Ramadan 1442 Hijriyah sudah datang, suara petasan pun mulai terdengar. Para umat muslim tetap berbondong-bondong menyambutnya meskipun di tengah keterbatasan karena masih dalam masa pandemi Covid-19. Semangat beribadah kembali meningkat terlebih karena sudah boleh beribadah di masjid untuk daerah yang masuk kategori zona kuning dan hijau.
Penyambutan bulan Ramadan bukanlah hal yang berlebihan karena seperti yang kita ketahui bulan tersebut adalah bulan istimewa bagi umat muslim. Mereka akan menjalani ibadah puasa selama satu bulan penuh. Bulan tersebut terasa istimewa karena setiap amalan akan mendapat pahala yang berlipat.
Penyambutan bulan Ramadan kita wujudkan dengan melakukan bersih-bersih masjid dan lingkungannya. Selain itu, penyediaan sarana cuci tangan pun dilengkapi agar bisa beribadah dengan tetap menaati protokol kesehatan. Para pengurus masjid atau takmir pun mempersiapkan serangkaian kegiatan untuk memeriahkan Ramadan.
Terlepas dari persiapan ibadah, penyambutan bulan Ramadan juga tak lepas dari tradisi-tradisi unik. Misalnya saja, di Jawa ada yang namanya tradisi padusan. Tradisi padusan memiliki makna dan tujuan untuk membersihkan diri, baik jiwa maupun raga. Biasanya, masyarakat melakukan padusan bersama-sama di pantai-pantai. Namun, pada masa pandemi tidak ada penyelenggaran padusan di pantai.
Selain padusan, ada juga yang menyambut Ramadan dengan meriahnya suara petasan. Bahkan, beberapa hari sebelum mulai Ramadan, bunyi petasan sudah terdengar. Kebanyakan anak-anak yang menyalakannya. Mereka biasanya menyalakan petasan di lapangan atau di sepanjang jalan. Tradisi menyalakan petasan akan terus menggema sepanjang Ramadan hingga lebaran datang. Lantas sejak kapan petasan sudah identik dengan penyambutan Ramadan?
Sejarah Terdengarnya Suara Petasan
Menurut catatan sejarah, petasan awalnya menyebar di wilayah Cina sejak tahun 200 SM. Kemunculan petasan berkaitan dengan legenda makhluk mitologi Cina yang bernama Nian. Konon, setiap akan ada penyelenggaraan tahun baru Cina, Nian akan muncul untuk memangsa manusia. Oleh karena itu, masyarakat Cina membuat petasan untuk mengusir Nian.
Seiring berjalannya waktu, petasan pun berubah, terlebih setelah ada penemuan bubuk mesiu. Petasan makin menarik karena bisa memunculkan percikan api yang indah atau masyarakat sering menyebutnya dengan kembang api. Tidak hanya di Cina, petasan pun mulai populer di beberapa negara di Eropa. Mereka pun turut mengembangkan petasan.
Kemunculan petasan di Indonesia karena para pedagang dari Cina yang mengenalkannya pada masa penjajahan. Tidak sekadar untuk peringatan hari besar, petasan di Indonesia juga pernah menjadi senjata. Dalam catatan sejarah, orang-orang Cina yang mendapatkan perlakuan tidak setara dan sewenang-wenang dari penjajah melawan menggunakan petasan. Penjajah pun sempat dibuat kacau dengan perlawan Cina dengan petasan tersebut.
Suara Petasan Kala Ramadan Datang
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kala Ramadan datang, bunyi-bunyi petasan pun mulai bersahutan. Sebenarnya, menyalakan petasan saat Ramadan menjadi budaya di beberapa tempat di Indonesia. Umumnya, petasan menjadi “tanda penting” di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatra. Biasanya, masyarakat Indonesia membuat petasan dengan bambu.
Di Solo ada tradisi membunyikan petasan raksasa sebagai penanda buka puasa. Bunyi petasan raksasa tersebut terdengar dul bagi telinga masyarakat Solo. Tidak mengherankan jika waktu berbuka puasa disebut juga dengan istilah dul.
Menyalakan petasan raksasa sebagai penanda masuknya waktu berbuka sangatlah membantu pada zamannya. Pasalnya, dulu belum ada jam secanggih sekarang. Selain sebagai penanda buka puasa, penyalaan petasan raksasa atau blengur juga sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan.
Meskipun sudah membudaya dan menjadi tradisi, petasan juga memunculkan polemik. Pada akhirnya, pihak berwajib melarang petasan karena membahayakan. Bukan tanpa alasan, peristiwa besar yang memakan banyak korban akibat petasan pun pernah terjadi di Indonesia.
Pada tahun 1971 pernah ada perayaan tahun baru dengan menyalakan petasan. Perayaan tersebut harapannya dapat meriah dan mendatangkan kesenangan tersebut justru berakhir tragis. Ali Sadikin, yang menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu, sudah menyiapkan petasan sebagai pelengkap perayaan. Tak main-main, ia sudah menyiapkan petasan hingga empat peti banyaknya.
Namun sayangnya, perayaan tahun baru tersebut memakan korban hingga puluhan jumlahnya, baik yang luka-luka maupun yang meninggal. Bahkan, ada warga negara asing yang turut menjadi korban. Karena berdampak serius, Presiden Soeharto pun kemudian merilis beberapa aturan terkait petasan. Salah satunya adalah melarang produksi petasan jenis-jenis tertentu yang dapat membahayakan.
Lantas, Apakah Ada Dasar Hukum untuk Menjerat Orang yang Menyalakan petasan?
Beberapa tahun belakangan ini, pihak berwajib sigap berpatroli untuk menyidak pelaku penjual petasan, khususnya menjelang bulan Ramadan. Seperti yang penjelasan sebelumnya, kegiatan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi adanya korban jiwa. Di beberapa waktu belakangan muncul juga berita yang mengabarkan anak-anak yang terluka karena menyalakan petasan. Ada yang tangannya terbakar, ada juga yang mengalami gangguan pendengaran.
Larangan menyalakan petasan juga ada dasar hukumnya. Dasar hukum tersebut tertuang pada Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 pasal 1 ayat 1.
“Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.”
Undang-undang tersebut diperkuat juga dengan Pasal 187 KUH Pidana tentang bahan peledak sudah diatur soal bahan peledak yang dapat menimbulkan ledakan serta dianggap mengganggu lingkungan masyarakat. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut.
“Barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam (1). dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang; (2). dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; (3). dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.“
Ramadan Seharusnya Bukan Disambut dengan Petasan
Setelah mengetahui bahwa adanya jeratan hukum, penjual petasan Ramadan musiman seharusnya berpikir jernih untuk tidak berjualan lagi. Pasalnya, ancaman hukuman penjara yang siap menghadang tidak main-main. Masih banyak barang dagangan yang bisa laku terjual di bulan Ramadan. Misalnya, dengan menjual berbagai makanan atau minuman segar.
Para pembeli juga tidak bisa tenang-tenang menyalakan petasan karena hukuman juga siap menjerat pelaku yang menyalakan. Alangkah lebih baik jika bulan Ramadan kita isi dengan hal-hal yang bermanfaat daripada sekadar menyalakan petasan. Kita bisa memperbanyak amalan ibadah terlebih pada masa pandemi seperti sekarang.
Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menyambut Ramadan dengan menyalakan petasan. Sudah seharusnya Ramadan kita sambut dengan persiapan matang agar semangat dalam menjalankan ibadah. Bukan malah sebaliknya, ibadah tidak kita jalankan justru hanya sekadar euforianya yang terasa dengan menyalakan petasan.