Pendahuluan
Dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), pemerintah memperluas cakupan entitas yang wajib mengikuti aturan PBJP. Di samping Kementerian/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, BUMN, BUMD, dan BUMDes, Perpres 46/2025 secara eksplisit menyebut istilah “Institusi Lainnya” sebagai subjek yang juga wajib tunduk pada ketentuan pengadaan ini. Bagi banyak orang awam, istilah “Institusi Lainnya” mungkin terdengar kabur-apakah hanya lembaga swasta yang menerima dana negara, atau ada kategori lain?
Artikel ini akan membahas secara terstruktur siapa saja yang dimaksud dengan “Institusi Lainnya,” mengapa istilah ini penting, dan apa implikasinya dalam praktik pengadaan. Dengan penjelasan yang sederhana dan contoh konkret, diharapkan pembaca dapat memahami ruang lingkup baru ini dan menyesuaikan diri dengan kewajiban yang muncul.
1. Pengertian “Institusi Lainnya”
1.1 Definisi Resmi dalam Perpres 46/2025
Perpres 46/2025 memperluas definisi entitas pengguna dana publik. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 (mengutip telaah internal), disebutkan bahwa selain K/L, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa, ada kategori baru bernama “Institusi Lainnya” yang juga menggunakan dana APBN/APBD. Secara umum, “Institusi Lainnya” mencakup:
- Sekolah Negeri (misalnya SD, SMP, SMA/SMK negeri) yang menggunakan dana BOS atau alokasi APBD untuk pengadaan.
- Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mendapat dana APBN/APBD untuk belanja barang/jasa.
- Lembaga Riset dan Perguruan Tinggi Negeri Lain yang menerima hibah atau anggaran khusus dari pemerintah pusat maupun daerah.
- Yayasan atau Badan Hukum Negara yang memperoleh hibah/pinjaman dalam negeri untuk program tertentu-misalnya lembaga pemberdayaan, lembaga bantuan hukum, atau lembaga pemberantasan korupsi.
- Badang Layanan Umum (BLU) tertentu atau badan layanan teknis yang menggunakan sebagian dana negara dalam bentuk insentif atau hibah.
Dengan kata lain, “Institusi Lainnya” merupakan wadah bagi semua entitas non-pemerintah pusat/daerah/desa yang tetap menggunakan dana publik (APBN/APBD) dalam bentuk hibah, pinjaman dalam negeri, atau alokasi khusus.
1.2 Mengapa Istilah Ini Diperlukan?
Sebelum Perpres 46/2025, Perpres 16/2018 dan Perpres 12/2021 hanya menitikberatkan pada K/L dan Pemerintah Daerah. Akibatnya, berbagai lembaga yang “mengelola” dana pemerintah tidak wajib mengikuti mekanisme PBJP yang sama. Dengan mencantumkan “Institusi Lainnya,” pemerintah ingin:
- Menjamin Akuntabilitas Dana Hibah/Pinjaman: Lembaga yang menerima hibah atau pinjaman dalam negeri kini harus mengadakan barang/jasa sesuai standar PBJP, bukan secara mandiri dengan regulasi internal yang berbeda.
- Menciptakan Keseragaman Proses Pengadaan: Semua entitas yang memakai uang negara diharuskan melalui prosedur transparent, efisien, dan akuntabel yang sama-tanpa pengecualian.
- Meminimalkan Celah Penyalahgunaan: Bila sebuah yayasan atau lembaga riset tidak diatur PBJP, berpotensi muncul praktik tidak transparan. Dengan “Institusi Lainnya” ikut diatur, ruang pengawasan menjadi lebih luas.
2. Contoh Konkret “Institusi Lainnya”
Untuk memahami ruang lingkup “Institusi Lainnya,” berikut beberapa contoh entitas yang masuk kategori ini:
- Universitas Negeri
- Misalnya Universitas Negeri X yang menerima alokasi APBN untuk pembangunan laboratorium atau program penelitian. Dana tersebut sering kali berbentuk hibah Ristek/BRIN atau alokasi khusus. Dengan “Institusi Lainnya,” setiap pengadaan lab, peralatan, atau jasa konsultasi harus sesuai ketentuan PBJP-termasuk e-Purchasing, kuota TKDN, dan penggunaan UMKM.
