Semmelweis Reflex: Sejarah Aktivitas Cuci Tangan hingga Kekeliruan Pola Pikir

Ignaz Phillip Semmelweis

Sumber: bbc.co.uk

Pandemi Covid-19 yang telah melanda dunia sejak tahun 2020 menjadikan kita lebih sadar betapa pentingnya menjaga kebersihan supaya kondisi tubuh tetap sehat. Berbagai upaya dilakukan supaya penyebaran virus corona tidak semakin meluas, salah satunya dengan menggunakan masker dan mencuci tangan secara rutin.

Bicara tentang mencuci tangan, rasanya hal tersebut menjadi aktivitas sederhana yang sering kali kita lewatkan, ya? Padahal, sebenarnya, efek dari mencuci tangan memang terbukti mampu mengurangi penyebaran penyakit, dan hal tersebut sempat diperjuangkan oleh seorang dokter berdarah Jerman yang berasal dari Hungaria, yakni Ignaz Phillip Semmelweis.

Perjuangan Semmelweis dalam meyakinkan dunia kedokteran bahwa sangat penting menjaga kebersihan tangan juga penuh pertentangan dan lika-liku dari sesama dokter pada saat itu. Hingga akhirnya, tindakan Semmelweis melahirkan sebuah istilah yang dinamakan “Reflek Semmelweis”. Penggunaan istilah  tersebut tidak hanya digunakan dalam dunia kesehatan saja, bahkan hingga pada perilaku seseorang secara psikologis.

Alasan Mendasar Perjuangan Semmelweis Terkait Cuci Tangan

Sumber: zmescience.com

Rasa kemanusiaan Semmelweis yang bekerja di bidang kesehatan muncul saat melihat fenomena menyedihkan ketika dirinya berkontribusi pada sebuah rumah sakit, tepatnya di bagian ruang bersalin. Pada saat itu, tingkat kematian para pasien, baik dari sang ibu hingga anak yang dilahirkan begitu pesat, bahkan hingga melonjak begitu tinggi.

Hal tersebut menjadi tanda tanya besar dalam benak Semmelweis, apa yang sebenarnya terjadi kepada para pasien. Jika mengumpulkan informasi dari rumah sakit, penyebab utama kematian mereka adalah penyakit childbed fever. Secara umum, childbed fever merupakan penyakit yang ditularkan oleh ibu saat akan melalui proses melahirkan, sehingga menjadikan sang bayi mengalami demam dan berujung pada kematian.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Semmelweis setelah melihat fenomena ini?

1.      Melakukan Perbandingan

Saat dirinya bertugas di rumah sakit, khususnya untuk para pasien ibu hamil, terbagi menjadi dua klinik yang melakukan treatment (perawatan) secara berbeda. Semmelweis mengamati secara seksama bagaimana perbedaan perawatan yang dilakukan oleh tenaga medis di dua klinik yang berbeda.

Awalnya, Semmelweis masih belum menemukan perbedaan yang siginifikan. Namun, ternyata, ada satu hal yang menjadikan Semmelweis sadar bahwa hal tersebut menjadi faktor ibu hamil dan anak yang dilahirkan mengalami childbed fever, yakni adanya perpindahan kuman dari cadaver.

Secara umum, cadaver merupakan mayat manusia yang telah melalui proses pengawetan dengan cairan atau alat khusus, dan hal tersebut menjadi sumber kuman yang menjadikan penyakit childbed fever muncul.

Lanjut, klinik A juga lebih banyak dikunjungi oleh para mahasiswa atau dokter yang melakukan uji coba praktik pembedahan, akan tetapi tidak melakukan pembersihan tangan dan alat-alat bedah setelah proses tersebut dilaksanakan. Otomatis, kuman yang ada pada cadaver menempel pada tangan mereka, lalu setelah itu para tenaga medis melakukan penanganan kepada pasien yang akan melahirkan dengan sentuhan kontak fisik.

Jika dibandingkan dengan klinik B, tempat ini tidak begitu banyak melakukan aktivitas pembedahan, khususnya proses bedah cadaver dan hanya terdapat para bidan saja. Alhasil? Tingkat kematian akibat chilbed fever jauh lebih rendah dibandingkan dengan klinik A.

Hal inilah yang menjadikan Semmelweis memberikan kesimpulan bahwa adanya kontaminasi terkait tangan para anggota medis saat menangani pasien ibu hamil. Kuman yang tertempel pada tangan karena menyentuh cadaver dan kuman tersebut pindah ke bagian organ vital pasien wanita ketika melahirkan, sehingga anak yang dilahirkan mengalami sakit childbed fever.

2.      Melakukan Eksperimen

Sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran kuman dari cadaver ke para pasien, Semmelweis melakukan eksperimen dengan cara mencuci kedua telapak tangan menggunakan cairan berupa kapur yang telah melalui proses klorinisasi (penambahan cairan hipoklorit untuk menghentikan penyebaran virus, kuman, dan bakteri yang media penyebarannya melalui cairan).

Upaya eksperimen yang dilakukan oleh Semmelweis untuk memberikan pilihan lain terkait pendapat seorang bidan bernama James Young Simpson. Menanggapi kasus kematian pada ibu hamil di rumah sakit yang semakin meningkat, menjadikan Simpson berpendapat bahwa perlu dilakukannya penghancuran rumah sakit secara menyeluruh, lalu dilakukan kembali proses pembangunan jika memang penyebaran sebuah bakteri atau virus sudah tidak bisa ditanggulangi lagi.

3.      Meyakinkan Para Tenaga Medis Kesehatan

Meskipun mendapat cemohan bahwa upaya cuci tangan dapat menanggulangi tingkat kematian para pasien akibat chilbed fever, Semmelweis akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menerapkan praktik tersebut pada klinik A di rumah sakit tersebut.

Ternyata? Hasilnya benar-benar sesuai prediksi Semmelweis. Berkat tindakan sederhana “cuci tangan” yang dirinya terapkan, khususnya pada para dokter yang selalu rutin mencuci tangannya menggunakan cairan kapur bercampur klorin, menjadikan tingkat kematian para pasien semakin menurun dari waktu ke waktu.

Meskipun tindakannya mampu menimbulkan efek positif pada dunia kesehatan, akan tetapi apa yang dilakukan oleh Semmelweis tidak dihargai karena tidak disertai dengan bukti ilmiah. Perjuangan Semmelweis dianggap sebagai tindakan seorang dokter dengan gangguan jiwa (tidak waras) yang menyuarakan tentang betapa pentingnya cuci tangan dan dianggap tidak ada hubungannya dengan tingkat kematian pasien saat itu.

Reflek Semmelweis dalam Sisi Psikologis

Sumber: link.springer.com

Sejarah terkait cuci tangan yang dipeloporkan oleh Semmelweis ternyata mempengaruhi psikologis seseorang dari aspek berfikirnya (kognitif).  Disebut sebagai Semmelweis Reflex (reflek Semmelweis) karena seseorang mengalami cognitive bias pada pikirannya (yakni keyakinan akan pola pikir dengan menciptakan penilaian secara subyektif, sehingga mengabaikan aspek-aspek penting, seperti rasionalitas dan norma yang berlaku di masyarakat).

Hal ini dilatarbelakangi oleh kejadian Semmelweis saat gagasannya terkait cuci tangan yang dianggap tidak masuk akal oleh tenaga kesehatan lainnya. Mereka yang menolak gagasann Semmelweis tetap meyakini keyakinan diri sendiri (tentunya secara subyektif) bahwa tidak mungkin tangan para dokter menularkan kuman kepada para pasien, sehingga menimbulkan tingkat kematian yang sangat tinggi pada saat itu.

Melanjutkan pembahasan mengenai Semmelweis Reflex, dikutip dari iqresearch dengan judul pembahasan “Understanding the Semmelweis Reflex” memberikan contoh sederhana terkait cognitive bias yang terjadi pada pola pikir seseorang, yakni saat seorang pebisnis, sebut saja Antony yang menyangkal komentar para pelanggan terkait kualitas produk.

Pada contoh tersebut, pebisnis mendapatkan saran dari bawahannya karena produk yang telah diluncurkan ke pasaran mendapatkan komentar terkait cita rasa dan kemasan produknya. Komentar tersebut menjelaskan bahwa produk makanan yang dijual Antony kurang begitu lezat dan kemasannya pun harus diperbaiki, serta pelanggan tersebut melakukan perbandingan dengan bisnis lain yang dari segi rasa dan kemasannya jauh lebih unggul.

Tentu, harusnya, jika Antony menginginkan bisnisnya lebih baik, komentar dari pelanggan tersebut akan dievaluasi dan melakukan perbaikan supaya bisa lebih memuaskan para pelanggan lain kedepannya. Namun, karena Antony berada di fase cognitive bias yang bernama Semmelweis Reflex, justru dirinya menyangkal (denial) jika produk makanan yang dijual tersebut mempunyai cita rasa dan kemasannya perlu diperbaiki.

Masih meyakini pemikiran subyektifnya, Antony tetap merasa bahwa makanan yang dijual rasanya sudah sangat lezat dan kemasannya sudah memenuhi standar, baik dari segi desain maupun fungsinya. Antony tidak dapat menerima komentar tersebut dari pelanggan, sehingga dirinya melakukan pembenaran terkait keyakinannya saat itu.

Sumber: healting.ca

Ternyata, sejarah cuci tangan tidak sesederhana praktiknya, ya? Perjuangan Semmelweis di dunia kesehatan, meskipun pada awalnya tidak diakui, akan tetapi kini menjadi kegiatan yang begitu penting dan tidak boleh terlewatkan oleh siapa saja pada saat ini. Tindakan sederhana seperti cuci tangan ternyata mampu membawa dampak positif bagi kesehatan seseorang.

Dari sisi psikologis, jangan sampai kita terlena dengan Semmelweis Reflex yang seakan-akan menjadikan kita “merasa paling benar” dari segala hal yang diyakini. Terkadang, mendengarkan orang lain dan memandang suatu hal secara obyektif patut dilakukan supaya kita tidak salah dalam memberikan penilaian dan tanggapan.

Namanya manusia, tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, bukan?

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Lia Rahma Pradhita

Drowned sun.

Artikel: 8

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *