuk kasus khusus), atau pengadaan terpusat (oleh Dinkes). Pertimbangkan nilai paket, ketersediaan penyedia, dan urgensi.
  4. Pembagian peran saat pelaksanaan
    • Jika BLUD melaksanakan pengadaan, Dinkes tetap mendapat salinan dokumen, mengikuti proses evaluasi sebagai pengawas teknis bila diperlukan. Jika Dinkes memimpin, BLUD diberi kesempatan memberi masukan teknis selama evaluasi.
  5. Pengawasan dan quality control (QC)
    • Setelah pemenang ditetapkan, buat tim QC gabungan untuk penerimaan barang: perwakilan BLUD, teknisi, dan perwakilan Dinkes. Catat hasil uji fungsi, dokumentasi garansi, dan SOP pemakaian.
  6. Perencanaan pemeliharaan dan suku cadang
    • Sertakan perjanjian purna jual dan jadwal pemeliharaan dalam kontrak. BLUD menyiapkan jadwal pemeliharaan operasional, Dinkes mengawasi pemenuhan standar pemeliharaan untuk fasilitas lain bila alat didistribusikan.
  7. Pelatihan pengguna dan teknisi
    • Vendor diwajibkan memberi pelatihan penggunaan dan perawatan. Dinkes dan BLUD memastikan modul pelatihan tersusun dan peserta terdata.
  8. Monitoring penggunaan dan evaluasi rutin
    • Adakan monitoring berkala: laporan pemakaian, downtime, dan kebutuhan suku cadang. Hasil monitoring menjadi masukan perbaikan untuk pengadaan selanjutnya.
  9. Dokumentasi lengkap
    • Simpan kontrak, manual, sertifikat, dan bukti uji fungsi secara terpusat yang bisa diakses oleh Dinkes dan BLUD bila perlu audit.

Prosedur ini mengutamakan kolaborasi di setiap tahapan, sehingga pengadaan bukan hanya selesai sampai barang diterima, tetapi berkelanjutan melalui pemeliharaan dan evaluasi.

Risiko, kendala, dan cara mitigasinya

Sinergi tidak selalu mulus. Beberapa risiko dan kendala nyata bisa muncul. Berikut yang umum terjadi dan cara praktis menanganinya.

  1. Risiko tumpang tindih kewenangan
    • Mitigasi: buat nota kesepahaman (MoU) atau pedoman teknis yang menjelaskan pembagian wewenang; sertakan alur persetujuan tertulis agar tidak ada ambiguitas.
  2. Keterlambatan pengiriman atau kualitas tak sesuai
    • Mitigasi: cantumkan klausa penalti dan garansi dalam kontrak; lakukan uji fungsi pada penerimaan; jangan bayarkan lunas sebelum alat difungsikan.
  3. Konflik kepentingan
    • Mitigasi: terapkan aturan etika dan deklarasi konflik kepentingan; tender menggunakan mekanisme elektronik bila memungkinkan untuk mengurangi intervensi.
  4. Kurangnya dukungan purna jual lokal
    • Mitigasi: pilih vendor yang punya layanan purna jual di area terdekat atau cantumkan kewajiban penyedia menyediakan suku cadang selama periode tertentu.
  5. Keterbatasan sumber daya manusia teknis
    • Mitigasi: investasi pada pelatihan teknisi lokal; buat skema rotasi teknisi antar fasilitas untuk transfer pengetahuan.
  6. Masalah anggaran
    • Mitigasi: rencanakan anggaran cadangan untuk perawatan dan suku cadang; pertimbangkan pembelian secara bertahap bila nilai besar.
  7. Perbedaan prioritas antara Dinkes dan BLUD
    • Mitigasi: tetapkan forum koordinasi reguler dan mekanisme pengambilan keputusan bersama berdasarkan data kebutuhan.

Dengan mengantisipasi risiko ini dan memiliki rencana mitigasi, sinergi akan lebih tangguh dan responsif saat masalah muncul.

Contoh kasus hipotetis: dua skenario sederhana

Agar lebih mudah dipahami, berikut dua contoh kasus hipotetis yang menunjukkan praktik sinergi yang baik dan yang bermasalah.

Kasus A – Sinergi yang efektif

Sebuah rumah sakit BLUD di kabupaten membutuhkan mesin EKG baru. BLUD mengusulkan kebutuhan ke Dinkes saat rapat perencanaan triwulanan. Dinkes meminta kajian kebutuhan per distrik dan menyetujui pengadaan terpusat untuk mendapatkan harga lebih baik. Spesifikasi disusun bersama, proses tender dilakukan, pemenang ditetapkan, dan vendor memberi pelatihan teknisi serta garansi dua tahun. Tim QC gabungan melakukan uji fungsi sebelum pengadaan dibayar penuh. Hasil: mesin berfungsi baik, teknisi lokal terlatih, dan beberapa puskesmas mendapat unit cadangan sesuai hasil perencanaan.

