Apakah Perpres 46/2025 Mampu Mengurangi Impor?

Pendahuluan

Ketergantungan pada barang impor kerap menjadi sorotan dalam kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Setiap tahun, belanja pemerintah untuk barang dan jasa tertentu-terutama produk teknologi, bahan baku, maupun peralatan khusus-sering kali melibatkan impor dengan nilai mencapai puluhan triliun rupiah. Perpres 46/2025 hadir dengan serangkaian kebijakan afirmatif, mulai dari preferensi harga 25% untuk produk TKDN, alokasi kuota 40% bagi UMKM, hingga sertifikasi tipologi PPK yang semua diarahkan pada penggunaan produk dalam negeri. Pertanyaannya: apakah instrumen-instrumen ini benar‑benar efektif menekan angka impor?

1. Konteks Ketergantungan Impor dalam PBJP

Selama dua dekade terakhir, belanja pemerintah dalam sektor pengadaan barang/jasa tidak hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan layanan publik, tetapi juga-secara tidak langsung-menjadi salah satu kontributor permintaan terhadap produk impor. Baik disadari atau tidak, banyak item pengadaan yang digunakan untuk sektor kesehatan, pendidikan, infrastruktur, maupun pemerintahan, masih didominasi oleh produk luar negeri.

Volume dan Jenis Barang Impor yang Dominan

Berikut adalah beberapa kelompok barang yang sering kali diimpor dalam pengadaan pemerintah:

  • Peralatan Medis
    Perangkat seperti MRI, CT-scan, ventilator, monitor ICU, dan berbagai instrumen diagnostik lainnya masih sangat tergantung pada merek-merek luar negeri, karena teknologi dan sertifikasi klinisnya belum mampu ditiru oleh produsen dalam negeri.
  • Perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
    Komputer server, sistem storage berkapasitas tinggi, perangkat keamanan jaringan, serta sistem integrasi data, sebagian besar masih diimpor dari negara-negara industri seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
  • Material dan Komponen Konstruksi Khusus
    Produk seperti pipa bertekanan tinggi, kabel fiber optik, panel surya, hingga bahan kimia aditif dalam pekerjaan jalan sering tidak tersedia secara konsisten di dalam negeri.
  • Komponen Elektronik dan Otomasi
    Perangkat PLC (Programmable Logic Controller), sensor industri, sistem kendali pintu otomatis, dan panel smart grid, merupakan komponen bernilai tinggi namun sulit diproduksi oleh industri nasional karena keterbatasan riset, investasi, dan akses teknologi.

Dampak Ekonomi dan Operasional dari Ketergantungan Impor

Ketergantungan ini menciptakan berbagai risiko makro dan mikro yang berdampak langsung terhadap kualitas pelayanan publik dan efisiensi anggaran:

  1. Tergerusnya Cadangan Devisa
    Setiap pembelian produk impor oleh pemerintah secara langsung menguras cadangan devisa negara, menambah tekanan pada neraca pembayaran.
  2. Fluktuasi Nilai Tukar
    Perubahan kurs dolar atau mata uang asing lainnya berdampak pada lonjakan harga kontrak. Proyek yang semula dianggap hemat, mendadak menjadi mahal akibat depresiasi rupiah.
  3. Keterlambatan Distribusi Barang
    Proses pengiriman produk impor sangat tergantung pada rantai logistik internasional, bea masuk, dan kebijakan ekspor negara asal. Hal ini sering kali menyebabkan proyek molor karena pengadaan barang terlambat tiba.
  4. Kesenjangan Industri Domestik
    Ketika pengadaan negara tidak berpihak pada industri lokal, maka UMKM maupun perusahaan manufaktur dalam negeri kehilangan insentif untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi.