- Lembaga Riset Nasional (di Bawah K/L Tertentu)
- Sebagai contoh, Lembaga Riset Y menerima pinjaman kerja sama dalam negeri untuk proyek teknologi. Perpres 46/2025 mewajibkan proses pengadaan input proyek (misalnya pembelian alat ukur, sewa perangkat keras) menggunakan mekanisme PBJP. Inn pokoknya lembaga tersebut tidak bisa lagi melakukan pembelian langsung tanpa tender atau e-purchasing bila barang sudah ada di e-Katalog.
- Yayasan Pemberdayaan Masyarakat (Mendapat Dana Hibah Daerah)
- Yayasan Z mendapat hibah APBD Provinsi untuk program pelatihan UMKM. Semua pembelanjaan pelatihan-seperti penyediaan modul, honor instruktur, atau akomodasi-harus melalui mekanisme e-Purchasing atau tender sesuai nilai paket, bukan proses pengecualian internal yayasan. Ini mencegah potensi kolusi karena dana publik tetap diaudit dengan standar PBJP.
- Rumah Sakit Umum Daerah Negeri yang Menerima Dana APBN/APBD Khusus
- Beberapa RSUD menerima alokasi tambahan APBN untuk penanganan pandemi atau pembangunan fasilitas baru. Pembelian alat kesehatan, jasa instalasi, maupun jasa konsultansi manajemen rumah sakit harus mengikuti ketentuan PBJP. Sebelum “Institusi Lainnya” diatur, rumah sakit seringkali membeli langsung lewat prosedur internal, padahal nilai paket sering besar. Sekarang, prosesnya serupa dengan K/L, termasuk e-Purchasing dan preferensi TKDN.
3. Hak dan Kewajiban “Institusi Lainnya”
3.1 Hak: Akses ke e-Purchasing dan e-Katalog
Karena “Institusi Lainnya” kini dianggap setara dengan K/L atau Pemerintah Daerah dalam PBJP, lembaga-lembaga ini berhak:
- Mengakses e-Katalog untuk memilih barang/jasa yang tersedia.
- Mengikuti e-Purchasing wajib, bila produk/jasa yang dibutuhkan telah terdaftar di e-Katalog.
- Memanfaatkan Preferensi TKDN/UMKM sebagaimana diatur dalam Perpres 46/2025 (preferensi harga, kuota 40% untuk UMKM, uang muka 50% bagi UMKM) .
3.2 Kewajiban: Mematuhi Proses PBJP
“Institusi Lainnya” wajib menerapkan seluruh tahapan PBJP, antara lain:
- Perencanaan (RUP)
- Menyusun Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang mencantumkan kebutuhan barang/jasa, HPS (Harga Perkiraan Sendiri), dan analisis pasar.
- Pemilihan Penyedia
- Jika barang/jasa tersedia di e-Katalog, wajib e-Purchasing (kecuali ada alasan teknis rasional).
- Jika tidak tersedia, lakukan tender terbuka, tender terbatas, atau penunjukan langsung sesuai kriteria paket-dengan batas nilai pengadaan langsung untuk konstruksi hingga Rp 400 juta.
- Terapkan sistem pelapisan TKDN: pilih produk Lapisan 1 (TKDN + BMP > 40% dan TKDN > 25%) bila tersedia.
- Pelaksanaan Kontrak
- Kontrak harus diunggah sebagai e-Kontrak, disertai jaminan pelaksanaan (untuk nilai kontrak ≥ Rp 200 juta).
- Jika penerima hibah/pinjaman adalah yayasan UMKM, dapat uang muka 50% untuk kontrak < Rp 200 juta.
- Pengawasan dan Pelaporan
- Melaporkan capaian penggunaan produk lokal (PDN) dan UMKM (minimal 40% anggaran).
- Mengikuti mekanisme Indeks Kepatuhan PDN/UMKM: nilai kinerja institusi akan dievaluasi dan dipublikasikan, berpotensi mendapat penghargaan atau sanksi administratif jika gagal memenuhi target.
Sebagai contoh, jika sebuah PTN membeli alat laboratorium senilai Rp 1,2 miliar, maka:
- Wajib memeriksa e-Katalog; bila alat tersedia, prosesnya lewat e-Purchasing.
- Karena nilai tender > Rp 1 miliar, apabila PTN memilih merek lokal dengan TKDN ≥ 25%, mereka mendapat preferensi harga hingga 25%.