Kasus B – Kurangnya koordinasi menimbulkan masalah

Di kota lain, BLUD membeli alat laboratorium secara mandiri karena kebutuhan mendesak. Namun spesifikasi tidak melihat ketersediaan suku cadang lokal. Alat tiba cepat, tetapi suku cadang rusak dan harus diimpor sehingga downtime lama. Selain itu, Dinkes tidak pernah menerima laporan pembelian sehingga tidak bisa menyesuaikan alokasi servis lintas fasilitas. Akibatnya layanan terganggu dan anggaran perbaikan membengkak.

Dua kasus ini menyorot pentingnya perencanaan bersama dan pertimbangan purna jual – aspek utama sinergi antara Dinkes dan BLUD.

Tips praktis untuk Dinkes dan BLUD agar sinergi berjalan lancar

Berikut daftar tips sederhana yang bisa langsung dipraktikkan oleh staf Dinkes dan BLUD.

  1. Rutinkan pertemuan koordinasi (minimal triwulan) untuk sinkronisasi kebutuhan dan status alat.
  2. Buat daftar kebutuhan terprioritaskan berdasarkan data penggunaan dan risiko layanan.
  3. Sertakan klausul purna jual (garansi, suku cadang, pelatihan teknis) dalam kontrak.
  4. Wajibkan uji fungsi saat penerimaan sebelum pembayaran final.
  5. Dokumentasikan semua keputusan: MoU, notulen rapat, dan persetujuan teknis.
  6. Gunakan sistem manajemen aset sederhana (spreadsheet atau aplikasi) untuk track aset, masa garansi, dan jadwal pemeliharaan.
  7. Libatkan teknisi awal saat menyusun spesifikasi agar kebutuhan teknis nyata terserap.
  8. Sediakan anggaran pemeliharaan minimal 10-15% dari nilai pengadaan untuk suku cadang dan servis tahunan (angka ilustratif, disesuaikan kondisi).
  9. Jaga transparansi terhadap DPRD dan publik lewat laporan ringkas tentang pengadaan alkes penting.
  10. Bangun jejaring vendor terpercaya sehingga respons purna jual lebih cepat.

Tips ini bertujuan membuat sinergi praktis dan berkelanjutan.

Peran masyarakat, DPRD, dan pengawasan eksternal

Masyarakat dan lembaga pengawas punya peran penting dalam memastikan pengadaan alkes berjalan bersih dan efektif. DPRD dapat meminta laporan pengadaan, menanyakan penggunaan anggaran dan kualitas alat. Laporan publik yang ringkas memudahkan kontrol sosial: warga tahu fasilitas apa yang tersedia dan dapat melaporkan bila layanan terganggu.

LSM, asosiasi profesi kesehatan, dan kelompok pasien juga bisa memberi masukan teknis atau pengalaman pengguna. Misalnya masukan pasien tentang alat yang sering rusak membantu Dinkes dan BLUD menilai vendor atau pola perawatan. Transparansi data dasar-seperti nilai kontrak, penyedia, dan lokasi penempatan alat-membantu publik menilai kinerja pemerintah daerah.

Pengawasan eksternal (audit inspektorat atau BPK) penting untuk menilai kepatuhan regulasi. Untuk memudahkan audit, Dinkes dan BLUD harus menjaga dokumentasi rapi: kontrak, bukti uji fungsi, jadwal pemeliharaan, dan laporan pembelian suku cadang. Keterbukaan bukan sekadar formalitas – ia membantu membangun kepercayaan publik yang sangat dibutuhkan dalam layanan kesehatan.

Kesimpulan dan rekomendasi ringkas

Sinergi antara Dinkes dan BLUD dalam pengadaan alkes adalah keharusan jika tujuan utama adalah layanan kesehatan yang andal, aman, dan berkelanjutan. Dinkes membawa visi kesehatan wilayah, standar, dan pengawasan; BLUD membawa pengetahuan operasional dan fleksibilitas pelaksanaan. Ketika keduanya berkoordinasi: spesifikasi tepat, proses pengadaan efisien, dukungan purna jual terjamin, dan layanan publik berjalan baik.

Rekomendasi praktis singkat:

  1. Buat forum koordinasi rutin dan nota kesepahaman pembagian tugas.
  2. Susun spesifikasi teknis bersama dan wajibkan uji fungsi sebelum pembayaran.
  3. Cantumkan klausul purna jual dan pelatihan teknis dalam kontrak.
  4. Gunakan data nyata untuk perencanaan kebutuhan dan alokasikan anggaran pemeliharaan.
  5. Dokumentasikan semua langkah agar mudah diaudit dan dilaporkan ke publik.

Dengan langkah-langkah sederhana ini, Dinkes dan BLUD bisa mengubah pengadaan alkes dari proses yang rawan masalah menjadi sistem yang responsif, transparan, dan fokus pada keselamatan pasien.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Tim LPKN

LPKN Merupakan Lembaga Pelatihan SDM dengan pengalaman lebih dari 15 Tahun. Telah mendapatkan akreditasi A dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Pemegang rekor MURI atas jumlah peserta seminar online (Webinar) terbanyak Tahun 2020

Artikel: 1055

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *