Pendahuluan
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Renstra (Rencana Strategis) daerah adalah dokumen perencanaan yang menjadi dasar arah kebijakan, program, dan alokasi sumber daya dalam pemerintahan daerah. Kualitas RPJMD dan Renstra yang baik sangat bergantung pada kapasitas aparatur daerah yang menyusunnya – mulai dari kemampuan analisis situasi, perumusan masalah, penyusunan indikator kinerja, hingga penyusunan rencana implementasi dan sistem monitoring. Oleh karena itu pelatihan yang dirancang khusus untuk meningkatkan keterampilan teknis dan analitis pembuat kebijakan daerah menjadi kebutuhan strategis.
Artikel ini membahas aspek-aspek penting dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pelatihan RPJMD dan Renstra daerah. Pembahasan mencakup tujuan pelatihan, desain kurikulum dan kompetensi yang dibutuhkan, metode pembelajaran yang efektif (workshop, studi kasus, simulasi), peran fasilitator dan pemangku kepentingan, mekanisme evaluasi pembelajaran dan tindak lanjut, serta tantangan dan rekomendasi kebijakan untuk memastikan pelatihan berdampak pada peningkatan kualitas dokumen perencanaan. Setiap bagian disusun agar mudah dipahami oleh penyelenggara pelatihan, dinas terkait, konsultan perencana, dan peserta pelatihan dari jajaran pemerintahan daerah.
1. Pengertian, Tujuan, dan Cakupan Pelatihan RPJMD dan Renstra
Pelatihan RPJMD dan Renstra daerah adalah serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas yang bertujuan meningkatkan kemampuan pegawai pemerintah daerah dalam menyusun, mengkaji, dan merevisi dokumen perencanaan strategis. Pelatihan ini tidak hanya memfokuskan pada aspek teknis penyusunan dokumen tetapi juga aspek analitis, partisipatif, dan tata kelola perencanaan. Dengan kata lain, pelatihan ideal menggabungkan teori perencanaan pemerintahan, praktik teknis perancangan indikator, keterampilan fasilitasi partisipasi publik, hingga pengintegrasian perencanaan dengan penganggaran (budgeting) dan monitoring-evaluasi (monev).
Tujuan utama pelatihan meliputi:
- Meningkatkan pemahaman konsep dan regulasi terkait RPJMD dan Renstra
- Menajamkan kemampuan analisis kontekstual (analisis SWOT, root cause analysis, analisis masalah dan penyebab)
- Melatih penyusunan tujuan strategis, sasaran, indikator kinerja, serta target terukur
- Memperkuat kemampuan menyusun program dan kegiatan yang logis serta menyelaraskan program dengan sumber daya
- Membekali peserta dengan metode partisipatif untuk menyerap aspirasi publik dan pemangku kepentingan dalam proses perencanaan.
Cakupan pelatihan biasanya mencakup sejumlah modul inti: landasan kebijakan dan regulasi (hukum dan aturan perencanaan), metode pengumpulan data dan analisis situasi (profil daerah, kebutuhan, dan baseline), teknik perumusan visi-misi dan strategi, penyusunan indikator kinerja (IKU/IKPD), penyusunan logframe atau matriks hasil, penautan renstra dengan RKPD dan APBD (penganggaran berbasis kinerja), serta mekanisme pemantauan dan evaluasi. Selain itu, modul soft-skill seperti fasilitasi partisipatif, advokasi politik, dan komunikasi publik penting untuk mendukung proses legitimasi RPJMD.
Pelatihan juga harus menjangkau aspek teknis digital: penggunaan aplikasi perencanaan, sistem informasi pembangunan daerah (SIPD), dan dashboard kinerja-sehingga dokumen yang disusun bukan hanya kualitas teks tetapi juga siap terintegrasi ke sistem informasi manajemen kinerja. Akhirnya, pelatihan yang efektif mengarah pada keluaran konkret: draf RPJMD/Renstra yang lebih realistis, indikator yang terukur, dan peserta yang mampu mengelola proses perencanaan secara lebih profesional.
2. Kerangka Hukum, Kebijakan, dan Prinsip Perencanaan Daerah
Pelatihan yang berkualitas harus membekali peserta dengan pemahaman kuat tentang kerangka hukum dan kebijakan yang menjadi payung perencanaan daerah. Di tingkat nasional banyak negara mengatur tata kelola perencanaan melalui undang-undang dan peraturan pemerintah yang menetapkan urutan dokumen perencanaan (RPJPN, RPJMD, Renstra, RKPD), prinsip-prinsip perencanaan (partisipatif, transparan, akuntabel), serta mekanisme sinkronisasi antara perencanaan daerah dan pusat. Pemahaman ini penting agar RPJMD dan Renstra tidak hanya sekadar dokumen teknis, tetapi juga memenuhi persyaratan legal dan harmonis antar level pemerintahan.
Prinsip perencanaan daerah yang perlu ditekankan meliputi: keterpaduan (integrasi sektor dan wilayah), kesinambungan (harmonisasi antar periode perencanaan), keterlibatan publik (partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan), efektivitas biaya (value for money), serta akuntabilitas (indikator terukur dan sistem monev). Peserta pelatihan harus memahami bagaimana menerjemahkan prinsip-prinsip ini menjadi praktik: misalnya bagaimana membuat indikator yang dapat diukur untuk memastikan akuntabilitas, atau bagaimana menyusun strategi yang tidak bertabrakan dengan kebijakan sektoral lainnya.
Selain hukum nasional, kebijakan lokal seperti peraturan daerah (Perda), RPJPD, dan kebijakan strategis daerah harus menjadi bagian dari modul. Peserta perlu dilatih untuk melakukan analisis kesesuaian antara visi-misi kepala daerah dan target strategis RPJMD, serta teknik harmonisasi renstra SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dengan RPJMD agar tidak terjadi fragmentasi rencana. Aspek tata kelola juga mencakup peran DPRD dalam proses penyusunan dan pengesahan RPJMD-sehingga kemampuan komunikasi dan penyusunan dokumen yang dapat dipahami pembuat kebijakan legislatif menjadi krusial.
Kerangka hukum juga menjelaskan batas kewenangan: misalnya mekanisme perubahan RPJMD jika terjadi peristiwa force majeure atau perubahan kebijakan publik; prosedur konsultasi publik; serta persyaratan evaluasi mid-term. Dalam konteks ini, fasilitator pelatihan harus memberi contoh kasus hukum nyata dan praktik mitigasinya sehingga peserta dapat mengenali risiko hukum dalam proses perencanaan dan mengambil langkah proaktif untuk menghindari inkonsistensi peraturan.
Dengan fondasi hukum dan kebijakan yang kokoh, peserta mampu menyusun RPJMD dan Renstra yang tidak hanya strategis tetapi juga tahan uji administratif dan politik.
3. Desain Kurikulum Pelatihan: Kompetensi Inti dan Modul
Desain kurikulum adalah aspek krusial agar pelatihan RPJMD dan Renstra memberikan hasil yang terukur. Kurikulum harus berbasis kompetensi: menyusun capaian kemampuan peserta (learning outcomes) yang spesifik, dapat diukur, dan relevan untuk tugas-tugas perencanaan di pemerintahan daerah. Kompetensi inti meliputi: analisis situasi dan data, perumusan strategi dan prioritas, penyusunan indikator kinerja, integrasi perencanaan dan penganggaran, fasilitasi partisipatif, serta penggunaan alat digital perencanaan.
Modul-modul disusun berurutan agar logis. Contoh susunan modul yang efektif:
- Modul I – Landasan dan Kerangka Perencanaan: konsep RPJMD, Renstra, regulasi, dan prinsip perencanaan.
- Modul II – Analisis Situasi dan Data: teknik pengumpulan data sekunder/primer, analisis statistika dasar, dan penyusunan baseline.
- Modul III – Formulasi Visi-Misi dan Strategi: teknik workshop visi-misi, SWOT, analisis masalah, dan prioritisasi.
- Modul IV – Penyusunan Sasaran, Program, dan Kegiatan: logika vertical dan horizontal program, matriks logframe.
- Modul V – Indikator dan Target (M&E): definisi indikator, metode pengukuran, target, dan baseline.
- Modul VI – Penganggaran Berbasis Kinerja: mekanisme penyelarasan program dengan sumber anggaran, budgeting sequencing.
- Modul VII – Partisipasi Publik dan Stakeholder Engagement: teknik fasilitasi publik, konsultasi, dan handling feedback.
- Modul VIII – Digitalisasi dan Sistem Informasi Perencanaan: penggunaan SIPD, dashboard kinerja, dan integrasi data.
- Modul IX – Simulasi Penyusunan Dokumen: workshop penyusunan draf RPJMD/Renstra dan peer review.
- Modul X – Evaluasi dan Follow-up: metode penilaian pelatihan, action plan, dan coaching pasca-pelatihan.
Setiap modul perlu memuat tujuan pembelajaran, materi inti, studi kasus lokal, soal praktikum, dan instruksi penugasan. Durasi dan intensitas modul disesuaikan: misalnya modul teknis M&E dan penganggaran memerlukan lebih banyak jam praktik. Metodologi blended learning (tatap muka + online) efektif untuk menjangkau peserta di berbagai wilayah dan memberi ruang untuk self-study.
Kurikulum juga harus fleksibel menyesuaikan tingkatan peserta-dasar untuk pegawai baru dan advanced untuk pejabat eselon yang mengarah pada pengambilan keputusan. Pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dan studi kasus lokal meningkatkan relevansi sehingga output pelatihan berupa draf kebijakan dan dokumen perencanaan lebih aplikatif.
4. Metodologi Pembelajaran: Workshop, Studi Kasus, dan Simulasi
Metodologi pembelajaran menentukan seberapa efektif transfer kompetensi dalam pelatihan RPJMD dan Renstra. Karena materi bersifat praktis dan kontekstual, metode pembelajaran harus interaktif, partisipatif, dan berorientasi pada produk nyata. Kombinasi workshop intensif, studi kasus nyata, simulasi perencanaan, dan pendampingan pasca-pelatihan terbukti paling efektif.
- Workshop intensif memberikan ruang bagi peserta untuk bekerja kelompok menyelesaikan tugas konkret, misalnya menyusun kerangka logis program atau matriks indikator. Dalam workshop, fasilitator berperan aktif memandu teknik fasilitasi, memberikan umpan balik, dan membantu menyelesaikan hambatan teknis. Durasi workshop yang ideal adalah 2-5 hari bergantung pada kedalaman materi.
- Studi kasus berbasis masalah nyata daerah membantu peserta menerapkan teori ke kondisi lapangan. Kasus dapat diambil dari pengalaman daerah lain atau kasus simulasi terkait isu sektor-mis. penanganan stunting, infrastruktur kawasan, atau peningkatan layanan pendidikan. Studi kasus harus dilengkapi data baseline sehingga peserta belajar menilai data dan membuat keputusan berbasis bukti.
- Simulasi perencanaan seperti role-play forum musrenbang atau sidang paripurna RPJMD sangat berguna untuk melatih keterampilan negosiasi, advokasi, dan komunikasi dengan DPRD dan pemangku kepentingan. Dalam simulasi, peserta dapat memainkan peran sebagai kepala daerah, kepala SKPD, tokoh masyarakat, atau pengusaha-menciptakan pemahaman tentang dinamika politik dalam penyusunan dokumen.
- Pembelajaran jarak jauh (e-learning) dapat melengkapi dengan modul teori, video tutorial penggunaan aplikasi perencanaan, serta kuis yang dapat diulang. Blended learning memberi keuntungan efisiensi waktu dan kesempatan refleksi. Namun untuk modul praktis seperti analisis data atau penyusunan matriks, sesi tatap muka atau virtual synchronous lebih efektif.
- Pendampingan pasca-pelatihan (coaching/mentoring) memperbesar dampak pelatihan: fasilitator atau konsultan membimbing peserta saat menerapkan hasil pelatihan ke draf RPJMD/Renstra sebenarnya. Coaching berkala selama 3-6 bulan membantu mengatasi hambatan implementasi.
Metodologi juga harus inklusif: gunakan bahasa yang mudah dipahami, visualisasi (peta, dashboard), dan alat bantu seperti template dokumen, checklist, dan toolbox perencanaan. Evaluasi formatif selama pelatihan memastikan materi diserap dan memungkinkan adaptasi metode jika diperlukan.