4. Implikasi bagi Operasional dan Pengawasan
4.1 Implementasi di Tingkat “Institusi Lainnya”
Dalam praktik sehari-hari, “Institusi Lainnya” perlu menyesuaikan:
- Pembaharuan SOP Internal
- Menyusun atau merevisi SOP pengadaan agar synchronized dengan Perpres 46/2025.
- Menentukan siapa yang bertanggung jawab sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan memastikan PPK memiliki sertifikasi sesuai tipologi (mengutip Pasal 7 tentang sertifikasi PPK) .
- Integrasi Sistem Digital
- Mendaftarkan akun di sistem e-Katalog dan portal e-Purchasing LKPP.
- Melatih staf administrasi agar dapat mengunggah dokumen RUP, e-Kontrak, dan laporan capaian PDN/UMKM.
- Pencatatan dan Laporan Berkala
- Menyiapkan data penggunaan anggaran untuk komponen lokal, jumlah pengadaan dari UMKM, dan nilai kontrak agar bisa dilaporkan sesuai mekanisme indeks kepatuhan.
- Apabila terdapat pengaduan masyarakat terkait penyimpangan, lembaga wajib merespons melalui jalan administratif sebelum kasus naik ke yudikatif.
4.2 Pengawasan oleh Pemerintah Pusat/Daerah
Karena “Institusi Lainnya” menggunakan dana publik, pemerintah-baik melalui Inspektorat Jenderal, Inspektorat Daerah, maupun Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)-akan:
- Melakukan audit digital atas e-Kontrak dan data HPS yang diunggah.
- Mengevaluasi Indeks Kepatuhan PDN/UMKM: Memantau apakah institusi berhasil mencapai kuota 40% UMKM dan memilih produk sesuai lapisan TKDN.
- Menjalankan Sanksi dan Penghargaan: Instansi, termasuk “Institusi Lainnya,” yang patuh dapat mendapat penghargaan; yang tidak patuh dapat dikenai peringatan administratif hingga sanksi disipliner sesuai Pasal 20 ayat 3 dan mekanisme sanksi Perpres 46/2025 .
Jika Lembaga Riset Y, misalnya, gagal mencapai kuota 40% UMKM dalam dua periode anggaran berturut-turut, maka akan muncul peringatan administratif tertulis, dan jika tidak diperbaiki, pejabat pengadaan dapat dikenai sanksi disipliner ringan sampai sedang.
5. Tantangan dan Peluang bagi “Institusi Lainnya”
5.1 Tantangan Utama
- Adaptasi Infrastruktur dan SDM
- Sebagian lembaga riset, PTN, atau yayasan desa mungkin belum memiliki tim PBJP yang familiar dengan e-Purchasing dan e-Kontrak.
- Investasi waktu dan biaya untuk pelatihan sertifikasi PPK dan pengadaan perangkat TI mungkin menjadi beban awal.
- Kesulitan Pemenuhan Kuota UMKM/PDN
- Lembaga non-manufaktur harus memastikan ada UMKM yang memproduksi barang/jasa sesuai kebutuhan standar teknis mereka, yang tidak selamanya mudah ditemukan.
- Perhitungan TKDN memerlukan data faktur dan bukti komponen lokal, yang bisa menyulitkan jika rantai pasok belum terstruktur.
- Pengawasan dan Kesiapan Pelaporan
- Lembaga yang belum terbiasa diaudit oleh Inspektorat Jenderal atau BPK mungkin kewalahan menyiapkan laporan capaian Indeks Kepatuhan PDN/UMKM.
- Proses pengaduan digital membutuhkan mekanisme internal untuk menindaklanjuti dan memproses keluhan sebelum muncul masalah hukum.
5.2 Peluang Strategis
- Pencitraan dan Kepercayaan Publik
- Dengan mengikuti standar PBJP, “Institusi Lainnya” menunjukkan komitmen transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan kepercayaan stakeholder (dosen, peneliti, masyarakat).
- Efisiensi Belanja dan Kualitas
- Akses ke e-Katalog memungkinkan memilih produk dengan harga terstandardisasi dan kualitas terjaga sesuai SNI.
- Mekanisme preferensi TKDN dapat memperkuat kerja sama dengan supplier lokal, menciptakan ekosistem inovasi berbasis riset di dalam negeri.
- Pemberdayaan UMKM dan Desa
- Lembaga riset atau PTN dapat memfasilitasi inkubasi UMKM desa untuk memproduksi barang/jasa yang diperlukan, misalnya kit riset laboratorium sederhana.
