Jika kita hendak berpetualang menjelajahi peta jiwa milik Carl Jung, kita akan disambut oleh ego, si pusat kesadaran manusia, sebagai sebuah pintu gerbang menuju ke dalam ruang internal yang dinamakan psike—keseluruhan kepribadian manusia yang mencakup sikap, perasaan, dan emosi, meliputi wilayah kesadaran, alam bawah sadar personal, dan alam bawah sadar kolektif (human mind).
Apa itu Ego?
Ego merupakan istilah teknis yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “aku”. Istilah ego mengacu pada pengalaman seseorang atas dirinya sebagai pusat kehendak, perenungan, dan tindakan. Ego menjadi unsur yang menentukan persepsi, pemikiran, perasaan dan ingatan yang memasuki kesadaran dalam otak. Sehingga dengan demikian, apa yang memasuki otak adalah hasil dari saringan atau proses seleksi.
Ego merupakan subyek yang kepadanya konten-konten psikis “diwakilkan”. Ia seperti sebuah cermin. Lebih jauh, hubungan terhadap ego merupakan syarat yang diperlukan untuk membuat segala sesuatu menjadi sadar—perasaan, pikiran, persepsi, maupun fantasi. Ego merupakan sebentuk cermin di mana psike dapat melihat dan menjadi sadar akan dirinya sendiri. Sejauh mana sebuah konten psikis diangkat dan dicerminkan oleh ego, sejauh itulah ia dapat dikatakan berada dalam alam kesadaran. Ketika suatu konten psikis hanya tercerap secara samar atau baru disadari sedikit saja, ia belum tertangkap dan dipertahankan sepenuhnya pada permukaan reflektif ego.
Terbentuknya Ego
Dimana ego terbentuk? Ego terbentuk di pusat medan kesadaran, dan sejauh menyangkut kepribadian empiris, ego merupakan subjek dari segala tindakan personal yang berasal dari kesadaran. Apa yang dinamakan kepribadian empiris oleh Carl Jung di sini adalah kepribadian sebagaimana yang kita sadari dan alami secara langsung. Sedangkan, kesadaran adalah kondisi mengetahui, keadaan terjaga, dapat mengamati dan memperhatikan apa yang terjadi pada dunia di dalam dan di sekitar. Kesadaran adalah “medan”, dan ego sebagai subjek dari segala tindakan personal yang berasal dari kesadaran, menempati pusat medan ini.
Kesadaran nampak pada awal kehidupan, mungkin bahkan sebelum proses kelahiran. Secara perlahan, kesadaran dibedakan dari kelahiran pada umumnya, atau kenyataan, kesadaran atas rangsangan. Sebagai contoh, seorang bayi belajar untuk membedakan antara setiap individu dari anggota keluarganya dan untuk membedakan muka-muka yang dikenalinya dengan muka-muka asing yang tidak dikenalinya. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Jung, satu yang dihasilkan dari proses perbedaan ini adalah sifat ego. Sebagai pengorganisasian dari pikiran atas kesadaran, ego memainkan peranan penting dalam aturan gatekeeper (penjaga); yang menentukan persepsi, pemikiran, perasaan, dan ingatan yang akan memasuki pintu kesadaran dalam otak kita. Jika ego tidak melakukan seleksi maka kita akan terkungkung dalam pengalaman yang membuat pikiran kalut. Melalui penyaringan pengalaman yang pernah dialami, ego berusaha untuk memelihara koherensi dengan kepribadian dan juga untuk memberikan perasaan atas identitas dan berkesinambungan.
Peran Ego
Ego bertanggung jawab bagi kesadaran yang terus menerus akan identitas sehingga kita masih merasa sebagai diri kita sendiri pada usia 80 tahun, yakni orang yang sama persis dengan ketika kita masih berusia 8 tahun. Ia bertahan lebih lama dan melampaui konten-konten tertentu yang menempati ruangan kesadaran pada saat-saat tertentu.
Pada kenyataannya, ego adalah penentu utama tentang konten mana yang akan dipertahankan dalam kesadaran, dan mana yang disingkirkan ke dalam ketidaksadaran. Ego bertanggungjawab untuk mempertahankan konten-konten dalam kesadaran, pun dapat menyingkirkan konten-konten dari kesadaran dengan cara berhenti merefleksikannya. Meminjam istilah dari Freud, ego dapat “merepresikan” konten-konten yang tidak ia sukai atau dianggap menyakitkan dan tidak memiliki kecocokan dengan konten-konten lainnya. Ia juga dapat mengambil kembali suatu konten dari penyimpampanan bawah sadar, yakni dari bank ingatan, asalkan (a) konten tersebut tidak diblokir oleh mekanisme pertahanan jiwa, seperti represi yang menghindarkan kita dari konflik-konflik yang tidak dapat ditoleransi, dan (b) konten-konten tersebut memiliki cukup hubungan asosiatif terhadap ego—dengan kata lain, mereka “telah dipelajari” dengan cukup kuat.
Bukan hanya sebagai pusat kesadaran geografis, ego juga merupakan pusat kesadaran dinamis. Ialah pusat energi yang menggerakan konten kesadaran dan menyusunnya sesuai urutas prioritas. Ego merupakan lokus tempat pengambilan keputusan dan kehendak bebas. Ketika saya berpikir untuk pergi ke minimarket, ego saya telah membuat keputusan dan memobilisasi energi fisik dan emosional yang diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut. Ego mengarahkan saya ke tempat tujuan saya dan membuat saya tiba di sana. Meskipun ego dapat dianggap sebagai pusat keegoisan, tetapi ia pun pusat dari altruisme. Sebagai dirinya sendiri, ego sebagaimana yang dipahami dan dijelaskan oleh Carl Jung, bersifat netral secara moral. Ia bukanlah hal yang buruk, sebagaimana yang sering kita dengar dalam Bahasa keseharian, melainkan bagian yang penting yang diperlukan dalam kehidupan psikologis manusia. Ego adalah apa yang membedakan manusia dari makhluk-mahluk lain yang sama-sama memiliki kesadaran—tanaman dan hewan; juga membedakan satu manusia dengan manusia yang lainnya. Ia adalah agen individualisasi dalam kesadaran manusia.
Contoh dari ego sebagai pusat kesadaran manusia dapat kita lihat dari kegiatan menonton film. Ketika kita sedang menonton sebuah film. Pada awalnya kita hanya mengamati orang-orang dan pemandangan yang disajikan oleh film tersebut. Namun, semakin dalam kita menonton dengan segera kita mengindentifikasi diri dengan satu tokoh dan lainnya, sehingga emosi kita teraktivasi. Kemudian, ego mempersiapkan diri untuk bertindak, dan jika seseorang kesulitan untuk membedakan citraan pada film dan realitas, mungkin ia akan tergugah untuk bereaksi secara fisik. Tubuh kemudian dimobilisasi, ego berkehendak serta menyengajakan rangkaian tindakan tertentu. Digugah dengan cara demikian, ego teraktivasi sebagai pusat pengharapan, keinginan, bahkan penetapan tujuan. Dapat dimengerti jika seseorang langsung terlihat berubah atau membuat keputusan hidup yang besar saat tengah menonton film, sebagai akibat dari perasaan dan pikiran yang dimunculkan oleh alam sadar karena citra-citraan tersebut. Sebagai dampak langsungnya, tidak jarang ada orang yang menjadi kasar atau merasa bersemangat setelah menonton sebuah film. Ego telah digenggam oleh emosi, identifikasi, atau hasrat, kemudian menggunakan energi dan fungsi direktifnya untuk bertindak.
Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kebebasan ego sesungguhnya terbatas. Ia dengan mudah dipengaruhi stimulus psikis internal maupun eksternal dari lingkungan. Ego dapat merespon stimulus yang mengancam dengan mengangkat senjata dan mempertahankan diri; atau ego justru teraktivasi dan terpicu oleh desakan internal untuk berkreasi, mencintai, atau membalas dendam. Ego juga dapat merespon impulsnya sendiri, yakni secara narsistik. Demikianlah, kesadaran saat terjaga difokuskan oleh ego yang mencerap stimulus serta fenomena internal dan eksternal, kemudian menggerakan tubuh kita.
Ego memfokuskan kesadaran manusia, memberikan arah serta tujuan dalam perilaku-perilaku sadar kita. Berkat ego, kita memiliki kebebasan untuk membuat pilihan yang bertolak belakang dengan naluri pelestarian diri, reproduksi, dan kreativitas. Ego memuat kapasitas kita untuk menguasai sejumlah besar material pada alam sadar dan mempergunakannya. Ia merupakan magnet asosiatif yang sangat kuat sekaligus suatu agen pengorganisasian. Ego yang kuat adalah ego yang mampu memperoleh dan menggerakan sejumlah besar konten kesadaran dengan sengaja. Ego yang lemah tidak dapat melakukannya. Ia mudah terbawa impuls dan reaksi emosional. Ego yang lemah mudah teralihkan perhatiannya sehingga kesadaran kurang terfokus dan tidak memiliki motivasi yang konsisten.