Dunia mulai berubah sejak China melaporkan pada WHO (World Health Organization) pada 31 Desember 2019 lalu bahwa muncul virus corona jenis baru yang dinamai COVID-19 (SARS-CoV-2). Virus ini kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia dan berubah menjadi sebuah pandemi global yang amat mengerikan. Pandemi telah melanggengkan krisis multidimensional dimana tidak seorangpun tahu kapan akan berakhir. Situasi pandemi ini memposisikan Indonesia di antara dua prioritas yang sama pentingnya yaitu kesehatan dan ekonomi. Di satu sisi semua orang ingin pandemi segera berakhir namun di sisi lain perekonomian mulai tumbang dan tanda-tanda resesi ekonomi mulai mencuat ke publik. Di tengah-tengah kondisi masyarakat yang mulai jenuh untuk melakukan segala hal dari rumah, muncul sebauah gagasan untuk hidup berampingan dengan virus COVID-19.
Saat ini protokol kesehatan memang sudah menjadi kebijakan nasional yang wajib ditaati, ditambah Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 sehingga yang semakin menegaskan bahwa protokol kesehatan wajib dilaksanakan saat menjalankan segala aktivitas sehari-hari demi menjaga satu sama lain. Namun dampak dari pandemi kian mencekik masyarakat. Gelombang pengangguran meningkat akibat banyaknya masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri manufaktur maupun jasa, banyak pengusaha yang gulung tikar akibat bisnisnya jatuh, dan fresh graduate masih banyak yang menganggur akibat menipisnya lapangan pekerjaan. Pelajar dan mahasiswa pun terpaksa menjalankan studinya di rumah dengan serba online, KKN online, wisuda online, bahkan untuk mahasiswa baru pun melaksanakan masa orientasi secara online.
Melawan pandemi bukan hanya menjadi tugas pemerintah maupun para medis sebagai garda terdepan dalam perang ini. Semua masyarakat harus bahu membahu dengan apa yang mereka bisa. Para pegawai kantoran bisa bekerja dari rumah, pegiat seni bisa melakukan konser/pameran online, dosen dan guru bisa mengajar melalui video online, dan mahasiswa bisa mengabdi untuk masyarakat. Walaupun sekarang kegiatan perkuliahan masih dilaksanakan secara online, bukan menjadi penghalang mahasiswa untuk mengabdi pada negeri. Mengabdi tidak hanya dengan berperang, tidak melulu tentang mendapat prestasi internasional, melainkan dengan apa yang bisa kita lakukan disaat negara memanggil.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa adanya pandemi ini jelas menimbulkan culture shock bagi masyarakat, tatanan kehidupan sosial budaya mereka berubah dan masyarakat dituntut untuk adaptif terhadapnya. Mahasiswa adalah agen pembangunan bangsa sehingga sudah seyogyanya untuk keluar dari zona nyaman dan melihat keluar jendela bahwa banyak tangan yang membutuhkan uluran kita. Gerakan “Dari Mahasiswa Untuk Masyarakat” rasanya tepat untuk digunakan di saat-saat seperti ini. Banyak sekali yang bisa kita lakukan, terutama memanfaatkan hobi mahasiswa yang gemar menghabiskan waktu di sosial media, kalau kita bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat kenapa tidak?
Pertama, mempertahankan identitas dan kearifan lokal seperti gotong royong, persaudaraan, kebersamaan, solidaritas kelompok, sifat saling menghargai, etika sopan santun dan saling menghormati (nilai sosial, nilai religius, nilai kultural, nilai estetis, nilai etika) adalah budaya yang harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Di tengah pandemi seperti sekarang, rutinitas kebersamaan seperti kumpul keluarga, arisan ibu rumah tangga, atau jaga ronda oleh bapak-bapak mungkin akan terhenti. Namun, ini adalah momen yang tepat untuk sebuah keluarga kembali merekatkan hubungannya yang mungkin renggang akibat kesibukannya masing-masing. Disini mahasiswa bisa memulainya dari keluarganya sendiri. Manfaatkan waktu di rumah untuk quality time, ajak keluarga memasak lalu makan bersama di satu tempat. Melakukan obrolan ringan dengan anggota keluarga bisa melepaskan energi negatif yang terkungkung di otak.
Menurut psikolog Anna Surti Ariani, M.Si, banyak keluarga yang tinggal serumah kerap menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan anggota keluarganya begitu saja. Akibatnya, momen-momen berharga seperti saling mencurahkan perasaan atau berperan serta secara langsung dalam tumbuh kembang anak terlewatkan tanpa makna. Sebagai mahasiswa, setidaknya kita bisa berbagi perspektif kepada keluarga tentang masalah yang terjadi dan bagaimana kita menilainya. Misalnya saat kita berorganisasi lalu dilanda kesulitan, ceritakan bagaimana kita menyelesaikannya, dan apa hikmah yang didapat. Kegiatan ini disebut juga dengan brainstorming. Disini orang tua bisa juga bercerita tentang pengalaman yang tak ada hubungannya dengan konflik yang sedang terjadi dan berikan waktu pada anak untuk menelusuri konflik dari berbagai sudut pandang dan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Dengan begitu komunikasi keluarga akan lebih berkualitas, dan bisa saling menguatkan untuk terus semangat menjalani hari-hari di era New Normal seperti sekarang.
Kedua, telah terjadi migrasi media dari kebudayaan konvensional seperti bersalaman dan bertatap muka diubah menjadi serba online dengan melalui berbagai macam platform media social, namun tentunya tanpa mengesampingkan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang harus tetap bersosial. Untuk menjaga silaturahmi dan rasa kekeluargaan antar sesama, kita sebagai mahasiswa bisa membuatkan forum diskusi di aplikasi chat WhatsApp yang mayoritas orang miliki. Grup chat tersebut menjadi pengganti pertemuan-pertemuan rutin yang biasa diadakan, Selain untuk wadah komunikasi dan sarana berkabar, mahasiswa akan menjadi admin sekaligus menjadi “reporter” dalam arti aktif memberikan informasi dan perkembangan terkini soal COVID-19, arus perekonomian dan transportasi, berita tentang kesehatan, dan info-info terkini lainnya. Di grup ini sebagaimana mungkin dimanfaatkan untuk memberi edukasi pada warga sekitar kita, agar tidak mudah termakan hoax yang sering berseliweran di grup-grup chat orang tua. Mahasiswa wajib melakukan riset sebelum menyampaikan berita ke grup, sehingga bisa sekaligus melakukan sosialisasi online dan warga yang tergabung dalam grup itu bisa melakukan tanya jawab pada mahasiswa. Harapannya warga di sekitar kita bisa teredukasi, mendapat informasi yang faktual, serta open minded terhadap lingkungan.
Selain grup WhatsApp untuk warga sekitar, mahasiswa juga bisa membuat grup khusus untuk para pedagang atau petani sekitar tempat tinggal kita yang pemasukannya terdampak pandemi. Dalam grup itu kita bisa memberi saran agar mereka membuka toko online agar target pemasarannya lebih luas. Kita ajarkan juga bagaimana cara daftar e-commerce, cara menjalankannya, dan cara promosinya. Atau jika dirasa masih terlalu rumit untuk pemula, kita bisa ajarkan cara promosi barang dagangan mereka lewat grup dan story di WhatsApp. Bantu siapkan konten yang menarik, misalkan foto dan video yang diedit sedemikian rupa, kalimat yang digunakan untuk menarik konsumen, serta tips and trick yang kita rangkum dari ahli atau wirausahawan sukses. Grup tersebut sekaligus menjadi tempat sharing antar pedagang dan petani yang bisa saling memberi semangat satu sama lain.
Jika kita ingin terjun langsung membantu pedagang/ petani dalam berjualan, maka solusinya adalah mahasiswa bisa membuat satu toko online yang berisikan barang-barang dagangan dan hasil bumi para petani. Mahasiswalah yang nantinya mengoperasikan toko online tersebut, sedangkan proses pengemasan dan pengantaran bisa dilakukan oleh para pedagang/ petani itu sendiri. Mahasiswa membantu sembari belajar bersama dan mengajarkan para pedagang/ petani berjualan secara online sampai nantinya mereka bisa melakukannya secara mandiri.
Salah satu pihak yang tidak luput dari dampak pandemi ini adalah pelajar. Untuk pelajar SMP dan SMA sudah lebih mandiri untuk belajar dan tanggung jawab terhadap sekolahnya. Tetapi untuk pelajar SD dan TK bisa dipastikan masih sulit konsentrasi dan enggan dipaksa untuk belajar apalagi secara online tanpa bertemu dengan teman-teman mereka. Akhirnya banyak orang tua terutama para ibu yang kewalahan karena tiba-tiba harus menjadi guru semua pelajaran untuk anaknya, belum lagi harus mengurus kebutuhan rumah tangga yang tidak sedikit. Tidak semua orang tua berpendidikan tinggi dan mampu menggantikan guru di sekolah, kekhawatiran yang akhirnya muncul adalah anak tidak menangkap materi dan menganggap sekolah di rumah sebagai liburan.
Sebagai mahasiswa kita tidak boleh tinggal diam. Kita bisa menjadi guru les untuk adik-adik TK dan SD di sekitar rumah kita. Tidak perlu setiap hari, cukup 2 sampai 3 kali seminggu kita melakukan les untuk pelajaran yang dirasa perlu. Kita juga bisa membantu menyelesaikan tugas mereka. Sistemnya bisa secara online atau jika diperlukan offline dengan kita yang datang ke rumah mereka yang tentunya harus menerapkan protokol kesehatan. Untuk sistem online kita bisa membuat grup WhatsApp untuk berkomunikasi dengan para siswa yang harus didampingi orang tuanya, atau agar tidak bosan kita bisa melakukan video meeting. Di sela-sela pelajaran sebaiknya kita menyelipkan ice breaking agar anak-anak tidak stress dan senang menjalani sekolah online. Lalu untuk sistem offline bisa dikhususkan untuk pelajaran matematika misalnya yang perlu diajarkan dengan ketelitian, para siswa juga harus tetap jaga jarak ketika les offline.
Walaupun kita mahasiswa belum bisa menggantikan guru yang sesungguhnya, tapi setidaknya kita bisa membantu orang tua yang merasa kesulitan dan kebingungan membagi waktu antara sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga belum lagi jika orang tua tersebut juga bekerja maka ada kemungkinan anak-anak akan terlantar. Hadirnya mahasiswa sebagai guru les disini juga menjadi figur kakak yang menjadi contoh adik-adiknya, sehingga kita bisa sekaligus menjelaskan kenapa kita harus melakukan segala aktivitas serba online, kenapa harus menggunakan masker, kenapa harus sering cuci tangan dan sebagainya dengan cara yang menyenangkan.
Ketiga, menormalisasi segala perubahan yang tidak bisa kembali seperti semula sebagai dampak kebudayaan baru yang muncul akibat hadirnya kondisi tidak terduga seperti pandemi. Pandemi COVID-19 secara tidak sadar merubah persepsi dan hubungan dalam masyarakat yang awalnya cenderung individualis dan kapitalis yang didominasi oleh masyarakat urban kini masyarakat mulai mengesampingkan kepentingan pribadi dan mulai muncul rasa solidaritas antar sesama demi menyatukan kekuatan untuk melawan virus COVID-19. Pada saat ini, perasaan satu rasa dan satu nasib menjadi sebuah kekuatan emosi yang kasat mata.
Cara berpikir evolusioner inilah yang bisa mahasiswa taburkan. Dengan pendekatan budaya evolusioner menjadi salah satu cara untuk bisa beradaptasi di masa New Normal dengan bijak. Kita bisa membuat poster, video, atau spanduk yang menyuarakan agar masyarakat tetap optimis dalam menjalani hidup dengan kebiasaan baru yang harus dijalani. Mahasiswa harus merangkul aliansi mahasiswa se-Indonesia bahkan seluruh dunia untuk ikut menyuarakan positivity berpikir hidup secara evolusioner. Manfaatkan organisasi yang diikuti oleh mahasiswa, suara mahasiswa memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Maka dari itu kita harus mengajak masyarakat untuk mulai beralih dari kehidupan dan kebiasaan sebelum adanya pandemi, dan bersiap menjalani segala hal yang baru dan asing.
Solidaritas dan bahu membahu harus dilakukan, ego pribadi harus diurungkan. Sudah saatnya membuka mata dan bersiap beradaptasi dengan budaya kehidupan yang baru. Bantuan kecil yang dapat diimplementasikan mahasiswa terhadap masyarakat seperti yang dijelaskan di atas mungkin tidak seberapa sekarang, namun di masa yang akan datang hal tersebut akan menjadi pembelajaran bagi anak cucu kita. Bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sekecil dan sesederhana apapun. Dengan demikian, harapannya setiap orang siap berhadapan dengan tantangan hidup di era New Normal dengan mindset yang telah lebih maju, positif, dan penuh dengan rasa optimis.