Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia. Arti kepulauan yaitu terdiri dari gugusan pulau yang mana jika kita dalami lebih, maka bukan hanya terdiri dari satu pulau melainkan beberapa pulau bahkan hingga ribuan pulau. Ciri khas lain Negara Kepulauan bahwa pulau-pulau yang dimaksud tidak menyatu dengan suatu benua melainkan berada di tengah-tengah lautan. Negara yang memiliki wilayah utama menyatu dengan benua tidak dapat dikatakan sebagai Negara Kepulauan walaupun mempunyai gugusan pulau-pulau di sekitarnya. Definisi ini terdapat dalam Pasal 46 konvensi UNCLOS 1982.
Selain itu dalam hukum laut internasional, setiap negara mempunyai hak untuk memperluas wilayahnya. Berdasarkan sejarah, sebelum ada UNCLOS 1982, internasional mengakui batas laut setiap negara hanya 3 mil. Namun seiring berjalan waktu dan banyak negara-negara merdeka dari penjajahan Perang Dunia ke II, mereka ingin memperlebar wilayahnya dengan maksud memperbaiki serta meningkatkan perekonomiannya, maka ada beberapa negara yang ingin memperluas wilayah hingga 12 mil. Penetapan 12 mil dapat diterima oleh UNCLOS 1982 dan bahkan negara dapat memperluasnya hingga 200 mil (ZEE). Perluasan ini juga harus berdasarkan penarikan garis pangkal pada setiap bentuk negara. Khusus Negara Kepulauan, penarikan garis pangkal memakai metode garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar termasuk pulau-pulau utamanya.
Perluasan wilayah akan berdampak pada penambahan kedaulatan setiap negara baik lautan, udara, dan daratan (yang mana timbul pulau-pulau baru dan juga bentuk alam lainnya). Jumlah pulau-pulau di Indonesia juga selalu bertambah setiap tahunnya. Pulau-pulau baru tentu akan bermanfaat bagi setiap bangsa baik dalam pertahanan, sosial, budaya, bahkan perekonomian.
Setiap pulau / wilayah laut harus mempunyai identitas / nama. Timbul pertanyaan bagaimana sistem penamaan pulau / wilayah laut tersebut? Penamaan pulau atau laut mempunyai aturan nasional bahkan hingga dengan kewajiban mendaftarakannya secara internasional dengan tujuan agar menciptakan perdamaian, tertib administrasi, dan juga sebagai legal status bagi setiap negara jika timbul sengketa di kemudian hari. Dalam konteks ini penulis akan menjelaskan gambaran sedikit tentang toponimi (ilmu penamaan tempat) pulau dan laut di Indonesia dan di dunia internasional.
Toponimi dalam hukum laut internasional
Setiap negara mempunyai kedaulatan di wilayahnya masing-masing. Dalam hal yurisdiksi maritim, negara mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat. Berdasarkan UNCLOS 1982, pada zona-zona laut seperti perairan pedalaman, laut territorial, dan laut kepulauan, negara mempunyai kedaulatan. Artinya negara dapat menerapkan peraturan dan sanksi nasional yang mengatur zona-zona tersebut untuk melindungi masyarakat, daerah, serta sumber kekayaan yang terkandung (dengan catatan tetap harus memberikan hak lintas asing juga). Sedangkan hak berdaulat hanya dimiliki pada zona ZEE yang mana pada umumnya berlaku zona perikanan.
Untuk memperdalam kedaulatan dan hak berdaulat terutama pada pulau-pulau / wilayah laut yang belum bernama, pertama perlu memahami terlebih dahulu apa itu “Pulau”. Untuk dapat dikategorikan sebagai “Pulau” harus memenuhi persyaratan dari definisinya dalam Pasal 121 ayat 1 UNCLOS 1982;
An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide.
Raja Ampat Island in Indonesia. Source: travel.detik.com
Dari definisi tersebut ada 4 poin mengenai “Pulau” yaitu daratan (land), terbentuk secara alami (naturally formed), dikelilingi oleh air (surrounded by water), dan di atas permukaan air pada air pasang (above water at high tide). Pengertian “Pulau” sangat penting mengingat “Pulau” akan menjadi titik awal untuk menarik garis pangkal setiap negara (terutama Negara Kepulauan) sehingga akan terbagi-bagi zona-zona laut sampai 200 nautical miles. Lalu bagaimana tentang pulau buatan (Artificial Island)? Apakah garis pangkal dapat ditarik dari Artificial Island? Pada Artificial Island, garis pangkal tidak berlaku dan tidak dapat digunakan karena UNCLOS 1982 mengatakan bahwa adanya Artificial Island tidak mengubah delimitasi laut territorial, ZEE bahkan landas kontinen. Hal ini sesuai dengan Pasal 60 ayat 8 UNCLOS 1982;
Artificial islands, installations and structures do not possess the status of islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the continental shelf.
Palm Island, Artificial Island in Dubai. Source: theobsev.com
Oleh karena telah mengenal definisi “Pulau” dan zona-zona laut telah terbentuk, maka biasanya akan timbul pulau / wilayah laut baru yang belum bernama. Bagaimana sistem penamaan pulau / wilayah laut tersebut dalam perpektif hukum laut internasional? Sayangnya hukum laut internasional (UNCLOS 1982) tidak mengatur secara spesifik mengenai toponimi suatu pulau / wilayah laut. Artinya bahwa hukum laut internasional memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk memberikan nama terhadap pulau / wilayah laut masing-masing. Setiap negara dapat mendeklarasikan nama-nama pulau / wilayah laut tersebut secara sendiri kepada dunia internasional. Tindakan ini disebut tindakan unilateral (unilateral act).
Pada umumnya akan terlihat mudah memberikan nama pada pulau / wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan suatu negara. Namun bagaimana dengan pemberian nama pada pulau / wilayah laut yang hanya mempunyai hak berdaulat? Oleh karena hukum internasional telah memberikan hak berdaulat pada setiap negara dan tidak ada aturan mengenai sistem penamaan, maka secara hukum setiap negara juga mempunyai hak untuk memberikan nama pulau / wilayah laut tersebut. Hanya saja nama tidak mengubah status hak berdaulat pada zona tersebut. Namun, bagi wilayah ZEE yang bersengketa, biasanya akan timbul suatu protes dari negara-negara tetangganya. Seperti contoh yaitu pemberian nama Laut Natuna Utara pada tahun …. Cina memprotes pemberian nama tersebut karena negara tersebut mengklaim bahwa zona Laut Natuna Utara merupakan bagian Laut Cina Selatan. Sementara Indonesia berpendapat bahwa zona tersebut merupakan zona ZEE Indonesia sehingga Indonesia mempunyai hak untuk memberikan nama.
Legal Implication pemberian suatu nama wilayah
Pemberian nama memang cukup penting terutama dalam tertib administrasi nasional maupun internasional. Namun hukum laut internasional mengatakan bahwa pemberian nama bukan lah menjadi dasar suatu pulau dapat dikatakan milik negara tersebut terutama pada pulau yang bersifat terra nullius (tidak berpemilik). Seperti contoh terkenal yaitu Kasus Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia dan Malaysia menganggap bahwa kedua pulau tersebut tidak bersifat terra nullius namun para hakim Mahkamah Internasional / ICJ berpendapat sebaliknya. Indonesia berargumen berdasarkan Perjanjian 1891, bahwa kedua pulau tersebut merupakan milik Sultan Bulungan yang mana dalam perjanjian tersebut Sang Sultan menyatakan dirinya sebagai bagian dari Hindia Belanda sehingga Indonesia berhak atas pulau tersebut karena Indonesia merupakan mantan negara jajahan Belanda. Sedangkan Malaysia juga berargumen bahwa kedua pulau tersebut milik Sultan Sulu yang mana saat itu Sang Sultan telah melakukan pemindahan kepemilikan (confirmation of cession) pada tahun 1903 kepada Inggris. Namun para hakim tidak mengakui klaim kedua belah pihak. Para hakim berpendapat kepada Indonesia bahwa klaim tersebut tidak berdasar karena pada perjanjian tersebut hanya menyebutkan 3 pulau yaitu Pulau Tarakan, Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik, namun tidak menyebut pulau yang jauh lebih dari 40 nautical miles (Pulau Sipadan dan Ligitan).
The Court further recalls that it stated above that the words “the islets belonging thereto” can only be interpreted as referring to the small islands lying in the immediate vicinity of the three islands which are mentioned by name, and not to islands which are located at a distance of more than 40 nautical miles. The Court therefore cannot accept Indonesia’s contention that it inherited title to the disputed islands from the Netherlands through these contracts, which stated that the Sultanate of Bulungan as described in the contracts formed part of the Netherlands Indies. (Paragraph 96. The ICJ Judgement regarding Case Sipadan and Ligitan)
Sementara pendapat hakim kepada Malaysia berdasarkan Confirmation of Cession bahwa Sultan Sulu juga tidak menyebutkan kedua pulau yang dimaksud dalam penyerahan kepemilikan kepada Inggris (Para.108 (ii) the ICJ Judgement). Namun selanjutnya Malaysia berargumen bahwa nama “Sipadan” dan “Ligitan” berasal dari Bahasa Malaysia. Kata “Sipadan” berasal dari kata “Siparan” sedangkan “Ligitan” berasal dari kata “Ligit” yang mana artinya “Duri dalam Bajau” / “Pulau Duri” (Island of Thorn) (Malaysia Memorial for Case Sipadan and Ligitan 2002, Para. 3.16). Sementara Indonesia, yang mana dalam posisi tidak menamai kedua pulau yang bersengketa, menjawab argumen Malaysia tidak tepat untuk memberikan nama pulau pada wilayah yang berstatus terra nullius (Indonesia Reply 2002 for Case Sipadan and Ligitan, Para. 4.9 (ii)). Para hakim juga menolak alasan penamaan wilayah oleh Malaysia karena memang nama Sipadan dan Ligitan tidak sama sekali tercantum dalam legal instruments apa paun.
The Court notes at the outset that the islands in dispute are not mentioned by name in any of the international legal instruments presented by Malaysia to prove the alleged consecutive transfers of title. (Para. 108 (i) Judgement ICJ Case Sipadan and Ligitan).
Para hakim berpendapat kasus ini bukan diselesaikan melalui jalur sebuah nama pulau, melainkan siapa yang berdaulat atas kedua pulau tersebut dengan prinsip effective occupation. Pada saat itu Malaysia telah melakukan manajemen atas pulau tersebut sejak lama dengan memberikan peraturan mengenai pengendalian pengumpulan telur-telur kura-kura (Turtle Preservation Ordinance 1917) dan menetapkan kedua pulau tersebut sebagai bird sanctuaries dalam undang-undang nasionalnya. Hasil dari kasus ini tentu memenangkan Malaysia sebagai negara yang mempunyai kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Kesimpulan dari kasus ini, nama bukan lah menjadi dasar utama untuk klaim kedaulatan suatu wilayah. Bagaimana suatu negara mengatur atau mengontrol suatu pulau secara baik sehingga dapat bernilai ekonomi itu lah yang menjadi prinsip klaim kedaulatan wilayah. Penamaan suatu wilayah hanya menjadi faktor pendukung suatu negara untuk klaim kedaulatan terutama dalam tertib administrasi dan harus diikuti oleh pelaksanaan effective occupation yang tepat.
Given the circumstances of the case, and in particular in view of the evidence furnished by the Parties, the Court concludes that Malaysia has title to Ligitan and Sipadan on the basis of the effectivités referred to above (Para. 149).
Organisasi internasional yang berwenang mengatur Toponimi geografis
Hukum laut internasional memang tidak mengatur secara khusus mengenai toponimi suatu pulau atau wilayah lautan. Namun United Nations (UN) atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk suatu perkumpulan yang dapat mengatur toponimi secara internasional. Perkumpulan ini tidak hanya mengatur penamaan pada pulau atau wilayah laut, namun mengatur penamaan geografis secara menyeluruh seperti nama danau, gunung dan bentuk alam lainnya.
Perkumpulan internasional tersebut yaitu the United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). Perkumpulan khusus ini merupakan salah satu cabang dari salah satu badan utama PBB yaitu the United Nations Economic and Social Council (ECOSOC). Tugas utama UNGEGN yaitu mengatur standarisasi penamaan suatu wilayah geografis setiap negara serta membentuk suatu prosedur, prinsip, dan kebijakan dalam menyelesaikan perbedaan standarisasi penamaan wilayah geografis setiap negara di dunia internasional. Tujuan perkumpulan ini terbentuk yaitu untuk menyatakan betapa pentingnya pemberian suatu nama wilayah geografis setiap negara serta memberikan keuntungan dalam mengenalkan budaya dan bahasa setiap negara pada dunia internasional.
Dasar hukum pendirian UNGEGN yaitu berdasarkan Resolusi ECOSOC 715 A (XXVII) serta Resolusi ECOSOC 1314 (XLIV). Perkumpulan khusus ini terdiri dari beberapa ahli bahasa Cartography. Perkumpulan UNGEGN ini juga mengadakan 2 pertemuan utama yaitu United Nations Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN) setiap 5 tahun sekali serta international sessions yang diadakan 2 tahun sekali. Tujuan dari pertemuan tersebut tentu untuk melaporkan perkembangan penamaan wilayah geografi setiap negara serta mengadakan perubahan atau pertimbangan-pertimbangan khusus standarisasi toponimi wilayah geografi. Selain itu para anggota perkumpulan tersebut merupakan wakil-wakil negara / pemerintahan dari negara-negara peserta PBB.
Perkumpulan UNGEGN juga mempunyai 10 divisi yang mengatur lebih dalam mengenai sistem penamaan suatu wilayah geografi yaitu;
- Working group on Country Names
- Working Group on Toponymic Data Files and Gazetteers
- Working Group on Toponymic Terminology
- Working Group on Publicity and Funding
- Working Group on Romanization Systems
- Working Group on Training Courses in Toponymy
- Working Group on Evaluation and Implementation
- Working Group on Exonyms
- Working Group on Geographical Names as Cultural Heritage
UNGEGN juga terbagi ke dalam 23 divisi bahasa secara regional di seluruh dunia, yaitu;
- Africa Central Division
- Africa East Division
- Africa South Division
- Africa West Division
- Arabic Division
- Asia East Division (other than China)
- Asia South-East Division
- Asia South-West Division (other than Arabic)
- Baltic Division
- Celtic Division
- Dutch and German speaking Division
- East Central and South and South-East Europe Division
- Eastern Europe, Northern and Central Asia Division
- East Mediterranean Division (other than Arabic)
- French speaking Division
- India Division
- Latin America Division
- Norden Division
- Pacific South-West Division
- Portugese speaking Division
- Romano-Hellenic Division
- United Kingdom Division
- USA/Canada Division
Oleh karena Indonesia merupakan salah satu anggota dari PBB, maka Indonesia secara ipso facto juga bagian dari ECOSOC serta dapat mengambil bagian juga dalam UNGEGN. Indonesia terletak pada Asia Tenggara, pada Indonesia termasuk dalam divisi bahasa Asia South-East (ASE). Selain Indonesia, pada umumnya divisi ini juga terdiri dari negara-negara anggota ASEAN.