- Yayasan pemberdayaan masyarakat dapat menjadi katalisator kolaborasi antara institusi pusat dan UMKM desa, memperluas cakupan program CSR atau riset terapan.
Sebagai contoh, Universitas Negeri X dapat menjalin kemitraan dengan koperasi desa untuk memproduksi alat bantu riset sederhana-sehingga memenuhi kuota 40% UMKM sekaligus menumbuhkan kapasitas lokal.
6. Tips Praktis Bagi “Institusi Lainnya”
Agar keberlakuan Perpres 46/2025 bagi “Institusi Lainnya” tidak membingungkan, berikut beberapa langkah praktis:
- Identifikasi Penggunaan Dana Publik
- Lakukan inventarisasi jenis dana APBN/APBD (hibah, pinjaman, BOS, dana riset) yang diterima lembaga.
- Pastikan seluruh dana tersebut masuk dalam kategori yang wajib mengikuti PBJP.
- Bentuk Tim Pengadaan Khusus
- Tunjuk satu atau beberapa staf sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang dilengkapi sertifikasi sesuai tipologi (barang, jasa, konstruksi).
- Bentuk unit internal (UKPBJ jika perlu) untuk mengelola perencanaan RUP, e-Kontrak, dan pelaporan TKDN/UMKM.
- Daftar dan Verifikasi di e-Katalog/Lokapasar
- Segera daftarkan lembaga pada portal e-Purchasing LKPP, lengkapi profil, dan unggah dokumen legal.
- Pelajari prosedur pencarian barang di e-Katalog: filter berdasarkan TKDN, harga, dan spesifikasi teknis.
- Bangun Kemitraan dengan UMKM Lokal
- Jalin komunikasi dengan koperasi atau UMKM di sekitar lokasi lembaga untuk pemenuhan kuota 40%.
- Fasilitasi pelatihan atau lokakarya singkat agar UMKM memahami standar kualitas SNI dan mekanisme perhitungan TKDN.
- Siapkan Mekanisme Pengaduan Internal
- Buat alur kerja untuk menampung dan menindaklanjuti pengaduan terkait PBJP, sehingga jika ada laporan dari masyarakat atau internal, proses penanganan lebih cepat.
- Pastikan adanya koordinasi dengan Inspektorat Jenderal/Daerah untuk audit berkala.
- Laporan Berkala dan Monitoring Kinerja
- Rutin catat data penggunaan anggaran untuk UMKM dan PDN, serta data e-Kontrak yang telah diunggah.
- Tinjau capaian Indeks Kepatuhan PDN/UMKM setiap triwulan agar lembaga dapat mengambil tindakan korektif lebih awal jika ada target yang terlewat.
Dengan langkah-langkah ini, “Institusi Lainnya” dapat memperkecil kesalahan administratif dan lebih cepat patuh pada ketentuan Perpres 46/2025-sehingga manfaat kebijakan pengadaan terlihat nyata.
7. Kesimpulan
“Institusi Lainnya” dalam Perpres 46/2025 mencakup semua entitas non-pemerintah pusat/daerah/desa yang menggunakan dana APBN/APBD-mulai dari sekolah dan perguruan tinggi negeri, lembaga riset, hingga yayasan yang mendapat hibah/pinjaman dalam negeri. Dengan masuknya kategori ini, pemerintah ingin menyatukan semua aliran dana publik melalui satu kerangka PBJP yang sama, guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Bagi “Institusi Lainnya,” kewajiban mengikuti PBJP berarti:
- Menerapkan e-Purchasing wajib bila barang/jasa tersedia di e-Katalog.
- Menjalankan sistem pelapisan TKDN dan kuota 40% untuk UMKM.
- Mengunggah e-Kontrak dan melaporkan capaian PDN/UMKM secara berkala.
- Menyiapkan jaminan pelaksanaan, mekanisme pengaduan digital, dan menerima pengawasan melalui Indeks Kepatuhan PDN/UMKM.
Meskipun terdapat tantangan-terutama soal infrastruktur digital dan kapasitas SDM-langkah-langkah konkret seperti pembentukan tim pengadaan, pelatihan sertifikasi, dan kerja sama dengan UMKM lokal dapat menjadi kunci sukses implementasi. Dengan begitu, “Institusi Lainnya” tidak hanya patuh pada regulasi, tetapi juga berkontribusi pada penguatan ekonomi domestik dan tata kelola pemerintahan yang baik.