Tinggi rendahnya minat baca menentukan kualitas sebuah bangsa. Sebab membaca adalah kunci untuk memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban. Sayangnya, tak sedikit orang yang menganggap bahwa membaca adalah kegiatan paling membosankan.
Alih-alih membolak balik halaman buku, orang-orang lebih suka membuka laman sosial media seharian penuh, dari bangun tidur hingga akan berangkat tidur lagi. Di ranah pendidikan, baik guru maupun siswa-siswi, yang menjadikan membaca sebagai kegiatan pengisi waktu luang bisa dihitung dengan jari. Perpustakaan sekolah kosong, hanya diisi satu dua pengunjung setiap harinya. Hampir di semua sektor kehidupan, masyarakat kehilangan minat pada bacaan. Padahal, buku-buku bacaan yang menarik dan berkualitas bisa dipinjam secara bebas di perpustakaan.
Ini dibuktikan dengan studi yang dilakukan oleh UNESCO, bahwa dari 1000 masyarakat Indonesia, hanya ada satu orang yang rajin membaca. Bahkan berdasarkan studi yang dilakukan Central Connectitut State University di tahun 2016 silam, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara dengan minat baca paling rendah. Maka wajar jika saat ini kemajuan bangsa kita jauh tertinggal dari negara-negara lain yang menjadikan minat baca sebagai detak jantung dan nafas mereka.
Agar Perpustakaan Tak Pernah Mati
Untuk menggenjot minat baca masyarakat, pemerintah mendirikan perpustakaan di tiap kecamatan. Akan tetapi yang terjadi adalah perpustakaan berdiri layaknya kuburan, sepi pengunjung. Apalagi disaat pandemi seperti sekarang ini, tak tampak adanya kehidupan di banyak perpustakaan daerah.
Kemajuan teknologi juga menjadi salah satu faktor hilangnya nafas perpustakaan. Kemudahan akses membaca secara digital lewat satu ketukan di layar ponsel, juga semakin gampangnya membeli buku-buku terbaru secara online, membuat ramai orang tak lagi mengandalkan perpustakaan yang koleksi bukunya bisa dikatakan tidak up to date. Itu ke itu saja.
Mungkin pemerintah perlu menggelontorkan anggaran besar untuk perpustakaan, agar para pegiat perpus bisa melakukan revolusi besar-besaran sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Tak hanya menambah koleksi buku terbaru, tapi suasana perpustakaan juga perlu dibuat lebih nyaman untuk semua kalangan, baik anak-anak, maupun orang dewasa.
Selama ini, perpustakaan mendapat kesan yang agak menyeramkan bagi banyak orang. Aturan kaku seperti larangan mengobrol saat berada dalam ruangan perpus, tidak boleh membawa makanan, dan lain sebagainya sebaiknya dihilangkan. Wajah baru perpustakaan yang lebih santai akan menarik banyak orang. Perpustakaan bisa menjadi pusat diskusi yang asyik, ramah bagi anak balita, serta menjadi pusat segala kegiatan untuk menyemarakkan literasi.
Di samping itu, perlu kiranya ada perubahan jam kunjung. Selama ini perpustakaan di daerah hanya buka mengikuti jam kantor, padahal banyak para pekerja yang memiliki keinginan besar untuk melakukan kunjungan ke perpustakaan, tapi terkendala di masalah waktu. Untuk itu perlu juga bagi perpustakaan daerah untuk memberlakukan jam buka pada hari-hari libur.
PERPUSTAKAAN PUSAT PERADABAN
Indonesia dengan mayoritas muslim di dalamnya bisa belajar kepada masa lalu. Dalam dunia Islam, membaca adalah tradisi yang pantang untuk ditinggalkan. Menuntut ilmu harus dimulai sejak dalam buaian. Betapa semangat “IQRA” memacu umat muslim sejak abad ke sembilan masehi menjadi mercusuar peradaban dunia. Kitabullah dan Hadits rasulullah mendorong umat Islam untuk senantiasa mengejar ilmu. “Barangsiapa yang melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu, akan Allah mudahkan jalannya menuju surga.” Sehingga tercipta zaman keemasan yang menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan.
Kecintaan terhadap buku dan ilmu pengetahuan telah mengantarkan Khalifah Al-Mansur untuk membangun Perpustakaan Megah yang diberi nama Bait Alhikmah guna mengakomodasi kerja penerjemahan, penyalinan, penelaahan dan menjadi gudang penyimpanan buku yang berasal dari naskah Persia, Sanskerta dan Yunani. Menjadi tempat para cendekiawan dan intelektual yang berasal dari berbagai penjuru daulah berkumpul untuk melestarikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya.
Profesi sebagai penulis dan penerjemah begitu diminati karena mampu meningkatkan status sosial seseorang. Mereka dibayar tinggi dengan emas sesuai berat naskah yang mampu diselesaikannya. Atau karena prestasi intelektualnya, diangkat oleh penguasa sebagai pejabat tinggi bahkan tak jarang menjadi staf observatorium yang ikut dalam berbagai eksperimen ilmiah sang khalifah. Bahkan kecintaan terhadap buku mendorong khalifah Abbasiyah menjadikan kitab Almagest Mahakarya Ptolomaeus sebagai salah satu syarat damai dengan kerajaan Bizantium.
Selain Bait Alhikmah, pada masa Daulah Umayyah II yang berdiri di Andalusia, terdapat 70 perpustakaan yang satu diantaranya merupakan perpustakaan milik khalifah, yang memiliki katalog berjumlah 44 jilid, dimana katalog-katalog ini berisikan beragam buku yang jumlahnya mencapai 600 ribu judul buku. Sementara pada saat yang sama, perpustakaan paling besar di Eropa hanya memiliki empat ratus manuskrip.
Ini membuat para pengunjung dari Kristen Eropa terkagum-kagum saat mengunjungi perpustakaan di Andalusia. Bahkan tradisi-tradisi penting bagi masyarakat barat latin yang telah lama hilang, tersimpan rapi di perpustakaan ini.
Barat pernah dikungkung pemahaman bahwa kitab suci adalah satu-satunya sumber kebenaran dan menganggap pengetahuan dunia sebagai hal tercela. Mereka lalu membakar habis seluruh karya ilmuwan Yunani yang tersimpan di perpustakaan tua Alexandria. Maka umat Islamlah yang pada saat itu gigih dan bersusah payah berburu, mengumpulkan dan menerjemahkan naskah-naskah mereka, menyimpannya dengan rapi di rak-rak perpustakaan kekhilafahan Islam. Sehingga karya-karya Plato, Aristoteles, Hippokrates dan Eukledes masih bisa dibaca sampai hari ini.
Pengetahuan Kunci Perkembangan Teknologi
Awalnya, tradisi menulis, menyalin buku dan peta menggunakan perkamen dari kulit binatang. Ini membutuhkan kerja keras dan proses yang lama. Sebab sebelum digunakan, kulit binatang ini harus dibentangkan, dikeruk hingga bersih, lalu dikeringkan. Ditambah biaya pembuatan yang sangat mahal dan sulit untuk disimpan serta digunakan.
Maka dibangunlah pabrik kertas di Jativa, Spanyol. Kertas mudah didapat dengan harga yang murah. Ini membantu proses pertukaran ide dan ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat. Budaya membaca dan menulis buku tumbuh pesat di kalangan masyarakat Muslim yang menghargai ilmu pengetahuan.
Dengan mudahnya akses pengetahuan ditambah dorongan dari khalifah untuk terus melakukan riset dalam berbagai bidang ilmu, melahirkan banyak ilmuwan muslim dari berbagai disiplin ilmu. Maka kita mengenal Ibnu Sina sebagai Bapak Kedokteran modern yang juga menguasai matematika, fisika, tafsir fiqih, ushuluddin juga ilmu hukum dan politik. Kegigihan dan ketekunannya yang luar biasa dalam menuntut ilmu bisa diteladani dari kisahnya yang membaca Buku “Metaphysics of Aristotle” hingga 40 kali karena kesulitan dalam memahaminya.
Ada Jabir Ibn Hayyan sang pendiri Laboratorium Pertama atau dikenal juga sebagai Bapak Ilmu Kimia yang berhasil menemukan senyawa kimia asam karbida (carbida acid) serta menyumbangkan berbagai teori mengenai sublimasi, penguapan, persenyawaan dan pembutiran.
Islam senantiasa mendorong pemeluknya untuk menyingkap tabir pengetahuan. Mempelajari ilmu pengetahuan untuk menguak misteri semesta. Berbekal dorongan keimanan, umat Islam dituntun untuk mempelajari dunia dan isinya untuk membuktikan kebenaran kalam Illahi. Kejayaan peradaban suatu bangsa dimulai dari kecintaan akan membaca juga kepedulian penguasa akan pentingnya keberadaan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran masyarakat. Karena itu, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian yang besar pada perkembangan perpustakaan di daerah agar kelak keberadaan perpustakaan tak hanya menjadi kenangan sebab telah matinya perpustakaan hari ini.[]