Peraturan Nasional
Seperti dipahami sebelumnya bahwa internasional telah memberikan kewenangan kepada setiap negara untuk memberikan nama wilayah geografi sendiri. Oleh karena itu Indonesia membentuk suatu peraturan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial serta Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Toponimi diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
Prinsip terpenting dalam menamai sebuah wilayah geografi di Indonesia yaitu (Pasal 3 PP No. 2 / 2021);
- Menggunakan bahasa Indonesia;
- Dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila Unsur Rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan;
- Menggunakan abjad romawi;
- Menggunakan satu nama untuk satu Unsur Rupabumi;
- Menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan;
- Menggunakan paling banyak 3 kata;
- Menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia;
- Menghindari penggunaan nama instansi / lembaga;
- Menghindari penggunaan nama yang bertentangan dengan kepentingan nasional;
- Memenuhi kaidah penulisan Rupabumi dan kaidah spasial.
Tahap-tahap yang harus dilakukan yaitu (Pasal 8 PP No. 2 / 2021);
- Pengumpulan Nama Rupabumi;
- Penelaahan Nama Rupabumi;
- Pengumuman Nama Rupabumi;
- Penetapan Nama Rupabumi baku;
- Penyusunan Gazeter RI.
Dalam penamaan wilayah geografi di Indonesia, peraturan nasional ini juga harus sesuai (comply) dengan standarisasi internasional. Prosedur standarisasi penamaan mengikuti Resolusi-Resolusi UNGEGN yang mana resolusi-resolusi tersebut terbentuk dari 10 Working Groups yang sebelumnya telah disebut. Jika penamaan secara nasional telah memenuhi standarisasi dari resolusi-resolusi, maka Indonesia dapat melaporkan hasil penamaan wilayah kepada ASE.
Pengumpulan Nama Rupabumi
Secara empiris, terdapat beberapa langkah dalam pengumpulan Nama Rupabumi di Indonesia, yaitu;
- Langkah pertama pengumpulan informasi dasar mengenai sejarah, bahasa, dan budaya suatu komunitas.
- Langkah kedua yaitu melakukan survey untuk mengumpulkan nama geografis yang telah dinamakan oleh suatu komunitas dan mencoba identifikasi nama tersebut dengan nama tempat pada umumnya dalam bahasa daerah.
- Langkah ketiga yaitu memastikan tata cara penyebutan nama geografis tersebut dengan orang-orang asli komunitas.
- Langkah keempat yaitu melakukan investigasi penamaan tersebut dengan suatu etimologi untuk memahami lebih budaya dan sejarah komunitas tersebut.
Pengumpulan data ini tentu dilakukan secara hirarki yaitu melibatkan pemerintah tingkat Kabupaten / Kota, Provinsi, Kementerian (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) serta suatu badan yaitu Badan Informasi Geospasial (BIG).
Itulah sistem penamaan suatu wilayah geografi. Oleh karena Indonesia mempunyai beribu-ribu pulau dan beratus-ratus bahasa akan terlihat sulit untuk menamai suatu wilayah tersebut dan pasti memerlukan waktu yang lama untuk memahaminya dan menyesuaikannya dengan budaya lokal. Namun hal itulah yang membuat Indonesia menjadi unik sehingga sudah sepantasnya kita melestarikan wilayah geografis dan budaya Indonesia.
Reference:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021
- ICJ Judgement regarding Case Sipadan and Ligitan, 2002
- Franck, Erik and 4 authors. January 2010. The Naming of Maritime Features Viewed from an International Law Perspective; Vrije Universiteit Brussels.
- Lauder, Allan and Multamia R.M.T. Lauder. 2015. Ubiquitos place names Standardization and study in Indonesia, Wacana Vol. 16 No. 2 (2015): 383-410, University of Indonesia.