5. Fasilitator, Peserta, dan Peran Pemangku Kepentingan
Keberhasilan pelatihan sangat bergantung pada kualitas fasilitator dan keterlibatan pemangku kepentingan. Fasilitator ideal adalah kombinasi akademisi/peneliti perencanaan, praktisi perencanaan pemerintah, dan konsultan yang berpengalaman dalam menyusun RPJMD/Renstra. Mereka harus menguasai materi teknis, metodologi fasilitasi, serta mampu mengadaptasi contoh ke konteks lokal peserta.
Kriteria fasilitator meliputi: pengalaman praktis dalam perencanaan daerah, kemampuan mengelola dinamika kelompok, dan familiaritas dengan sistem informasi perencanaan. Peran fasilitator bukan sekadar mengajar tetapi juga memfasilitasi dialog, memoderasi perbedaan pandangan, serta memberi feedback konstruktif pada produk peserta.
Peserta pelatihan sebaiknya heterogen namun relevan: kepala bidang perencanaan, staf perencana SKPD, pejabat keuangan, staf pengadaan, perwakilan DPRD, dan perwakilan OPD teknis. Komposisi ini berguna karena proses perencanaan memerlukan kolaborasi lintas-sektor. Melibatkan DPRD pada tahap tertentu meningkatkan pemahaman legislatif dan mempercepat pengesahan dokumen.
Peran pemangku kepentingan eksternal juga penting: akademisi, LSM, asosiasi profesi, dan masyarakat sipil dapat dilibatkan sebagai narasumber atau peserta dalam sesi konsultasi publik. Kehadiran mereka memperkaya perspektif dan membantu menguji asumsi kebijakan. Selain itu, keterlibatan pihak swasta dan donor bisa berguna terutama bila RPJMD menargetkan pembiayaan bersama atau kerjasama publik-swasta.
Untuk membangun komitmen, pimpinan daerah (kepala daerah) perlu memberikan mandat resmi sehingga partisipasi pegawai menjadi prioritas. Surat tugas dan waktu pelatihan yang jelas mengurangi risiko penarikan peserta karena tugas lain. Sistem insentif seperti pengakuan karier atau kredit kompetensi juga meningkatkan motivasi.
Pengorganisasian peserta harus memperhatikan jumlah ideal per sesi: kelompok kecil (15-25 peserta) memfasilitasi diskusi dan praktik. Jika jumlah besar, gunakan breakout groups dan multiple facilitators. Dokumentasi partisipan, feedback, dan hasil kelompok menjadi sumber pembelajaran serta bukti output pelatihan.
Kolaborasi antar-aktor, dipandu fasilitator berkualitas, menjamin bahwa pelatihan tidak hanya transfer pengetahuan tetapi juga memperkuat jejaring kerja yang esensial dalam proses penyusunan dan implementasi RPJMD/Renstra.
6. Praktik Terbaik: Studi Kasus, Workshop Penyusunan Draf, dan Peer Review
Pelatihan paling efektif menghasilkan produk nyata – misalnya draf visi-misi yang disepakati, matriks indikator, atau potongan draf Renstra. Oleh karena itu praktik terbaik mengombinasikan studi kasus relevan, workshop penyusunan draf yang intensif, dan mekanisme peer review untuk menajamkan kualitas dokumen.
- Studi kasus berlapis: pilih studi kasus yang mencerminkan isu prioritas daerah – contoh kasus penanganan kemiskinan, layanan kesehatan, tata ruang perkotaan, atau ketahanan pangan. Susun dataset ringkas (indikator dasar, peta, profil) sehingga peserta dapat melakukan analisis cepat dan merumuskan strategi. Studi kasus bertahap (level basic → advanced) membantu peserta berkembang dari konsep ke teknik aplikatif.
- Workshop penyusunan draf: alokasikan waktu khusus agar kelompok bisa menghasilkan potongan draf RPJMD/Renstra yang konkret. Template standar (mis. matriks hasil, logframe, Rencana Aksi) mempermudah kerja kelompok. Fasilitator memberikan coaching langsung, memperbaiki logika program, dan memastikan indikator memenuhi kriteria SMART. Hasil workshop sebaiknya didokumentasikan dan ditindaklanjuti dalam pendampingan.
- Peer review adalah mekanisme penting untuk meningkatkan kualitas secara kolektif. Setiap kelompok menukar draf dan memberikan feedback terstruktur berdasarkan checklist (konsistensi tujuan-target, kejelasan indikator, keterkaitan dengan anggaran, inklusivitas partisipasi). Peer review mengajarkan kemampuan kritis dan meningkatkan legitimasi dokumen karena diuji oleh rekan sejawat.
- Integrasi data dan peta: manfaatkan peta dan data spasial untuk memperkuat argumen alokasi program (mis. prioritas intervensi di kecamatan dengan kebutuhan tinggi). Visualisasi membantu DPRD dan pemangku kepentingan memahami rationale perencanaan.
- Dokumentasi output: pastikan output workshop berupa dokumen kerja yang dapat diunggah ke sistem perencanaan daerah. Buat ringkasan rekomendasi prioritas dan action plan untuk tindak lanjut. Output ini menjadi bahan evaluasi pasca pelatihan.
Contoh keberhasilan: daerah yang mengadakan workshop penyusunan RPJMD dengan pendampingan menghasilkan draf yang bisa selesai lebih cepat, memiliki indikator terukur, dan mendapat persetujuan DPRD tanpa revisi besar. Ini menunjukkan bahwa praktik berbasis produk dan peer learning meningkatkan kualitas dan percepatan penyusunan dokumen.
7. Evaluasi Pembelajaran, Sertifikasi, dan Tindak Lanjut (Mentoring/Coaching)
Evaluasi pembelajaran memastikan pelatihan menghasilkan perubahan kompetensi yang dapat diukur. Mekanisme evaluasi harus multi-dimensi: pre-test/post-test untuk mengukur peningkatan pengetahuan, assessment praktis terhadap produk (draf RPJMD/Renstra), serta evaluasi keterampilan fasilitasi dan analisis. Umpan balik peserta juga penting untuk memperbaiki desain pelatihan berikutnya.
- Pre-test/Post-test: soal pilihan ganda dan studi kasus singkat memberi gambaran capaian pengetahuan teknis. Perbedaan skor pre-post menunjukkan efektivitas modul. Namun penilaian pengetahuan saja tidak cukup; evaluasi kualitatif pada output dokumen memberi gambaran penerapan.
- Penilaian produk: gunakan rubrik yang menilai kualitas draf berdasarkan kriteria: relevansi tujuan, konsistensi logika program, kualitas indikator, keterkaitan dengan data baseline, dan kesiapan integrasi anggaran. Penilaian ini bisa dilakukan oleh panel fasilitator dan reviewer eksternal.
- Sertifikasi: pemberian sertifikat kompetensi menjadi insentif. Sertifikasi sebaiknya terkait dengan standar kompetensi perencanaan yang diakui (mis. credit unit CPD atau pengakuan profesi perencana). Sertifikat mendorong peserta menerapkan ilmu karena menjadi bagian pengembangan karier.
- Tindak lanjut (mentoring/coaching): pelatihan tanpa pendampingan sering menghasilkan penurunan penggunaan metode setelah kegiatan. Oleh karena itu program coaching 3-6 bulan pasca pelatihan membantu peserta mengaplikasikan draf ke dokumen resmi. Coaching dapat melalui kunjungan lapangan, sesi virtual, atau review dokumen berkala.
- Peer learning network: bentuk jaringan alumni pelatihan untuk berbagi pengalaman, best practice, dan template. Forum ini dapat berperan sebagai resource center ketika peserta menghadapi masalah implementasi.
- Monitoring impact: evaluasi jangka menengah (6-12 bulan) melihat apakah pelatihan berdampak pada kualitas RPJMD/Renstra final, ketepatan waktu penyusunan, dan sinkronisasi dengan APBD. Indikator dampak termasuk penurunan revisi pasca-pengesahan, peningkatan indikator kinerja yang dapat diukur, dan peningkatan kepuasan DPRD terhadap dokumen.
Investasi pada evaluasi dan tindak lanjut menjamin pelatihan tidak berhenti sebagai kegiatan seremonial melainkan menjadi agen peningkatan kapasitas jangka panjang.
8. Tantangan, Risiko, dan Rekomendasi Kebijakan untuk Penguatan Pelatihan
Mengimplementasikan program pelatihan RPJMD dan Renstra menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan administratif meliputi keterbatasan anggaran, rotasi pegawai, dan beban kerja sehingga peserta sulit fokus. Tantangan teknis termasuk kualitas data yang rendah, keterbatasan akses ke sistem informasi, dan perbedaan kapasitas antar SKPD. Tantangan politik muncul jika visi kepala daerah berubah atau jika ada tekanan politik terhadap substansi perencanaan.
Untuk mengatasi kendala tersebut, beberapa rekomendasi praktis dan kebijakan diperlukan:
- Alokasi Anggaran Berkelanjutan: pemerintah pusat dan daerah perlu menyediakan anggaran rutin untuk pelatihan dan pendampingan, termasuk dana untuk kegiatan praktek lapangan dan digitalisasi. Dana ini harus dipandang sebagai investasi kapasitas bukan sekadar biaya operasional.
- Sistem Pelatihan Berjenjang: kembangkan program modular dan berjenjang (basic → intermediate → advanced) sehingga pelatihan dapat disesuaikan dengan level peserta. Skema sertifikasi dan kredit kompetensi memotivasi keterlibatan.
- Integrasi dengan Sistem Informasi: pastikan pelatihan mencakup akses dan pelatihan penggunaan SIPD dan tools analitik. Percepatan integrasi data memudahkan praktik penyusunan renstra berbasis bukti.
- Pengaturan Rotasi dan Penugasan: buat kebijakan penugasan jangka minimal untuk staf perencana sehingga investasi pelatihan tidak hilang akibat rotasi cepat. Sertakan klausul pembelajaran sebagai bagian penilaian kinerja.
- Penguatan Kolaborasi Akademik dan Profesional: libatkan universitas, lembaga riset, dan asosiasi perencana sebagai mitra pelatihan. Mereka bisa menyuplai materi, studi kasus, dan fasilitator berkualitas.
- Mekanisme Pendampingan Resmi: ciptakan program mentoring formal dengan deliverable dan indikator keberhasilan. Pendampingan lebih murah dan efektif dibandingkan pelatihan satu kali.
- Kebijakan Transparansi dan Partisipasi: dorong aturan yang mewajibkan konsultasi publik dalam proses RPJMD sehingga pelatihan juga melatih kemampuan fasilitasi masyarakat.
- Pengukuran Dampak dan Akuntabilitas: tetapkan indikator kinerja untuk unit perencanaan yang mencakup kualitas dokumen dan penerapan RPJMD/Renstra sehingga efektivitas pelatihan dapat diukur.
Dengan rekomendasi tersebut, pelatihan tidak hanya menjadi kegiatan kapasitas tetapi bagian dari reformasi tata kelola perencanaan daerah yang berkelanjutan dan berdampak.
Kesimpulan
Pelatihan RPJMD dan Renstra daerah adalah elemen penting dalam memperkuat tata kelola pembangunan daerah. Ketika dirancang komprehensif-menggabungkan landasan hukum, teknik analisis data, penyusunan indikator, penganggaran berbasis kinerja, serta metode fasilitasi partisipatif-pelatihan dapat menghasilkan dokumen perencanaan yang realistis, terukur, dan siap diimplementasikan. Metodologi berbasis praktik (workshop, studi kasus, simulasi) dan dukungan tindak lanjut seperti coaching meningkatkan kemungkinan transfer pembelajaran ke pekerjaan sehari-hari.
Keberhasilan program pelatihan bergantung pada kualitas fasilitator, keterlibatan lintas sektor (termasuk DPRD dan masyarakat), dukungan anggaran berkelanjutan, dan integrasi dengan sistem informasi perencanaan. Tantangan seperti rotasi pegawai, data yang lemah, dan tekanan politik memerlukan kebijakan mitigasi-antara lain alokasi sumber daya, sistem sertifikasi, dan pendampingan formal. Evaluasi pasca-pelatihan serta jaringan alumni menjadi instrumen penting untuk memastikan pembelajaran diinternalisasi.
Akhirnya, investasi pada pelatihan RPJMD dan Renstra bukan hanya soal peningkatan kapasitas teknis; ia adalah investasi strategis untuk memperkuat akuntabilitas, efektivitas anggaran, dan kualitas layanan publik. Dengan pendekatan berkelanjutan dan berorientasi hasil, daerah mampu menyusun perencanaan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan mampu mewujudkan tujuan pembangunan yang berkelanjutan.