Faktor Penyebab Terus Terjadinya Impor dalam PBJP

Tanpa kebijakan afirmatif, pemilihan produk impor biasanya terjadi karena beberapa alasan berikut:

  • Produk lokal belum memenuhi standar teknis seperti TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri), SNI (Standar Nasional Indonesia), atau sertifikasi internasional lain yang dipersyaratkan.
  • Belum tersedia di e-Katalog atau marketplace resmi LKPP, sehingga PPK lebih mudah menjatuhkan pilihan pada produk impor yang sudah dikenal.
  • Harga produk lokal tidak kompetitif, baik karena biaya produksi yang tinggi, keterbatasan skala, maupun rendahnya insentif fiskal bagi produsen lokal.
  • Kurangnya informasi dan keyakinan teknis dari PPK terhadap kemampuan industri nasional.

2. Kebijakan Utama Perpres 46/2025 untuk Substitusi Impor

Menjawab tantangan tersebut, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 memperkenalkan berbagai strategi afirmatif untuk membalik tren ketergantungan terhadap produk impor. Berikut adalah empat kebijakan utama yang secara eksplisit diarahkan untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri (PDN):

2.1 Preferensi Harga 25% untuk Produk TKDN

  • Produk yang telah tersertifikasi TKDN ≥ 40% diberikan insentif harga saat proses evaluasi tender.
  • Maksudnya, bila penyedia lokal menawarkan produk sedikit lebih mahal dari produk impor (misal: 5-15%), maka sistem evaluasi akan memberikan “diskon” 25% terhadap harga penawaran lokal secara matematis, sehingga tetap unggul dibanding produk impor.
  • Ini mengoreksi kelemahan daya saing harga, dan memberikan sinyal bahwa pemerintah menghargai keberpihakan pada produk nasional.

Contoh: Mesin pengolahan pangan buatan lokal seharga Rp120 juta vs mesin impor Rp110 juta. Setelah preferensi diterapkan, harga lokal dinilai setara Rp90 juta-menang evaluasi harga.

2.2 Kuota Pembelanjaan 40% untuk UMKM dan Koperasi

  • Seluruh K/L/PD (Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah) diwajibkan mengalokasikan paling sedikit 40% dari total belanja PBJP kepada pelaku UMKM atau koperasi dalam negeri.
  • Kebijakan ini menutup potensi masuknya barang impor di segmen-segmen pengadaan mikro dan menengah, yang selama ini rawan digunakan untuk memborong barang impor kecil-kecilan (misalnya: ATK impor, kursi buatan luar, dsb.).

2.3 Kenaikan Batas Minimal TKDN untuk Paket Tertentu

  • Dalam Perpres 46/2025, ambang batas minimum TKDN ditingkatkan, terutama pada sektor konstruksi, alat kesehatan, dan pengadaan strategis lainnya.
  • Instansi yang tidak mampu mencapai ambang batas ini harus menyampaikan justifikasi resmi dan membuat rencana aksi peningkatan penggunaan produk lokal.
  • Ini memperkuat akuntabilitas dan mendorong manajemen belanja menjadi lebih berpihak pada industri domestik.

2.4 Sertifikasi PPK Berdasarkan Tipologi Pengadaan

  • Perpres mewajibkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki sertifikat kompetensi yang relevan, termasuk kemampuan menilai produk lokal vs impor dari sisi spesifikasi teknis, TKDN, dan keandalannya.
  • Ini menjawab problem klasik di mana banyak PPK memilih produk impor karena ketidaktahuan atau karena terbatasnya pemahaman akan potensi produk dalam negeri.

3. Mekanisme dan Insentif untuk Mengurangi Impor

Kebijakan afirmatif tidak akan berjalan efektif tanpa disertai mekanisme teknis dan insentif yang mendorong produsen lokal tumbuh dan berdaya saing. Oleh karena itu, Perpres 46/2025 juga didukung oleh langkah-langkah berikut:

3.1 Ekspansi dan Reformasi e-Katalog Nasional

  • Memperbanyak produk dalam negeri, produk bersertifikat TKDN, dan produk UMKM di dalam platform e‑Katalog LKPP.
  • Proses pendaftaran produk dipermudah dan disederhanakan, termasuk untuk UMKM.
  • e‑Purchasing sebagai metode utama di atas Rp100 juta membuat produk lokal lebih mudah ditemukan dan dipilih oleh PPK.

3.2 Insentif Fiskal dan Non-Fiskal

  • Pengurangan pajak (PPh final) untuk produsen atau distributor yang menjual produk lokal kepada pemerintah.
  • Pembebasan biaya sertifikasi TKDN/SNI untuk usaha kecil.
  • Percepatan layanan OSS dan perizinan pabrik, gudang, serta distribusi bagi pelaku industri lokal yang menyuplai belanja pemerintah.

3.3 Program Kemitraan dan Alih Teknologi

  • Pemerintah mendorong BUMN dan perusahaan besar bermitra dengan UMKM lokal, khususnya untuk proyek bernilai besar.
  • Skema ini memungkinkan transfer keahlian, peralatan, dan jaringan pemasaran, yang memperkuat kemampuan UMKM untuk menjadi substitusi pemasok impor.

3.4 Pelatihan dan Sertifikasi Produk

  • Dukungan bagi produsen lokal dalam proses:
    • Sertifikasi SNI dan TKDN,
    • Uji laboratorium untuk Life Cycle Assessment (LCA) dan sertifikat ramah lingkungan,
    • Audit mutu dan sistem manajemen produksi.
  • Tujuannya: produk lokal tidak hanya lolos secara harga, tapi juga unggul dalam kualitas dan keberlanjutan.

Dengan penguatan pada ketiga bagian di atas, Perpres 46/2025 tidak hanya menjadi kerangka hukum semata, tetapi juga alat intervensi kebijakan yang konkret untuk mengarahkan belanja negara kepada produk dalam negeri, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor yang selama ini membebani ekonomi nasional.

4. Tantangan Riil dalam Substitusi Impor

Tantangan Penjelasan
Kualitas & Standar Produk lokal belum memenuhi SNI atau standar internasional, sehingga instansi enggan memilih lokal.
Skala Produksi dan Kapasitas UMKM kapasitasnya terbatas: volume tidak cukup untuk proyek besar, lead time lama.
Biaya Produksi Harga bahan baku lokal masih tinggi, sehingga harga jual lokal sulit menyaingi harga impor yang disubsidi industri.
Rantai Pasok Terbatas Keterbatasan pemasok komponen kunci-misalnya chip elektronik, komponen presisi-yang seluruhnya diimpor.
Kebiasaan dan Persepsi PPK dan tim pengadaan masih nyaman dengan pemasok lama dan merek global, sehingga alternatif lokal kurang dieksplor.

5. Contoh Sektor dengan Potensi Substitusi

Tidak semua barang yang saat ini diimpor benar-benar harus didatangkan dari luar negeri. Seiring berkembangnya industri lokal dan dorongan regulasi seperti Perpres 46/2025, sejumlah sektor kini menunjukkan potensi kuat untuk menggantikan produk impor secara bertahap. Beberapa sektor bahkan sudah memiliki produk lokal yang kompetitif secara kualitas dan harga, hanya tinggal didorong adopsinya dalam sistem pengadaan pemerintah.

a. Alat Kesehatan Dasar

  • Produk seperti termometer digital, stetoskop, kursi roda, ranjang pasien manual, dan tandu kini sudah banyak diproduksi oleh perusahaan dalam negeri.
  • Beberapa di antaranya telah memiliki sertifikasi TKDN ≥ 40% dan izin edar dari Kemenkes.
  • Ini merupakan titik masuk strategis untuk menekan ketergantungan pada alat kesehatan impor yang selama ini membanjiri rumah sakit dan puskesmas.

Peluang konkret: RSUD dan puskesmas dapat memprioritaskan belanja alat kesehatan dasar dari penyedia lokal melalui e‑Katalog sektoral kesehatan.

b. Furniture Kantor dan Sekolah

  • Produk seperti meja kerja, kursi guru, lemari arsip, dan rak buku sudah lama diproduksi di banyak sentra industri kayu seperti Jepara, Cirebon, dan Pasuruan.
  • Menggunakan bahan baku lokal seperti kayu olahan (MDF, plywood), produk ini memiliki kualitas menengah hingga premium, dan cocok untuk memenuhi kebutuhan pengadaan di instansi pusat maupun daerah.
  • Selain itu, desain dan ergonomi produk lokal juga terus membaik, mampu menyaingi furnitur impor.

Peluang konkret: Belanja peralatan sekolah dan kantor di APBD/APBN dapat menggunakan produk UMKM furnitur lokal sebagai paket afirmatif 40%.

c. Sistem Keamanan dan CCTV Standar

  • Industri elektronik dalam negeri mulai berkembang dengan memproduksi CCTV standar, DVR, dan sistem kendali akses yang telah memenuhi TKDN minimal.
  • Perusahaan-perusahaan ini memproduksi untuk pasar rumah tangga, gedung perkantoran, dan fasilitas umum.
  • Dengan dukungan preferensi harga dan kepastian pasar pemerintah, sektor ini bisa berkembang lebih cepat.

Peluang konkret: Pengadaan sistem keamanan gedung pemerintahan, sekolah, rumah sakit, dan terminal dapat memprioritaskan vendor lokal CCTV.

d. ATK (Alat Tulis Kantor)

  • Produk seperti pulpen, pensil, kertas HVS, spidol, penggaris, map, dan binder sudah tersedia dari banyak penyedia dalam negeri, baik UMKM maupun industri menengah.
  • Di sektor ini, harga produk lokal sangat kompetitif, bahkan lebih murah dari barang impor.
  • UMKM ATK juga tersebar di banyak wilayah, sehingga mendukung aspek pemerataan ekonomi.

Peluang konkret: Paket ATK rutin di kantor-kantor pemerintahan bisa sepenuhnya dialokasikan untuk UMKM lokal dengan sistem e-purchasing.

e. Peralatan dan Perlengkapan Sekolah

  • Mulai dari seragam siswa, papan tulis, alat praktik laboratorium sederhana, hingga alat olahraga, sudah tersedia dari produsen lokal.
  • Industri konveksi dan manufaktur lokal siap memenuhi permintaan skala besar jika mendapat kepastian volume dari pengadaan pemerintah.

Peluang konkret: Program DAK Pendidikan dan BOS bisa dijadikan pilot project substitusi impor melalui belanja perlengkapan berbasis produk lokal.

Dengan prioritas terhadap sektor-sektor ini, instansi bisa menjadikan pengadaan berbasis PDN sebagai “quick win” untuk mencapai indeks substitusi impor sekaligus mendukung UMKM dan industri strategis nasional.

6. Dampak Ekonomi dan Kebijakan Lanjutan

Kebijakan substitusi impor yang diterapkan secara konsisten melalui pengadaan pemerintah dapat menghasilkan efek domino positif terhadap ekonomi nasional. Berikut dampaknya:

a. Pengurangan Defisit Neraca Perdagangan

  • Jika hanya 10-20% dari nilai pengadaan impor pemerintah berhasil digantikan oleh produk lokal, maka itu berarti triliunan rupiah bisa dialihkan ke industri dalam negeri.
  • Ini membantu menstabilkan neraca transaksi berjalan, mengurangi tekanan terhadap nilai tukar, dan memperkuat posisi ekonomi nasional dalam jangka menengah.

b. Penguatan Industri Lokal dan Penyerapan Tenaga Kerja

  • Ketika pemerintah menjadi pembeli utama produk lokal, maka produsen memiliki kepastian pasar.
  • Hal ini mendorong mereka untuk menambah tenaga kerja, memperluas pabrik, dan meningkatkan kapasitas produksi.
  • Efeknya langsung terasa di daerah: pertumbuhan ekonomi meningkat, pendapatan masyarakat naik, dan angka pengangguran turun.

c. Transformasi dari Nilai Tambah Rendah ke Nilai Tambah Tinggi

  • Substitusi impor tidak hanya soal mengganti produk luar dengan produk lokal, tetapi menaikkan rantai nilai industri nasional.
  • Produk lokal yang semula hanya merakit atau menjual ulang kini mulai masuk ke tahap desain, rekayasa teknik, dan sertifikasi kualitas mandiri.
  • Dengan semakin tinggi komponen lokal dalam produk, maka TKDN meningkat, nilai tambah naik, dan Indonesia tidak lagi sekadar menjadi pasar konsumtif.

Rekomendasi Kebijakan Lanjutan:

  1. Skema Matching Fund
    • Pemerintah daerah dan pusat memberikan pembiayaan awal atau subsidi modal kepada pabrik lokal yang ingin memproduksi barang substitusi impor.
  2. Dana Insentif Teknologi (DIT)
    • Mendorong R&D lokal, terutama untuk pengembangan desain produk nasional dan inovasi substitusi komponen strategis (misalnya chip, sensor, baterai).
  3. Koordinasi Antarlembaga
    • Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pendidikan perlu duduk bersama untuk menyusun daftar produk prioritas substitusi impor yang bisa langsung dipakai di sektor mereka.
    • Hasil koordinasi ini bisa dimasukkan ke e-Katalog sektoral dengan kode “wajib lokal”, agar PPK tidak perlu menimbang ulang saat memilih.

7. Kesimpulan

Perpres 46/2025 hadir sebagai titik balik penting dalam kebijakan pengadaan nasional, yang tidak hanya menekankan efisiensi belanja, tetapi juga pemberdayaan ekonomi domestik dan pengurangan ketergantungan terhadap impor.

Dengan fitur-fitur seperti:

  • Preferensi harga 25% untuk produk TKDN ≥ 40%,
  • Kuota belanja wajib 40% untuk UMKM/koperasi,
  • Kenaikan ambang TKDN untuk paket strategis,
  • dan sertifikasi kompetensi PPK untuk memastikan pemahaman teknis terhadap produk lokal,

Perpres ini menjadi alat penggerak substitusi impor yang nyata.

Namun, efektivitas Perpres ini sangat tergantung pada empat pilar utama:

  1. Kesiapan produk lokal dalam hal kualitas, volume, dan sertifikasi,
  2. Kemauan PPK dan UKPBJ untuk menjelajah opsi lokal secara aktif,
  3. Kolaborasi lintas sektor (pusat-daerah-swasta) dalam membangun ekosistem pasokan yang kuat,
  4. Dukungan regulasi lanjutan seperti insentif fiskal, matching fund, dan reformasi e-Katalog.

Bila keempat pilar ini dikuatkan, maka substitusi impor melalui pengadaan pemerintah bukan sekadar slogan-tetapi kebijakan yang bisa dirasakan langsung oleh industri, UMKM, dan masyarakat luas.

Singkatnya, Perpres 46/2025 tidak hanya mampu mengurangi impor, tapi juga menjadi mesin pertumbuhan industri nasional berbasis data, keberpihakan, dan akuntabilitas.

Loading

Kunjungi juga website kami di www.lpkn.id
Youtube Youtube LPKN

Avatar photo
Tim LPKN

LPKN Merupakan Lembaga Pelatihan SDM dengan pengalaman lebih dari 15 Tahun. Telah mendapatkan akreditasi A dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Pemegang rekor MURI atas jumlah peserta seminar online (Webinar) terbanyak Tahun 2020

Artikel: 947

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *